Bab 35. Masih di Rumah Dewi

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Kehadiran Bagas membuat ketiga wanita yang sedang membicarakan dirinya itu terkejut. Terutama Alesha yang tertangkap basah tengah mengulik kehidupan pribadinya. Dia menahan tawa sebisa mungkin saat melihat wajah sekretarisnya berubah pucat. Dewi dengan sigap segera memberikan bayinya yang sudah tenang ke pangkuan Alesha untuk mengalihkan perhatian wanita itu.

"Kalo mau tau tentang kehidupan saya bisa tanya langsung sama saya, kok. Nggak perlu cari tau dari orang lain. Biasanya, orang lain suka melebih-lebihkan," sindir Bagas sambil berjalan melewati ketiga wanita yang sudah membicarakan topik lain itu.

Bagas dan Aji, suami Dewi, meletakkan barang belanjaan di meja dapur. Mereka lalu menata meja yang berada di taman belakang untuk acara barbeku. Bagas juga menyiapkan kompor dan alat panggang. Dewi dibantu Aqila membawa bahan-bahan yang akan dipanggang lalu menatanya di meja. Sementara, Alesha sibuk menimang bayi mungil yang sudah terlelap lagi itu.

"Mbak Dewi, ini bayinya nggak diambilin selimut aja? Kasihan dingin di luar."

Alesha ikut berjalan ke taman belakang sambil memeluk erat bayi dalam gendongannya itu.

"Oh, iya. Tolong ambil di deket sofa ruang tengah. Tadi aku taruh situ."

"Biar saya aja." Bagas menawarkan diri untuk mengambil selimut bayi saat Alesha hendak berbalik.

"Makasih, Om Bagas." Alesha mengucapkannya menggantikan bayi yang tetap tenang dalam pangkuannya itu.

Bagas kembali ke posisinya semula untuk menyiapkan kompor dan alat panggang. Dia memastikan semua siap dipakai dan aman, barulah dia bergabung untuk duduk di meja bersama yang lain. Pria itu duduk di samping Alesha karena hanya itu tempat yang kosong.

"Oke. Kita serahkan proses panggang-memanggang kepada ahlinya. Silakan Pak Aji mengambil tempat." Dewi menyiapkan piring besar berisi daging yang siap dipanggang lalu mempersilakan suaminya membawa piring tersebut.

"Mbak, rumahnya, kok, asyik banget gini, sih? Aku dari dulu pengen punya rumah minimalis tapi elegan kayak gini." Alesha membuka obrolan sambil menunggu Aji selesai memanggang.

"Makanya buruan nikah. Terus minta suami buat belikan rumah kayak gini. Lagian, suruh siapa pakek kabur dari rumah segala."

"Ih, Mbak Dewi ngomongnya, deh." Alesha mencoba memberi kode agar Dewi tidak membicarakan ayahnya karena ada Bagas di sana.

"Matamu kenapa? Kelilipan? Dari tadi kedip-kedip mulu."

Alesha langsung gelagapan saat aksinya diketahui oleh Bagas. Dia hanya meringis sambil menggaruk kepala dengan sebelah tangan yang bebas. Wanita itu melotot kepada dua wanita lain di hadapannya yang bukannya membantu, melainkan justru menertawakannya.

"Nggak perlu ada yang ngasih tau kalo kamu itu anak manja yang kabur dari rumah. Udah keliatan dari awal."

"Eh? Jadi, Pak Bagas juga tau kenapa saya berhasil dapet tempat kemarin?"

"Awalnya, nggak tau, sih. Tapi, kalo dipikir-pikir lagi nggak mungkin voucer yang kamu dapet itu VVIP. Pasti kamu salah satu naratama di sana, kan?"

Alesha hanya tersenyum membalas ucapan bosnya itu. Bagas melihat kekecawaan dari wajah sekretarisnya.

"Tapi, saya beneran bangga, kok sama kamu kemarin. Udah bantu buat ngeyakinin distributor terbesar kita."

"Tuh, kan. Apa aku bilang, Gas. Percaya aja, deh, sama dia."

"Iya, Mbak, iya."

Mereka lalu tertawa bersama karena lagi-lagi Bagas harus menurut dengan perkataan Dewi. Bagas melihat Alesha tersenyum sambil menunduk malu. Pria itu memperhatikan wanita di sampingnya yang dengan telaten menimang bayi. Untuk ukuran anak manja seperti Alesha, hal itu sesuatu yang cukup menarik perhatian Bagas. Karena terlihat sekali sekretarisnya itu sangat hati-hati dan tidak mengeluh sedikit pun meski harus memangku bayi gemuk itu.

"Baiklah. Makanan datang!" Aji berseru sambil meletakkan piring besar berisi daging panggang ke meja.

Dewi berdiri lalu memutar untuk menghampiri Alesha dan mengambil banyinya. Dia akan meletakkan bayinya di kamar agar Alesha bisa leluasa menikmati hidangan makan malam.

Mereka menikmati daging panggang dengan sayuran sambil terus mengobrol tentang hal-hal keseharian. Dewi juga menceritakan pengalaman pertamanya melahirkan melalui proses operasi. Alesha dan Aqila bergidik mendengar setiap detailnya.

"Terus, Mbak? Ini sekarang apa udah nggak sakit? Kan, baru kemarin keluar dari rumah sakit?"

"Ya, masih sakit, Sha. Tapi, karena aku udah bisa jalan sama duduk. Ya udah, anggep biasa aja. Kata dokter emang harus sering dibuat aktifitas biar terbiasa lagi. Cuma nggak boleh angkat yang berat-berat. Makanya dari tadi tugas laki-laki berdua ini yang repot nyiapin segalanya. Aku, mah, tinggal duduk diem sambil gendong bayi."

"Nggak ada makanan yang harus dihindari gitu, Mbak? Soalnya, kan, abis jahitan." Alesha yang masih penasaran terus bertanya.

"Nggak ada. Malah kata dokter jangan ada yang ditarak. Soalnya makin banyak yang dimakan apalagi yang mengandung protein gitu bisa bikin jahitan cepet kering."

Alesha membuka mulut lagi hendak bertanya, tetapi justru sebuah suapan masuk ke mulutnya. Mau tidak mau dia mengunyah makanan dalam mulutnya itu.

"Makan. Jangan nanya mulu."

Alesha mendelik kepada Bagas, tersangka yang tiba-tiba menyuapinya itu. Bagas hanya mengangkat bahu lalu kembali mengambil makanan dan menyuapi dirinya sendiri. Ketiga orang lainnya yang juga bersama mereka saling melirik sambil menahan senyum.

"Gimana kalo kita bersulang untuk ngerayain kebersamaan kita ini. Jarang-jarang, kan, kita bisa ngumpul kayak gini." Dewi mengambil inisiatif agar suasana canggung yang tiba-tiba tercipta itu bisa mencair lagi.

Semua orang mengangkat kaleng bir masing-masing, kecuali Dewi yang meminum jus. Namun, lagi-lagi Bagas menginterupsi dengan mengambil alih kaleng bir dari tangan Alesha.

"Pak Bagas apa-apaan, sih? Balikin kaleng bir saya!"

"Enggak. Kamu itu gampang banget mabok. Enak aja. Kalo nanti kamu mabok gimana?"

"Ya, kan, saya pulangnya bareng Aqila, Pak. Santai aja, dong!"

"Besok kamu masih harus kerja, Alesha. Kamu mau buat saya marah lagi kalo sampek besok kamu terlambat masuk kantor?"

Alesha berhenti mendebat dan memalingkan wajah sambil bersedekap. Ketiga orang di hadapan mereka sampai menggeleng-geleng melihat kelakuan bos dan sekretaris yang tidak ada hentinya untuk bertengkar itu.

"Udah, deh, Gas. Biarin aja. Kamu mau ngerusak acaraku?"

"Ya, nggak gitu, Mbak. Tapi, anak ini ... ah, terserah, deh." Bagas menunjuk Alesha lalu menurunkan tangannya lagi dan akhirnya menyerah.

Alesha tersenyum lalu mengambil kaleng bir lagi. Dia sempat menjulurkan lidah ke arah Bagas sebelum bersulang bersama yang lain.

"Dasar, manja!" gerutu Bagas.

"Kenapa, Pak?" Alesha mendekatkan telinga agar mendengar lebih jelas ucapan Bagas barusan.

"Enggak apa-apa."

Alesha memajukan bibir lalu kembali meminum birnya lagi. Bagas terus memperhatikan wanita di sampingnya itu. Dia sampai menghitung berapa kaleng bir yang habis diminum oleh Alesha. Ketika wanita itu hendak membuka kaleng yang kelima, Bagas dengan sigap menghentikannya.

"Cukup. Alesha! Kamu udah mabok."

Alesha bergelayut manja pada Bagas. "Ih, Bapak apaan, sih? Jangan terlalu perhatian sama saya, dong. Nanti kalo suka repot, loh."

Bagas menelan ludah mendengar wanita yang memeluknya itu mulai meracau. Dia melirik Aqila untuk meminta bantuan. Akhirnya, pria itu mengantar Alesha ke depan untuk masuk ke mobil setelah Aqila berpamitan. Dengan telaten dia memapah sekretarisnya dan melindungi kepala wanita itu saat hendak masuk ke mobil.

"Inget! Besok ada rapat kepala divisi. Awas kalo sampek lupa!"

Masih setengah sadar, Alesha mengangkat tangan untuk memberi hormat kepada Bagas. Pria itu menutup pintu mobil lalu meminta Aqila untuk segera pergi.

Bersambung

~~~

Eh, ciiee! Mulai perhatian, nih.🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top