Bab 34. Tengok Bayi
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Alesha tersenyum senang sejak keluar dari kantor hingga tiba di apartemen. Wanita itu berhasil melewati satu hari tanpa membuat masalah dan Bagas memberi pujian atas keberhasilan mereka membujuk distributor kemarin siang. Pimpinan perusahaan distributor itu bahkan mengajak mereka pindah ke tempat yang lebih santai seperti mini bar untuk membicarakan besaran volume barang yang akan dipasarkan.
Aqila sampai waspada takut-takut sahabatnya itu kesambet jin kantor. Suatu hal yang sangat langka jika Alesha pulang dengan girang seperti dua hari ini. Karena sejak bekerja di kantor Bagas, sahabatnya itu selalu pulang sambil uring-uringan.
"Sha, lo nggak apa-apa?" tanya Aqila sambil mengerutkan kening.
Namun, yang ditanya hanya diam memandangi televisi sambil senyum-senyum sendiri. Aqila merinding melihat sahabatnya sudah seperti orang gila.
"Woi, Sha! Lo kesambet beneran, ya?" teriaknya tepat di telinga Alesha hingga membuat wanita itu terlonjak kaget.
"Lala! Lo apa-apaan, sih? Bikin jantung gue mau copot aja," protes Alesha seraya mengelus dadanya yang berdebar kencang akibat terkejut.
"Ya abisnya lo bikin gue waswas tau, nggak? Kirain lo kesambet jin kantor atau apa gitu. Dari tadi, eh, nggak. Dari kemarin malah. Tiap lo pulang kantor jadi senyum-senyum sendiri nggak jelas gitu."
"Gimana gue nggak seneng coba, La? Baru pertama kali Bagas muji gue dengan tulus karena kemampuan gue. Lo bisa banyangin nggak, sih? Gue udah serasa terbang ke langit tujuh!"
Aqila menggelang-geleng melihat sahabat satu-satunya yang dimilikinya itu lompat kegirangan sambil memutar badan. Seperti anak kecil yang baru dibelikan baju dengan renda oleh ibunya.
"Lebay lo!"
"Eh-eh-eh, mau ke mana lo? Duduk sini. Gue belum selesai cerita." Alesha menarik tangan Aqila dan membuatnya duduk kembali di sofa depan televisi.
"Apa lagi yang harus gue denger, Sha? Palingan juga lo aja yang terlalu lebay."
"Ih, gue beneran kompeten, La. Buktinya aja pimpinan perusahaan distributor yang kemarin ketemu sama Bagas, suka sama kinerja gue dan mau beli produk terbaru kami dengan jumlah yang fantastis."
Aqila tidak langsung percaya dan justru memicing menatap sahabatnya. "Serius? Bukan karena Bagas yang ngebujuk mereka?"
Alesha memajukan bibir saat mendengar sahabatnya sendiri meragukan kemampuannya. "Tega banget lo nggak percaya sama gue!"
Aqila berdecak sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, sebagai sahabat yang baik. Gue dengerin, deh cerita lo yang dipuji-puji sama Bos Galak itu."
Seketika, Alesha menyunggingkan senyum dan mulai bercerita tentang kejadian kemarin. Dia memulainya dari teguran Bagas karena wanita itu lupa untuk reservasi di Restoran Ambar. Setelah Bagas masuk ke ruangannya, saat itu juga Alesha mencoba menghubungi restoran tersebut dan membuat reservasi atas nama perusahaannya. Namun, seperti yang dikatakan bosnya mereka hanya menerima tamu yang membuat reservasi minimal satu hari sebelumnya.
Wanita itu memutar otak untuk menemukan solusi lain. Dia teringat pernah mendaftar sebagai naratama di restoran tersebut dan segera mencari kartu VVIP miliknya di dompet. Setelah menemukan kartu tersebut, dia menghubungi restoran kembali dan memesan tempat dengan namanya sendiri.
"Terus lo berhasil dapet tempat?" tanya Aqila memotong cerita Alesha.
"Dapet, dong. Ruangan VVIP."
Aqila tampak tertarik dengan kelanjutan cerita sahabatnya itu. Dia menaikkan kaki ke sofa lalu duduk bersila menghadap sahabatnya.
"Terus-terus? Bagas nggak tanya gimana lo bisa dapet tempat?"
"Gue bilang aja kalo punya voucher makan di sana dari perusahaan tempat magang alias perusahaan bokap," jawab Alesha sambil tertawa.
"Terus-terus gimana? Dia percaya gitu aja?"
"Ya, sabar, dong, Say!" Alesha menarik napas terlebih dulu sebelum melanjutkan ceritanya.
Alesha kembali bercerita, dimulai dari mereka tiba di restoran. Bukannya dia tidak menyadari jika Bagas mulai curiga, tetapi wanita itu sengaja pura-pura tidak tahu dan bersikap biasa saja. Mereka menyambut kedatangan pimpinan PT. Fajar Gemilang beserta sekretarisnya. Mereka menikmati menu makan siang yang tersedia sambil mengobrol santai.
"Sebentar! Saya nggak asing dengan wanita ini. Bukannya dia yang sempat ikut bergabung dan memberikan ide untuk menarik pasar remaja itu? Bener, kan, Pak Bagas?"
Eh. Alesha terkejut saat mendengar penuturan dari pria paruh baya itu. Dia mencoba mengingat-ingat lagi dan saat berhasil mengingat momen tersebut, wanita itu tersenyum malu.
"Saya jadi tidak enak karena waktu itu sudah menyerobot tanpa izin dan berbicara panjang lebar."
"Oh, tidak-tidak. Justru karena ucapanmu itu saya dan rekan-rekan berpikir untuk membuat inovasi seperti yang kamu contohkan. Tidak heran jika kamu ternyata menjadi sekretaris Pak Bagas. Yang satu pintar berbisnis dan satu lagi pintar bicara. Perpaduan yang sangat pas."
"Ah, Bapak bisa saja. Terima kasih atas pujiannya kepada kami." Bagas mendahului Alesha untuk berterima kasih.
Kemudian, Alesha memberikan berkas penawaran untuk dijadikan acuan oleh pimpinan PT. Fajar Gemilang itu. Wanita itu menunjukkan kepiawaiannya dalam berbicara dan membujuk orang. Tanpa berpikir panjang lagi, pria yang seumuran dengan ayahnya itu langsung setuju dengan penawaran untuk pengambilan barang sejumlah tiga ton dalam jangka waktu enam bulan.
Perusahaan Bagas juga memberikan penawaran bonus berupa cashback jika PT. Fajar Gemilang mampu mencapai target penjualan sejumlah sepuluh ton dalam jangka waktu satu tahun.
Aqila ikut senang setelah mendengar cerita lengkap dari sahabatnya itu. Mereka berdiri dari sofa lalu melompat kegirangan sambil berpelukan dan berteriak. Kegiatan mereka harus berhenti saat ponsel Aqila berbunyi. Wanita itu mengangkat panggilan dari Dewi. Dia segera meminta Alesha bersiap-siap untuk pergi ke rumah sepupunya yang mengadakan syukuran kecil-kecilan atas kelahiran putri pertama.
Kedua wanita itu tiba satu jam kemudian di rumah Dewi. Mereka membawa hadiah berupa baju dan beberapa perlengkapan bayi lainnya. Dewi menyambut adik sepupunya itu dan mempersilakan mereka untuk masuk. Alesha langsung meminta izin untuk menggendong bayi mungil yang berada di pangkuan sang ibu.
"Mbak, kok sepi, sih? Katanya ngadain syukuran?" tanya Alesha sambil menimang-nimang bayi dalam gendongannya yang terlelap itu.
"Emang Mbak cuma ngundang kalian aja, kok. Sama Bagas, sih. Tapi dia lagi ikut suamiku buat cari camilan."
"Loh, saudara yang lain nggak dateng juga?"
"Saudara mana lagi, sih, Sha?" Kali ini Aqila yang berbicara.
"Saudara dari bokap lo, lah."
Aqila dan Dewi menertawakan kebingungan dari wanita yang mengerutkan kening itu.
"Lo ke mana aja, sih, Sha? Mbak Dewi ini saudara dari nyokap gue. Ya kali, gue sedeket ini sama saudara dari bokap."
"Oh, jadi bukan, ya? Sori. Gue nggak tau."
Dewi mengambil alih bayinya saat makhluk mungil itu menangis karena terbangun dari tidurnya.
"Terus, Mbak. Itu Pak Bagas kok bisa deket banget sama Mbak Dewi? Nurut lagi sama Mbak."
"Oh, itu. Ya karena kita emang udah deket pas masih sama-sama kuliah di Amerika. Terus pas balik ke sini, suamiku yang kasih modal ke Bagas buat mendirikan perusahaannya yang sekarang ini."
"Oh, gitu. Sekarang aku ngerti kenapa Pak Bagas nurut dan segan banget sama Mbak."
"Ada apa nyebut-nyebut namaku segala?"
Ketiga wanita itu menoleh bersama dan menemukan Bagas sudah berdiri di dekat pintu. Wajah Alesha tampak pucat karena tertangkap basah sudah kepo tentang kehidupan pribadi dari atasannya itu.
Bersambung
~~~
Ehem, yang lagi seneng. Awas bikin ulah lagi.😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top