Bab 31. Investor
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Bagas merebahkan diri di kasur setelah membersihkan tubuh dan mengisi perut. Dia tersenyum mengingat Alesha yang kesal lalu turun dari mobil dan berjalan sambil mengomel. Pria itu memejam berharap bisa segera terlelap. Namun, bayangan teman masa kecilnya dan kalung yang pernah dia berikan terlintas begitu saja. Dia terbangun lagi dan langsung duduk. Alesha. Bagas sempat melihat kalung yang dipakai sekretarisnya itu persis seperti bentuk liontin milik teman masa kecilnya.
Pria itu ingin sekali menanyakan asal-usul kalung milik Alesha, tetapi belum ada kesempatan dan alasan tepat untuk melakukannya. Salah-salah dia nanti dikira terlalu kepo dan ingin ikut campur urusan pribadi dari karyawannya. Dia turun dari kasur dan berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Kini, kepalanya terasa sakit dan bisa dipastikan tidak akan bisa kembali tidur hingga tengah malam.
Ah. Dia teringat belum mengecek ponsel sejak di rumah sakit. Bagas kembali ke kamar dan mengambil ponsel yang tengah diisi daya. Pria yang mengenakan kaus polos lengan pendek dengan celana pendek selutut itu mengusap layar dan memeriksa notifikasi yang muncul. Dia segera menghubungi Glen saat melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari pria itu.
"Ada apa, Glen? Sori tadi gue nggak liat HP."
Bagas langsung menyapa saat Glen menjawab panggilan tersebut. Dia yakin ada berita penting yang akan disampaikan oleh pria itu karena sudah berusaha menghubunginya beberapa kali. Semoga kabar baik tentang rencananya untuk berinvestasi.
"Ah, iya, Gas. Gue mau ngabari kalo berkas perjanjian kerja sama udah siap. Tinggal nunggu lo aja kapan ada waktu nanti biar gue pertemukan sama Pak Anton. Soalnya, untuk sekarang ini kondisi kesehatan beliau kurang baik."
"Oh, gitu. Oke. Kayaknya besok gue nggak ada jadwal yang mendesak. Gimana kalo pas makan siang aja kita ketemunya? Terus ini nanti kita ketemu di rumah beliau atau gimana?"
"Nggak perlu. Tetep ketemu di kantor. Soalnya beliau udah konfirmasi kalo masalah kerjaan bakal diusahakan datang ke kantor."
"Oke. Atur aja buat besok siang."
"Siap. Sampek ketemu besok siang."
Setelah mengakhiri telepon dengan Glen, Bagas tidak langsung kembali tidur. Dia justru membuka laptop di meja kerjanya dan mulai mempelajari tentang PT. Wijaya Utama. Pria itu mempersiapkan beberapa opsi model kerja sama untuk meyakinkan Anton Wijaya. Terlalu bersemangat karena banyak ide yang muncul, membuat Bagas terus bekerja di depan laptopnya hingga tertidur dengan posisi kepala bersandar di meja.
Keesokan paginya, Bagas terbangun dengan leher yang kaku. Pria itu memijat belakang leher lalu memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri hingga memutarnya sampai terdengar suara keretek untuk mengurangi rasa kaku. Dia bersiap ke kantor setelah mencetak berkas yang sudah dikerjakannya semalaman.
Saat istirahat makan siang, Bagas keluar ruangan dan mendatangi meja Alesha. Dia meminta sekretarisnya itu untuk mengosongkan jadwal hingga sore.
"Oh, iya. Jangan lupa besok atur pertemuan dengan pimpinan PT. Fajar Gemilang waktu makan siang. Sebaiknya kamu buat reservasi hari ini di restoran Ambar. Soalnya restoran itu hanya melayani tamu yang sudah memesan tempat satu hari sebelumnya. Dan pimpinan perusahaan distributor itu nggak mau kalo tempatnya bukan di restoran Ambar. Jadi, kamu harus langsung pesan tempat. Inget, ya! Perjanjian ini bernilai ratusan juta."
Bagas menekankan kalimat terakhirnya agar menjadi beban sekaligus pengingat untuk sekretaris yang sering ceroboh itu.
"Baik, Pak. Siap! Semua beres sama saya."
Alesha menjawab dengan mantap setelah mencatat semua perintah bosnya di buku catatan kusus. Wanita itu lalu berdiri untuk memberi salam.
Meski sebenarnya Bagas belum bisa percaya sepenuhnya kepada Alesha, tetapi pria itu mencoba untuk melatih sekretarisnya agar terbiasa dengan cara kerjanya.
Di dalam mobil, Bagas tersenyum bangga melihat berkas yang dibawa lalu meletakkannya di kursi samping pengemudi. Dia terlihat percaya diri dengan bahan diskusi yang akan disampaikannya kepada Anton. Pria yang memakai setelan jas biru dongker itu melajukan mobil menuju PT. Wijaya Utama.
Bagas tiba di lobi perusahaan pupuk terbesar kedua se-Indonesia itu empat puluh menit kemudian dan langsung disambut oleh Glen. Kedua pria itu berjalan beriringan lalu menaiki lift menuju ruangan direktur utama di lantai enam. Di dalam benda kotak yang bisa naik dan turun itu, Glen menjelaskan secara ringkas mengenai perjanjian kerja sama tersebut. Bagas juga memberitahu pria itu mengenai beberapa opsi yang telah disusunnya semalam.
Keluar dari lift, mereka sudah disambut oleh sekretaris dari Anton Wijaya. Wanita itu membawa mereka ke ruangan direktur utama lalu mempersilakan masuk setelah mengetuk pintu terlebih dulu. Kedua pria itu masuk dan langsung bersalaman dengan Anton dan seorang pria paruh baya di samping direktur tersebut. Rupanya, Anton sudah menyiapkan pengacara untuk penandatanganan kontrak kerja sama yang akan mereka lalukan.
"Selamat siang, Pak Anton. Perkenalkan, ini Pak Bagas dari PT. Starfood Anggara yang tertarik untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan Bapak." Glen memulai percakpan setelah mereka dipersilakan duduk.
"Wah, ternyata masih sangat muda, ya? Saya bangga kalo melihat anak muda zaman sekarang bisa memulai bisnisnya hingga sukses."
"Terima kasih, Pak Anton. Saya sangat tersanjung dengan pujian Bapak."
"Ah, biasa saja. Saya hanya mengutarakan yang sebenarnya. Tapi, yang menjadi pertanyaan saya sejak mendapat tawaran dari Pak Glen beberapa waktu lalu. Kenapa Anda tertarik dengan perusahaan yang berada di ambang kehancuran, sementara orang lain sengaja melarikan diri?" Anton terbatuk setelah berbicara agak panjang. "Maaf, maklum faktor umur. Saya jadi lebih sakit-sakitan apalagi setelah perisiwa yang menimpa perusahan saya."
"Tidak masalah, Pak. Saya yang harusnya minta maaf karena sudah mendesak untuk bertemu. Padahal kondisi kesahatan Bapak sedang tidak baik."
Anton mengangkat tangan sambil mengangguk-angguk. "Saya ngerti. Perusahaan saya juga lagi butuh dana cepat. Jadi, anggap saja kita sekarang lagi diburu kebutuhan."
"Baik, Bapak-bapak. Sebaiknya kita langsung saja masuk ke dalam pembahasan kerja sama ini. Bagaimana?" Glen menyela agar mereka fokus pada pembahasan utama.
"Oh, iya. Benar sekali Pak Glen. Boleh saya baca dan pelajari dulu berkasnya?"
Glen segera memberikan berkas yang diminta oleh Anton. Kemudian, dia bersama Bagas juga ikut mempelajari duplikat dari berkas tersebut, sementara Anton membicarakannya dengan pengacara perusahaan. Bagas mendongak saat Anton meletakkan berkas itu di meja.
"Saya setuju dengan semua poin yang ada dalam surat perjanjian ini. Tapi, masalahnya kita tidak bisa membiarkan orang lain tahu kalo perusahaan saya mendapat suntikan dana dari pihak luar. Masih banyak urusan yang belum selesai dengan PT. Bara Mila. Biar itu menjadi urusan pribadi saya. Bagaimana?"
Bagas tersenyum mendengar pernyataan dari Anton yang memang sudah diprediksinya itu. Dia menyerahkan berkas lain untuk model kerja sama yang bisa disepakati oleh kedua belah pihak. Anton menerima lalu mempelajari berkas tersebut bersama pengacaranya.
"Saya setuju dengan yang pertama ini. Tapi, untuk teknisnya nanti gimana?"
Lagi-lagi Bagas tersenyum karena opsi penawaran tersebut merupakan peluang terbesar untuk Anton menyetujuinya.
"Kebetulan, saya punya program kerja sama dengan petani untuk menanam kentang yang akan dijadikan keripik oleh perusahaan saya. Nanti, kita bisa melakukan kerja sama juga dengan toko pertanian agar membeli pupuk dari perusahaan Anda dan mendistribusikannya kepada petani binaan perusahaan saya. Bagaimana?"
"Oh, kalo gitu saya sangat setuju. Pasar sudah ada tinggal pendistribusiannya saja."
Kedua belah pihak sudah saling sepakat dan menandatangani surat perjanjian di hadapan pengacara beserta saksi. Bagas tersenyum puas dengan hasil yang diperolehnya hari ini. Tidak sia-sia dia begadang semalaman hingga ketiduran di meja.
Bersambung
~~~
Seneng banget kayaknya, Pak!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top