Bab 29. Canggung
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Bagas berdiri mematung dengan mulut terbuka lebar setelah kepergian Alesha dan sahabat wanita itu. Saat tersadar, dia seperti orang linglung yang tidak tahu harus berbuat apa. Pria itu menatap paper bag yang tadi diberikan oleh Alesha lalu mengintip isinya. Kotak bekal. Dia menggeleng untuk mengembalikan fokusnya. Kemudian, dia menutup pintu unit apartemennya dan berjalan menuju lift.
Tiba di kantor, dia membawa turun paper bag yang berisi kotak bekal kosong itu. Selama perjalanan dia menghabiskan roti lapis yang dibuat oleh sekretarisnya. Seperti sebelum-sebelumnya, makanan buatan Alesha memang lezat hingga membuat Bagas menghabiskan roti lapis tersebut dengan lahap.
Keluar dari lift di lantai empat, Bagas melihat Alesha berada di salah satu meja staf administrasi. Sepertinya wanita itu sedang memberikan arahan untuk dokumen yang harus diperbaiki. Pria itu tetap berdiri di depan lift sambil terus memperhatikan sekretarisnya itu. Bukannya dia tidak menyadari jika wanita yang baru satu minggu bekerja di kantornya itu sudah menarik perhatian beberapa karyawan pria karena kecantikannya. Beberapa dari mereka juga terang-terangan mendekati Alesha. Namun, dia tidak peduli dengan hal itu selama tidak mengganggu pekerjaan.
Bagas hendak tersenyum saat tatapannya bertemu dengan tatapan Alesha. Namun, wanita itu langsung mengalihkan pandangan. Padahal, jelas-jelas tadi tatapan mereka bertemu. Dia jadi teringat dengan catatan yang ditinggalkan di kotak bekal. Wanita itu memohon-mohon untuk tidak diminta mengundurkan diri dan membayar penalti akibat perbuatannya semalam. Pria itu tersenyum geli sambil menggeleng lalu pergi ke ruangannya.
Dia meletakkan paper bag milik Alesha di meja dan menemukan secangkir kopi untuknya sudah tersedia. Bagas meneguk kopi tersebut lalu menghirup aromanya yang bisa membangkitkan semangat.
"Masuk," sahutnya saat terdengar ketukan di pintu.
Alesha masuk dengan membawa setumpuk dokumen di tangan lalu mendekat ke meja Bagas. Wanita itu tidak berani menatap langsung ke arah bosnya dan justru terus menunduk.
"Ini dokumen yang sudah saya periksa dan sudah direvisi. Bapak bisa cek lagi sebelum tanda tangan. Saya permisi, Pak."
Alesha buru-buru berbalik setelah meletakkan dokumen-dokumen tersebut di meja Bagas.
"Oke. Makasih."
Bagas menggeleng sambil terus menatap punggung Alesha hingga wanita itu keluar dari ruangannya. Pria itu mengernyit ketika menyadari ada yang janggal dengan sikap sekretarisnya itu. Mengapa seolah wanita itu canggung di dekatnya? Dia mengangkat bahu lalu fokus pada tumpukan dokumen di hadapannya itu.
Terlalu fokus memeriksa dokumen dan menandatanganinya, tidak terasa sudah masuk waktu makan siang. Bagas meregangkan tubuh sebelum keluar ruangan. Dia membawa paper bag yang akan dikembalikan kepada Alesha.
"Alesha, saya mau ngembaliin kotak bekal. Makasih buat sarapannya."
Bagas meletakkan paper bag yang dibawanya ke meja Alesha. Pria itu mengerutkan kening karena tidak mendapat balasan, sementara sekretarisnya sibuk membereskan barang.
"Kamu mau makan siang? Sekalian aja bareng saya sama Bu Dewi juga. Makan di kantin kantor."
Alesha menghentikan kegiatannya lalu mendongak sekilas dan langsung menunduk kembali saat Bagas membalas tatapannya.
"A-anu, Pak. Saya mau makan di luar. Udah janjian sama temen saya. Tapi, Bapak tenang aja. Saya nggak akan telat balik ke kantornya. Kalo gitu saya duluan, ya, Pak." Wanita itu mengangguk untuk berpamitan lalu meninggalkan Bagas yang lagi-lagi terbengong melihatnya.
Bagas makin mengernyit. Seharusnya gue yang marah dan ngerasa dirugiin karena dia yang nyium gue, kan? Tapi, kenapa justru dia yang sikapnya aneh? pikir Bagas.
Pria itu menghela napas lalu berjalan menuju lift. Dia bertemu dengan Dewi di lantai tiga dan mereka pergi ke kantin.
"Pak Bagas, aku udah nyiapin izin cuti buat tiga bulan. Mulai minggu depan, ya. Soalnya, jadwal lahirannya minggu depan." Dewi membuka obrolan setelah mereka memesan makanan.
"Oh, oke. Ya udah sini mana. Biar saya tanda tanganin sekalian."
"Nanti aja aku kasih lewat sekretaris Bapak. Soalnya sekarang nggak bawa. Aku juga belum ngajuin di sistem."
Bagas mengangguk. "Oke."
"Terus gimana penilaian Bapak terhadap Alesha? Nggak ada hal-hal aneh yang terjadi, kan?"
Bagas terbatuk mendengar pertanyaan dari Dewi itu. Dia tidak langsung menjawab. Pikirannya justru mengingat kejadian semalam dan membuatnya salah tingkah. Pria itu berdeham sambil melonggarkan dasinya.
"Kenapa? Dia bikin ulah lagi?" tanya Dewi lagi karena Bagas tidak segera menjawabnya.
"Ehm, sejauh ini masih aman, kok. Semoga dia nggak buat masalah lagi."
Dewi bernapas lega. "Syukur, deh. Jadi, aku bisa cuti dengan tenang. Jangan bikin masalah apalagi sampek mecat dia sembarangan! Kalo nggak mau Bapak yang aku pecat nanti."
"Oke-oke. Santai, Bu Dewi." Bagas sedikit keder juga mendengar ancaman dari kepala HRD-nya itu.
Bagas kembali ke ruangannya setelah menghabiskan makan siang dan berpisah dengan Dewi di lantai tiga. Dia sempat mampir ke meja Alesha dan belum menemukan sekretarisnya itu di sana. Pria itu mengeluarkan ponsel hendak menghubungi Alesha, tetapi diurungkannya saat melihat jam dan waktu istirahat masih tersisa sepuluh menit lagi. Dia lalu berjalan ke ruangannya.
Alesha masuk ke ruangan Bagas setelah mengetuk pintu dan dipersilakan. Masih tetap menunduk, wanita itu meletakkan dokumen pengajuan cuti melahirkan milik Dewi di meja.
"Ini dokumen punya Bu Dewi, Pak. Beliau mulai cuti minggu depan."
"Oh, iya. Saya tadi udah ketemu sama dia. Nanti biar saya periksa sebelum tanda tangan dan ngasih persetujuan di sistem."
"Baik, Pak. Kalo gitu saya permisi." Wanita itu buru-buru berbalik agar bisa segera keluar dari ruangan tersebut.
"Alesha tunggu!" Bagas mencekal lengan sekretarisnya itu.
"Maaf, Pak. Saya harus kembali ke meja. Masih banyak yang harus saya kerjakan."
Bagas makin mengeratkan pegangannya di lengan wanita itu saat Alesha berusaha membebaskan diri.
"Mau sampek kapan kamu ngehindari saya?" Bagas menarik tangan Alesha hingga wanita itu berbalik menghadapnya.
Alesha menunduk sambil menahan napas saat Bagas menatapnya intens. "Ehm, i-itu saya nggak ngehindar, kok, Pak."
"Kalo nggak ngehindar, terus kenapa kamu seharian ini nggak berani natap saya langsung?"
Alesha mundur saat Bagas mendekat untuk mengintimidasi hingga punggungnya menabrak sesuatu yang keras. Wanita itu segera berbalik saat menyadari di belakangnya adalah pintu. Tangan Alesha hendak memutar hendel, tetapi pria itu segera menghentikannya dengan menahan pintu menggunakan tangan.
Bagas manaikkan alisnya ketika Alesha berbalik menghadapnya lagi. "Apa perlu saya kembalikan yang udah kamu lakukan kepada saya semalam?"
Wanita itu menelan ludah susah payah ketika pria di hadapannya makin mendekatkan wajah hingga hidung mereka menempel.
Bagas hampir gila melihat adegan semalam melintas dalam pikirannya. Apalagi, saat ini posisi mereka persis seperti semalam. Fantasinya makin liar melihat bibir yang pernah mengecupnya itu. Salahkah jika kini dia yang memulai?
Pria itu tersentak ketika merasakan dorongan dari tangan Alesha di dadanya. Dia berdecak melihat sekretarisnya berhasil lolos dengan membanting pintu. Bagas mengusap wajahnya untuk menyadarkan diri yang hampir lepas kontrol itu. Dia tidak menyangka jika dadanya akan berdebar kencang seperti saat ini setelah mencoba menggoda Alesha. Mengapa justru dirinya yang tergoda?
"Pak Bagas, tolong! Bu Dewi, Pak!"
Bagas mengerjap beberapa kali untuk memahami situasi yang ada. Setelah memastikan teriakan itu berasal dari Alesha, dia segera keluar ruangan. Tiba di depan pintu dia kebingungan dengan apa yang terjadi. Dia melihat Alesha memegangi Dewi yang kesakitan sambil memegang perut. Kemudian, sesuatu berupa cairan merembes dari celana yang dikenakan Dewi.
Bersambung
~~~
Hayo, Pak Bagas mulai nakal.🤭
Wah, udah Oktober aja, nih. Masih semangat buat ngawal mereka sampek tamat, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top