Bab 22. Berdebar

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Alesha masih senyum-senyum sendiri setelah pria yang duduk di kursi pengemudi itu meminta nomor ponselnya. Namun, senyumnya hilang saat mobil mulai keluar dari pelataran kantor dan hendak berbelok ke jalan raya. Matanya fokus menatap ke depan, lebih tepatnya ke seberang jalan tempat toko Aqila berada. Wanita itu melihat sahabatnya sedang berbincang dengan seorang pria yang paling dihindarinya untuk saat ini.

Reza.

"Berhenti dulu, Pak!"

Bagas segera menginjak rem hingga mobil berhenti mendadak. Beruntung, mereka masih berada di pinggir jalan dan tidak banyak kendaraan yang lewat. Alesha langsung turun sambil mendengkus dengan wajah yang memerah menahan marah.

"Bisa-bisanya dia datengi Aqila. Dia pikir dia siapa?" gerutu Alesha yang berjalan hendak menyeberang tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri.

Bagas yang khawatir setelah melihat ekspresi dari sekretarisnya itu bergegas menyusul turun dari mobil setelah menarik rem tangan dan mematikan mesin. Dia tidak tahu-menahu mengenai apa yang dipikirkan wanita itu, tetapi firasatnya mengatakan akan terjadi hal buruk jika dia tidak mengikuti Alesha.

"Alesha, awas!"

Benar saja, wanita itu hampir tertabrak mobil yang melaju kencang dari arah kanan kalau saja Bagas tidak menarik lengannya. Kini, posisi mereka sangat dekat dengan Bagas menahan lengan serta punggung Alesha. Tatapan mereka bertemu dan membuat keduanya merasakan debaran kencang di dada masing-masing.

Alesha yang tersadar lebih dulu mengerjap beberapa kali sebelum berdiri tegak. Hal itu membuat Bagas ikut tersadar lalu melepas tangannya yang menempel di punggung wanita itu. Mereka berdiri bersisian dengan suasana yang berubah menjadi canggung.

Diam-diam, wanita itu memegang dada yang masih berdebar kencang. Dia berusaha bernapas normal agar tidak terlihat gugup. Ya Tuhan! Kenapa cowok di samping gue ini ganteng banget? Apa gue udah tersihir oleh ketampanannya? Tidak! Alesha menggeleng untuk membuyarkan fantasinya lalu menoleh ke samping.

"Ma-makasih, Pak," ucap Alesha memecah keheningan yang tercipta.

Bagas berdeham sebelum mengangguk. "Kamu mau ke mana? Sampek buru-buru banget kayak gitu?"

Alesha yang mengingat tujuan awal menghentikan mobil Bagas secara mendadak itu segera menoleh ke seberang. Sayangnya, kedua manusia yang tadi dilihatnya sedang bersama sudah tidak ada di tempat semula.

"Maaf, Pak. Tadi saya mau nyamperin sahabat saya yang lagi ngobrol sama cowok di seberang. Tapi, sekarang mereka udah nggak ada."

Bagas ikut menatap ke seberang dan tidak menemukan siapa-siapa di sana. "Ya udah. Kalo gitu sekarang kita bisa pergi dari sini? Saya janjian jam tujuh. Kamu nggak mau bikin saya telat, kan?"

Ditanya seperti itu oleh bosnya membuat Alesha meringis. Baru saja dia bicara lagi dengan Bos Galak yang sempat bertengkar dengannya itu. Dia harus bersikap sebagai pegawai teladan jika tidak ingin dipaksa mengundurkan diri dari perusahaan dan harus membayar penalti yang jumlahnya tidak sedikit itu.

"I-iya, Pak. Kita pergi sekarang."

Wanita itu bergegas kembali ke mobil sebelum Bagas mengomelinya. Dia duduk manis di kursi samping pengemudi setelah memasang sabuk pengaman dengan benar. Bagas hanya menggeleng melihat kelakuan sekretarisnya itu lalu menghela napas sebelum melajukan mobil menuju salah satu klub malam di Jakarta Selatan.

Mereka tiba di salah satu tempat hiburan malam bagi warga kota metropolitan itu pukul 19.05 WIB. Alesha turun dari mobil lalu mengikuti Bagas yang berjalan lebih dulu memasuki klub malam itu.

"Maaf, Pak. Kita jadi telat gara-gara saya."

Bagas menoleh ke kiri melihat Alesha yang sudah menyusulnya. "Enggak apa-apa. Sudah terjadi juga. Nanti kamu jangan jauh-jauh dari saya. Jangan sentuh minuman beralkohol satu gelas pun. Saya nggak mau kamu muntah lagi kayak malam itu. Dan saya bisa pastikan bakal ninggalin kamu di sini kalo kamu mabok."

Alesha menelan ludah kasar. Dia hanya megangguk sambil meringis lalu berjalan beriringan bersama bosnya itu. Otaknya langsung memutar ingatan kejadian beberapa waktu lalu saat pertemuan pertamanya dengan Bagas. Kalau diingat-ingat lagi, malam itu dia benar-benar berkelakuan konyol. Sungguh memalukan!

Mereka menghampiri ruangan VIP yang terpisah dari lantai dansa di bawah. Ruangan tersebut terletak di lantai dua yang lebih tenang dibanding lantai satu dengan musik mengentak keras.

"Woi, Pak Bagas!"

Alesha melihat seorang pria seumuran Bagas melambai kepada bosnya itu. Dia agak risih dengan pemandangan di hadapannya saat ini. Wanita itu memang pernah beberapa kali mengunjungi klub malam bersama sahabatnya, tetapi tidak pernah menggunakan ruangan VIP seperti saat ini. Dia melihat pria itu duduk di tengah sofa panjang berwarna merah dengan diapit dua wanita penghibur yang mengenakan pakaian serba terbuka. Di depannya terdapat meja panjang dengan berbagai makanan dan buah menghiasi atas meja tersebut.

Alesha tetap berjalan di samping Bagas hingga mereka tiba di hadapan pria tak dikenal itu.

"Silakan duduk, Pak Bagas."

Suara pria itu terdengar sedikit bergetar. Pasti karena pengaruh alkohol, deh. Alesha membatin. Wanita itu tersentak saat tangan Bagas menarik ujung bajunya. Dia menoleh dan mendapati bosnya memberi isyarat agar segera duduk. Alesha menurut dan duduk di samping Bagas.

"Oh, sori. Gue bakal usir mereka kalo kalian nggak nyaman."

Kedua wanita penghibur itu segera meninggalkan ruangan setelah pria itu memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu. Mereka bahkan sempat mencium pipi pria itu sebelum benar-benar keluar.

Alesha masih bingung dengan tujuan dari bosnya datang kemari dan menemui pria yang kini menatapnya bagai singa lapar itu. Dia tersenyum canggung saat pria itu tidak juga mengalihkan perhatian darinya.

Bagas berdeham untuk menarik perhatian kliennya. "Bagaimana kalo kita langsung saja, Pak Juna?"

Pria yang bernama Juna itu tetap tidak mengalihkan pandangannya dari Alesha. Dia justru berdiri dan memutari meja untuk duduk di samping wanita itu.

"Tumben sekali seorang Pak Bagas dateng ke sini bawa cewek cantik kayak gini?" Juna makin mendekat ke arah Alesha yang memasang ancang-ancang ingin segera kabur dari sana.

"Dia sekretaris saya, Pak Juna. Dia di sini sedang bekerja dengan saya untuk membahas kontrak kita yang sempat kita bicarakan beberapa waktu lalu."

Bagas menarik tangan Alesha dan memberinya kode untuk pindah ke sisi lain saat tangan Juna hendak menyentuh tubuh sekretarisnya itu.

"Oh, sori. Kalo di luar jam kerja bisa, dong jalan bareng gue?" tanya Juna sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Alesha yang bergidik saat melihatnya.

"Maaf, sepertinya itu juga nggak bisa."

Bagas bergeser agar tubuhnya menutupi Alesha dari pandangan kliennya itu.

Debar di dada Alesha yang sempat hilang, kini kembali lagi ketika tangan Bagas yang menggenggam tangannya tidak kunjung dilepas.

"Oh, oke. Gue nyerah kalo bosnya udah posesif gini sama keryawannya."

Juna mengangkat tangan. Pria itu memilih untuk mengambil gelas lalu mengisinya dengan es batu dan menuangkan wiski ke dalamnya.

"Kita minum dulu, Pak Bagas!" ajaknya yang ditanggapi dengan gelengan oleh Bagas.

Juna menyerah dan meminum wiskinya sendiri hingga tandas. Kemudian, pria itu membetulkan posisi duduknya sebelum memulai pembicaraan serius dengan Bagas. Alesha yang duduk sambil ditutupi oleh tubuh tegap Bagas, masih mencoba mendapatkan asupan oksigen yang cukup karena dadanya terasa sesak.

Bersambung

~~~

Eh, eh, ada yang berdebar, nih.😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top