Bab 21. Dia Kembali

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka, like, komen, sama share, ya

~~~

Bagas bangun dengan kepala terasa mau pecah. Semalam dia mampir ke swalayan dan membeli beberapa kaleng bir. Tiba di kamar hotel, pria itu kesulitan tidur dan memilih untuk menghabiskan tiga kaleng bir tanpa makan malam. Akhirnya, dia mabuk berat dan tertidur lelap hingga baru bangun pukul setengah sembilan pagi.

Tahu jika sudah terlambat ke kantor, dia justru kembali menikmati tidur dan membolos kerja. Toh, dia sudah tidak punya sekretaris yang akan mengingatkan kegiatannya hari ini. Namun, kesenangannya itu terganggu oleh dering ponsel. Terpaksa dia bangun dan mengangkat panggilan dari kepala HRD.

Bagas segera bersiap dan berangkat ke kantor setelah mendapat kabar jika sekretarisnya tidak jadi mengundurkan diri. Dia sempat mampir ke apartemen untuk mengganti pakaiannya. Pria itu tiba di kantor pukul 10.25 WIB dan langsung menuju ruangannya di lantai empat. Dia mengerutkan kening saat tidak menemukan Alesha di meja depan ruangannya. Pimpinan perusahaan itu mendengkus lalu masuk ke ruangannya.

Ketika membuka pintu, pria itu menemukan Alesha sudah berada di ruangannya. Antara senang dan kesal bercampur menjadi satu, membuat Bagas bingung menunjukkan sikapnya. Alhasil, dia justru bersikap dingin terhadap sekretarisnya itu.

Setelah meminta Alesha keluar dari ruangannya, dia menghela napas panjang lalu memeriksa email dan dokumen yang ada di meja. Dia sempat tertegun membaca catatan yang ditinggalkan sekretarisnya melalui sticky notes di atas dokumen.

Tolong tanda tangani saya.

Saya sudah diperiksa dan dinyatakan bersih.

Terima kasih

Hal itu membuatnya teringat pada kejadian yang sudah bertahun-tahun lalu itu. Teman masa kecilnya suka sekali berbicara melalui sticky notes dan meninggalkannya di berbagai tempat. Apalagi, kalau temannya itu ingin meminta bantuan atau meminta maaf kepadanya.

Wajah kakunya seketika berubah ceria dengan senyuman menghiasi bibir. Tidak! Dia segera menggeleng saat menyadari pikiran konyolnya yang menyamakan Alesha dengan teman masa kecilnya itu. Mereka jelas jauh berbeda. Teman masa kecilnya itu adalah gadis yang manis, penurut, dan cantik. Sementara Alesha? Dia cantik, sih, tetapi pembangkang, dan sedikit barbar.

Bagas mendongak saat mendengar ketukan di pintu. Dia mempersilakan seseorang itu masuk. Pria itu menyipit saat melihat Alesha berjalan mendekat dengan membawa sesuatu di tangan.

"Apa perkataan saya kurang jelas? Saya minta kamu untuk kirim email kalo ada perlu dengan saya."

Alesha tetap mendekat ke meja lalu meletakkan sebuah dokumen di hadapan Bagas. "Saya denger, kok, Pak. Saya sudah kirim email untuk detailnya. Saya ke sini cuma mau nyerahin laporan yang akan Bapak bahas dalam rapat siang ini."

Bagas mengecek email untuk memeriksa pesan yang dikirimkan sekretarisnya itu. "Oke. Nanti saya baca semuanya. Kamu boleh kembali ke mejamu."

"Ehm, satu lagi, Pak. Bapak mau dipesankan makanan untuk makan siang? Sepertinya kondisi Bapak hari ini kurang sehat. Bapak kurang tidur? Wajah Bapak keliatan lesu dan nggak bersemangat seperti biasanya."

Bagas memijit keningnya yang terasa makin sakit mendengar perkataan Alesha. "Saya bisa urus diri sendiri. Sebaiknya kamu keluar sekarang daripada bikin saya makin pusing."

Alesha sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi diurungkannya ketika melihat Bagas melotot. Dia hanya mengangguk lalu berbalik. Di depan pintu dengan tangan yang sudah memegang hendel, wanita itu menoleh ke belakang.

"Kopinya jangan lupa diminum, Pak. Siapa tau bisa ngurangi sakit kepala Bapak."

Kemudian, dia segera keluar dan menutup pintu sebelum Bos Galak berubah menjadi macan kelaparan yang siap menerkamnya. Alesha kembali ke meja dengan terus menatap layar komputer, kalau-kalau bosnya itu mengirimkan perintah melalui email.

Benar saja, sepuluh menit kemudian, Bagas mengiriminya email meminta untuk disiapkan makan siang ke ruangannya. Wanita itu bergegas ke kantin untuk membeli pesanan bosnya.

Sementara itu, Bagas yang masih berada di ruangannya kembali memeriksa dokumen yang ditinggalkan Alesha di meja. Dia meminum kopi yang juga sudah tersedia di meja setelah menandatangani dokumen-dokumen tersebut. Dia tersenyum saat menyeruput kopinya. Rasa yang pas sesuai selera membuat pria itu rileks dan sempat memejam sambil bersandar di kursi. Sakit di kepala mulai berkurang hingga membuatnya terlelap sekejap.

Pria itu terbangun saat mendengar suara menggerisik di dekatnya. Dia membuka mata dan menemukan Alesha sudah berdiri di depan meja sambil menata sesuatu.

"Oh, maaf, Pak. Saya nggak bermaksud buat bangunin Bapak. Saya cuma mau nyiapin makan siang sesuai pesanan Bapak tadi." Wanita itu berdiri sambil meremas tangan. "Kalo gitu saya permisi. Selamat menikmati makan siangnya."

"Makasih," gumam Bagas yang masih berusaha menyadarkan diri sepenuhnya.

Pria itu keluar ruangan setelah menghabiskan makan siangnya dan mencuci muka agar terlihat lebih segar. Dia membawa laporan yang tadi diberikan oleh Alesha lalu menghampiri sekretarisnya itu.

"Bapak sudah siap? Saya sudah menyiapkan ruang rapat dan seluruh kepala divisi sudah menunggu di sana."

"Oke. Makasih. Kamu juga ikut saya."

Alesha mengangguk lalu mengambil ponsel beserta buku catatan dan pulpen sebelum mengikuti Bagas ke ruang rapat di lantai tiga.

Wanita itu bertindak sebagai moderator dalam rapat divisi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu. Dia mencatat seluruh keputusan dari hasil rapat tersebut lengkap dengan tanya jawabnya. Tepat pukul 15.15 WIB dia kembali ke meja setelah merapikan kembali ruang rapat itu.

Bagas sudah berada di ruangannya karena dia pergi lebih dulu setelah rapat ditutup. Dia mengecek ponsel dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari seorang kilen. Pria itu segera menelepon balik klien tersebut.

"Oke. Kita ketemu di sana jam tujuh."

Bagas menutup panggilan tersebut setelah mereka menyepakati tempat dan waktu pertemuan. Pria itu membuka komputer untuk mengirim email kepada sekretarisnya. Dia meminta Alesha ikut dengannya untuk bertemu klien di sebuah klub malam. Dia tidak mau ambil risiko kembali mabuk malam ini jika memutuskan datang sendirian. Setidaknya, wanita itu bisa menjadi sopir saat dia kembali mabuk atau sebagai pengingat agar tidak meminum alkohol di sana.

Tepat pukul enam malam, Bagas keluar ruangan dan melihat Alesha masih setia duduk di meja kerjanya sambil memainkan ponsel. Pria itu berdeham untuk menarik perhatian sekretarisnya.

Alesha mendongak dan bergegas berdiri. "Sekarang, Pak?"

Bagas mengangguk lalu berjalan menuju lift. Alesha mengambil tas dan mengikuti bosnya itu.

"Saya atau Bapak yang nyetir?" tanya Alesha ketika mereka tiba di parkiran.

"Untuk sekarang, saya aja. Mungkin nanti saat pulang kamu yang menggantikan saya menyetir."

Alesha segera mengikuti Bagas masuk ke mobil. Dia memasang sabuk pengaman lalu menatap lurus ke depan. Wanita itu mengernyit saat Bagas mengulurkan ponsel milik pria itu ke hadapannya.

"Tulis nomor kamu di sini. Kalo saya ada perlu tinggal nge-chat­ atau telpon kamu. Nggak perlu bales-balesan email lagi."

Alesha menerima ponsel itu sambil menahan senyum. Dia mengetikkan nomor ponselnya lalu menyerahkan kembali kepada Bagas. Pria itu memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya setelah menyimpan nomor Alesha.

Bagas melajukan mobil keluar dari parkiran kantor. Namun, baru saja mereka hendak berbelok ke jalan besar, pria itu tiba-tiba menginjak rem mendadak setelah mendengar permintaan wanita yang duduk di sampingnya itu.

"Ada apa? Kamu tau kita bisa celaka kalo barusan kita ada di tengah jalan!"

"Maaf, Pak. Tapi, saya harus ke sana dulu. Sebentar aja." Wanita itu menunjuk ke arah seberang.

Bagas ikut melihat ke arah yang ditunjuk oleh sekretarisnya itu. Dia melihat teman Alesha di depan toko wanita itu bersama seorang pria. Belum sempat dia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, Alesha sudah turun dari mobil dan hendak menyeberang. Pria itu ikut turun karena khawatir setelah melihat emosi dari wajah sekretarisnya.

"Alesha, awas!"

Hampir saja terjadi kecelakaan jika Bagas tidak cepat menarik Alesha yang hendak menyeberang tanpa melihat ke kanan dan ke kiri itu. Pria itu menahan lengan dan punggung sekretarisnya agar tidak limbung. Tatapan mereka bertemu. Mereka bertatapan dengan dada masing-masing yang berdebar kencang.

Bersambung

~~~

Ciiee, minta nomor hp, nih, Pak Bagas?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top