Bab 19. Penalti
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Tangan mengepal dengan dada naik turun karena menahan emosi. Bagas terus berdiri di depan ruangannya seraya memperhatikan kepergian Alesha hingga wanita itu menghilang ke dalam lift. Kemudian, dia mendengkus dan melayangkan tinjunya ke meja sekretaris, tetapi langsung ditariknya kembali saat mengingat karyawannya masih memperhatikan. Pria itu segera memerintahkan para staf administrasi untuk kembali bekerja dan memberikan informasi jika rapat ditunda.
Bagas masuk ke ruangannya sambil membanting pintu dengan keras. Dia duduk dan menyandarkan diri di kursi dengan mengatur napas perlahan. Tarik napas ... buang. Dia melakukannya sebanyak tiga kali. Setelah merasa tenang, dia mengambil cangkir kopi di meja yang masih tersisa setengah lalu meminumnya hingga tandas.
Pria itu berdecak setelah meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. Emosi yang sempat hilang itu muncul lagi ketika mengingat kopi yang baru saja diminumnya merupakan buatan Alesha. Bisa-bisanya wanita itu pergi saat Bagas masih belum selesai bicara. Seharusnya dia yang memecat sekretaris tidak becus itu, bukannya justru wanita itu yang ingin mengundurkan diri dan pergi begitu saja.
Bagas terpaksa menunda rapat yang seharusnya sudah dilaksanakan sejak sepuluh menit lalu. Jika tetap dipaksakan, hasilnya tidak akan sesuai harapan dan justru membuatnya makin kesal.
Setelah berpikir, Bagas berdiri dan melepas jas lalu menyampirkannya di kursi. Dia keluar ruangan dan turun ke lantai tiga untuk menemui Dewi. Tiba di depan ruangan kepala HRD itu, Bagas langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Dia duduk di kursi di hadapan meja kerja Dewi. Wanita yang sempat terkejut dengan kedatangan bos tanpa permisi itu menatap dengan memicing.
Satu menit sudah berlalu dan tetap tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Bagas. Pria itu hanya duduk bersandar sambil memejam.
Dewi mengetuk meja dengan jarinya untuk menarik perhatian tamu tak diundang itu. "Kamu dateng ke sini sebagai Pak Bagas atau Bagas aja?"
Bagas menghela napas berat sebelum membuka mata. "Kepala gue rasanya mau pecah liat kelakuan sekretaris baru itu, Mbak."
Dewi mengangguk sambil menahan senyum. Kalau Bagas sudah pakai sapaan "gue", itu artinya dia tidak memosisikan diri sebagai pimpinan perusahaan. Wanita yang sudah dianggap seperti kakak sendiri oleh Bagas itu berdiri lalu berjalan ke hadapan pria itu.
"Jadi, bener tadi kalian berdua bertengkar?" tanya Dewi yang bersandar di meja sambil menghadap Bagas.
Pria itu mengangguk lalu mengusap wajahnya. "Beritanya udah sampek ke telinga lo, Mbak?"
"Kantor kita itu segede apa, sih, Gas? Kabar begitu, doang, mah cepet."
"Terus gue harus gimana sekarang, Mbak? Belum ada seminggu aja dia udah bikin gue frustrasi rasanya."
"Tapi, bukannya kamu bilang kerjaan dia oke? Terus sekarang masalahnya apa sampek kalian bertengkar kayak tadi?"
Bagas memejam sejenak sambil menghela napas lalu membuka mata lagi dan menatap Dewi yang melipat tangan di atas perut buncitnya.
"Gue akui kerjaan dia oke. Tapi, itu kalo cerobohnya nggak lagi kumat. Dan hari ini, dia ceroboh lagi. Rapat terpaksa gue tunda karena gue udah nggak mood dan masih kesel banget."
Dewi memegang pinggangnya yang terasa sakit. Sejak kehamilannya memasuki usia enam bulan, wanita itu sering mengalami sakit pinggang dan tidak bisa berdiri terlalu lama. Dia kembali ke kursi dan bersandar dengan nyaman di sana.
"Terus mau kamu sekarang gimana? Sebagai pimpinan, mau Pak Bagas apa?"
Bagas mengusap wajahnya lagi. "Kita pecat aja, deh, dia. Lagian dia juga bilang mau ngundurin diri. Kita pecat aja duluan. Cari yang bener-bener mau kerja."
"Apa? Seenaknya aja kamu main pecat. Kamu pikir cari karyawan kompeten itu gampang?"
"Dia nggak profesional banget, Mbak. Liat aja. Dia main kabur lari dari tanggung jawab. Udah ceroboh, manja lagi."
"Kamu baca kontrak kerja yang aku kasih, nggak, sih?"
"Emang kenapa?"
"Aku, kan udah bilang baca baik-baik. Bukan main tanda tangan gitu aja. Aku udah ingetin kalo kontrak kerja kali ini beda dari sebelum-sebelumnya. Kenapa? Karena aku yakin kejadian kayak gini bakal terulang lagi. Terus kamu mau sampek kapan cari sekretaris baru terus? Kamu nggak kasihan sama aku yang bentar lagi lahiran?"
Pria itu menggaruk tengkuk sambil meringis. "Emang isinya apaan, Mbak?"
Dewi menggeleng sambil mengelus dada. Dia berdiri menuju lemari di sebelah kiri mejanya lalu membuka laci bertuliskan 'Kontrak Kerja Karyawan'. Wanita itu tidak mau capek-capek menjelaskan dan langsung menyerahkan kontrak kerja tersebut kepada Bagas.
Pria itu segera membuka dan membacanya perlahan. Sampai pada poin nomor tujuh, Bagas mengerutkan kening dan membacanya hingga dua kali.
"Ini maksudnya gimana, Mbak? Kok ada penalti? Bukannya karyawan yang harus bayar kalo mengundurkan diri sebelum abis kontrak? Kenapa di sini perusahaan juga harus bayar penalti?"
"Karena aku udah capek nyariin kamu sekretaris baru lagi. Minggu depan aku udah ambil cuti melahirkan. Dan tiga bulan ke depan, aku nggak ada di kantor. Jadi, kamu mau nyusahin siapa buat nyari sekretaris baru lagi? Staf HRD? Mereka udah sibuk ngurus karyawan perusahaan yang jumlahnya nggak sedikit. Kamu harus belajar berdamai sama sekretarismu sendiri. Bukannya kalo mereka bikin salah sekali langsung main pecat gitu aja. Dan menurut penilaianku, Alesha udah tepat jadi sekretaris buat kamu. Aku yakin dia kompeten. Dan untuk apa tadi katamu? Cerobohnya itu? Kamu harus kasih kesempatan buat dia adaptasi, dong."
Bagas meremas rambutnya. "Jadi, kita nggak boleh pecat dia sebelum kontrak abis?"
Dewi mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu mengambil kembali kontrak kerja lalu meletakkannya di laci sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena Bagas terlalu frustrasi.
"Jadi, sekarang mending kamu balik ke ruangan dan lakukan tanggung jawab sebagai pimpinan perusahaan. Atau kalo memang nggak memungkinkan kembali kerja, mending kamu pulang tenangin pikiran dulu. Besok biar aku yang kasih pengertian sama Alesha."
"Lima menit." Bagas bersandar sambil memejam. Beberapa saat kemudian, napasnya sudah teratur dan Dewi membiarkan bos yang sudah seperti adiknya itu tertidur sebentar.
Dewi melanjutkan pekerjaannya dengan melepas sepatu yang dipakai karena terasa menyiksa. Kaki mungilnya tidak sanggup menahan beban tubuh yang menjadi dua kali lipat setelah mengandug itu.
Lebih dari sepuluh menit Bagas masih tertidur dan Dewi tetap membiarkannya, bahkan wanita itu sampai menyuruh beberapa karyawan yang hendak menemuinya untuk kembali lagi nanti. Pria itu terbangun lima menit kemudian.
"Sori, Mbak. Gue lama ya tidurnya?"
"Santai aja. Kantor juga kantor kamu. Bebas mau tidur di mana aja," sindir Dewi sambil meminum susu kusus ibu hamil yang baru saja dibuatnya.
"Gue balik dulu, Mbak. Besok kabari lagi hasilnya."
Dewi mengacungkan jempol lalu Bagas keluar dan kembali ke ruangannya sendiri. Pria itu terus memikirkan perkataan Dewi tentang Alesha. Apa sikapnya yang sudah kertelaluan hingga membuat sekretarisnya itu marah dan mengancam akan mengundurkan diri? Namun, dia berbuat seperti itu juga demi kebaikan karyawan dan perusahaannya. Entahlah, saat ini kepalanya sangat berat. Dia memutuskan untuk pulang lebih awal.
Bagas tidak pulang ke apartemen. Dia memilih untuk menginap di hotel karena takut berpapasan dengan Alesha dan membuatnya tidak dapat membendung emosi hingga terjadi pertengkaran lagi. Besok dia pikirkan lagi solusi yang tepat untuk mereka berdua. Kini, pria itu hanya butuh ketenangan untuk medinginkan kepala.
Bersambung
~~~
Kasian si Bagas frustrasi ngadepin sekretaris ajaib kayak Alesha. Sampek dia numpang tidur di ruangan kepala HRD.😂🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top