Bab 18. Menyerah

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Tatapan Alesha perlahan naik lalu bertemu dengan tatapan Bagas yang sangat tajam. Sekuat tenaga wanita itu menahan air mata yang sudah menumpuk agar tidak tumpah. Dia tidak akan memberikan kesenangan kepada pria di hadapannya dengan menunjukkan kelemahan. Dia tidak akan menangis!

Alesha melihat ke sekeliling dan menemukan seluruh staf administrasi berdiri untuk menonton adegan memalukan itu. Dia benci melihat tatapan mereka. Dia benci dikasihani seperti saat ini!

"Seharusnya kamu tau mana yang harus kamu prioritaskan. Kamu kerja ikut saya atau temen kamu?"

Wanita itu melirik sinis ke arah Bagas. Bosnya itu benar-benar tidak bisa melihat situasi yang ada. Bisa-bisanya dia membentak dan mempermalukan Alesha di depan umum seperti itu.

"Kenapa? Kamu mau marah lagi sama saya? Saya ngomong seperti ini di depan semuanya agar mereka tau dan bisa belajar dari kesalahan kamu juga. Agar karyawan saya nggak pernah ngeremehin tugas dan tanggung jawab mereka. Kalo aja kamu bilang kesulitan dan butuh bantuan, pasti saya minta orang lain buat bantuin kamu. Tapi, kamu sendiri yang menyanggupinya, kan? Tapi, apa? Satu pun belum ada yang kamu kerjakan dengan benar."

Alesha makin menunduk. Kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ingin sekali dia membalas semua perkataan bosnya, tetapi dia masih sadar diri jika semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Hanya saja, dia kecewa dengan sikap Bagas sekarang.

"Iya, Pak. Saya tau kalo saya salah. Saya juga sudah minta maaf. Bisa nggak kalo kita bicara di ruangan Bapak aja?"

"Kenapa? Kamu malu? Bagus, dong kalo kamu malu. Jadi, kamu bisa inget terus hari ini kalo-kalo kamu nanti mau bikin kesalahan lagi."

Alesha sudah cukup bersabar dengan tidak berkata kasar kepada bosnya itu. Namun, tanggapan Bagas kali ini justru membuat wanita itu makin kesal.

"Ya udah, kalo gitu, Pak. Saya nggak sanggup kalo harus kerja bareng orang yang suka mempermalukan orang lain di depan umum seperti Bapak. Lebih baik saya keluar dan bantu usaha temen saya."

Alesha pergi meninggalkan Bagas untuk mengambil barang-barang di meja kerjanya. Seketika suasana tegang itu berubah menjadi ajang bisik-bisik antar karyawan karena sikap sekretaris baru yang berani membantah perkataan bos.

"Alesha! Saya belum selesai bicara!" Bagas mengikuti Alesha.

"Saya sudah selesai, Pak! Besok akan saya serahkan surat pengunduran diri saya. Permisi."

Wanita itu tidak peduli dengan teriakan Bagas yang terus memanggil namanya. Dia tetap berjalan menuju lift lalu masuk ke dalamnya dan menghilang. Tiba di lobi, Alesha tidak langsung memesan ojol untuk pulang ke apartemen, tetapi dia menyeberang ke toko Aqila.

Aqila yang sedang melayani pembeli hanya mengerutkan kening saat melihat sahabatnya datang lagi sambil mengentakkan kaki. Dia segera menghampiri Alesha yang sudah duduk di kursi dekat mesin fotokopi setelah pembeli pergi.

"Kok balik lagi? Katanya ada rapat? Terus itu kenapa bawa tas segala? Udah pulang?"

Alesha tidak langsung menjawab. Dia memejam sambil menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Wanita itu membuka mata kembali setelah merasa lebih tenang.

"Gue mengundurkan diri."

"Hah? Gimana? Kok bisa?" Aqila melebarkan mata setelah mendengar hal itu.

"Ya bisalah. Gue nggak tahan sama si Bagas."

"Bagas? Bos lo itu? Kenapa? Bukannya lo bilang udah berdamai sama dia?"

Alesha yang sempat tenang kini manjadi emosi lagi gara-gara mengingat kelakuan bosnya tadi.

"Dia udah bikin malu gue di depan orang banyak, La. Gue kesel banget sama dia."

"Tunggu-tunggu! Gue nggak ngerti. Tadi lo, kan masih baik-baik aja. Malah paginya berangkat bareng. Sekarang, kok ngundurin diri. Itu gimana sambungannya coba?"

Alesha mendengkus sebelum menceritakan kejadian di kantor setelah dia kembali dari tempat sahabatnya itu. Dia bahkan bercerita sambil berdiri karena terlalu menghayati dan membuat Aqila tak berkedip dengan mulut ternganga menyaksikannya.

"Kalo lo jadi gue pasti kesel juga, kan, La?" Alesha bertanya setelah duduk kembali di samping Aqila.

"Ehm, kayaknya kalo gue jadi Bagas juga bakal ngamuk, sih, Sha."

"Kok lo jadi belain cowok itu, sih?"

"Ya, lagian lo juga, sih. Udah tau nggak bisa fokus kalo ngerjain banyak hal dalam satu waktu. Kenapa pula lo pakek ke sini sok-sokan bantuin gue? Padahal ada kerjaan penting yang harus lo lakuin. Jelas aja si Bagas ngamuk. Pasti rapat itu penting buat perusahaan, kan?"

Seperti biasa, Aqila selalu menempatkan diri dalam posisi netral dan melihat semuanya dari berbagai sisi. Meski dia sahabat Alesha, bukan berarti wanita itu harus membenarkan segala sesuatu yang dilakukan sahabatnya. Terlebih, jika memang jelas sahabatnyalah yang salah.

"Ya tapi, tetep aja dia nggak berhak marahin dan bentak gue di depan orang banyak. Dia sengaja banget bikin gue malu, La. Pokoknya gue mau ngundurin diri. Besok gue bakal nemuin Mbak Dewi buat ngasih surat pengunduran diri gue."

Alesha pindah duduk di meja kasir lalu membuka laptop milik Aqila. "Minjem laptop buat nulis surat pengunduran diri."

Aqila hanya menggeleng-geleng. "Lo yakin mau ngundurin diri? Terus gimana bisa buktiin sama bokap buat hidup mandiri? Mau cari kerjaan lain? Sekarang nyari kerja susah, Sha. Apalagi abis pandemi gini. Kemarin-kemarin malah banyak perusahaan yang mecat karyawan buat ngurangi pengeluaran. Eh, lo yang baru dapet kerjaan oke malah mau keluar."

"Ya, gue jadi karyawan lo aja, deh. Gue bantu-bantu di sini. Yang penting gue dapet penghasilan, kan," jawab Alesha sambil tetap fokus mengetik di laptop.

Aqila menoyor kepala sahabatnya itu hingga mengaduh. "Lo kira-kira, dong. Udah numpang tinggal sama gue. Masak iya lo masih nyuruh gue ngegaji lo juga? Di mana gue bisa nemu sahabat modelan lo gini dulu?"

"Bantuin sahabat jangan nanggung-nanggung, La. Udah, ah, gue mau ngetik dulu."

Esok paginya, Alesha datang ke kantor hanya untuk bertemu dengan Dewi. Dia benar-benar membawa surat pengunduran diri dan akan diserahkan kepada Dewi. Wanita itu mengetuk pintu ruangan kepala HRD. Dia segera masuk setelah dipersilakan.

"Pagi, Bu Dewi!"

Dewi mendongak lalu tersenyum. Dia berdiri dan meminta Alesha mendekat. "Pagi, Mbak Alesha. Sini-sini duduk dulu. Ada apa pagi-pagi sudah ke ruangan saya?"

Alesha berdeham sebelum mengutarakan maksud kedatangannya. "Ehm, gini, Bu Dewi. Saya yakin Ibu pasti juga sudah mendengar tentang kejadian kemarin siang. Saya ke sini mau nyerahin ini." Wanita itu menyerahkan surat pengunduran diri di dalam amplop putih panjang.

Dewi bersedekap dan tidak langsung mengambil amplop yang diletakkan Alesha di meja. "Kamu yakin dengan keputusanmu ini?"

Alesha mengangguk mantap. Dia tidak akan menarik kembali keputusannya itu. Tekadnya sudah bulat untuk tidak berurusan lagi dengan Bagas.

"Saya pikir kejadian kemarin itu hanya emosi semata. Tapi, ternyata kamu beneran serius mau mengundurkan diri?"

"Iya, Bu. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya nggak sanggup kalo harus kerja bareng orang kayak Pak Bagas. Saya tau saya salah, tapi nggak seharusnya Pak Bagas mempermalukan saya seperti kemarin."

Dewi menghela napas. "Kamu juga sudah pikirkan konsekuensi yang harus kamu tanggung saat mengundurkan diri sebelum masa kontrak kerja habis?"

"Konsekuensi? Maksudnya gimana? Konsekuensi apa?" Alesha benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Dewi.

"Kamu lupa udah tanda tangan kontrak kerja? Semuanya udah dijelaskan per poin, kan? Saya juga udah tekankan lagi waktu itu untuk poin nomor tujuh. Kamu lupa?"

Alesha mengerutkan kening sambil menggaruk tengkuk. "Saya nggak boleh mengundurkan diri sebelum satu tahun?"

"Dan kalo kamu tetap memilih untuk mengundurkan diri, kamu harus bayar penalti."

Alesha menepuk kening saat mengingat isi poin yang dibicarakan oleh Dewi itu. "Berapa penaltinya, Bu?"

"Sesuai dengan penjelasan dalam kontrak kerja. Karena kamu megundurkan diri belum ada satu bulan, berarti gaji kamu dikalikan masa kontrak satu tahun atau dua belas bulan. Kira-kira sebanyak enam puluhan juta yang harus kamu bayarkan."

"Apa?"

Alesha bersandar di kursi dengan memegang kepala yang tiba-tiba pening. Dapat dari mana dia uang sebanyak itu? Tabungannya tidak cukup dan dia juga tidak mungkin minta bantuan kepada ayahnya. Mampus!

Bersambung

~~~

Mampus, kan, Sha. Jadi puyeng sendiri sekarang.😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top