Bab 17. Di Depan Umum
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share ya
~~~
Tangan Bagas memegang tetikus dan perlahan menggulir setiap halaman laporan yang baru saja dikirim oleh sekretarisnya. Dia memeriksa setiap kata yang tampil di layar komputernya agar tidak ada kesalahan sebelum dibahas dalam rapat esok hari. Pria itu tersenyum puas setelah selesai membaca laporan pertama yang dibuat oleh Alesha. Dia segera menyimpan fail tersebut lalu mematikan komputer.
Jam menunjukkan pukul enam sore saat pimpinan perusahaan itu keluar dari ruangan. Meja sekretaris di depan ruangan sudah kosong, dia berjalan menuju lift untuk turun ke lobi. Baru keluar dari lift, pria itu melihat Alesha masih berdiri di lobi dengan ponsel yang menempel di telinga. Padahal, wanita itu sudah izin pulang sejak lima belas menit yang lalu.
Bagas tidak jadi belok menuju parkiran dan berinisiatif menghampiri sekretarisnya. Dia mengerutkan kening ketika tidak sengaja mendengar obrolan Alesha di telepon. Rumah sakit? Siapa yang sakit? batinnya.
Alesha menoleh saat mendengar seseorang berdeham dari belakangnya. "Eh, Pak Bagas? Masih di kantor?"
"Saya yang harusnya tanya gitu. Bukannya kamu udah izin pulang dari tadi? Kok masih di sini?"
Alesha menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Itu, Pak. Teman saya lagi di rumah sakit. Ini baru dikabari di rumah sakit mana. Saya baru mau pesen ojol."
"Mau saya antar aja?"
Wanita itu mengerjap tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Oh, God! Bos galak ini nawari pulang bareng? Mimpi apa gue semalem dalam sehari dapet dua kebaikan berturut-turut? pikirnya.
"Rumah sakitnya di mana?" tanya Bagas lagi saat belum ada jawaban dari Alesha.
"Eh?" Alesha menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada karyawan lain selain mereka. "Kebetulan searah dengan apartemen kita, kok, Pak. Kalo Bapak nggak keberatan, saya beneran boleh nebeng?"
Pria itu mengangguk. "Ya udah, ayo. Ini udah malem juga. Mending kamu bareng saya daripada naik ojol."
"Siap, Pak." Alesha dengan girang mengikuti Bagas berjalan ke parkiran. Gantengnya bos gue! ucapnya dalam hati setelah melihat penampilan bosnya yang jauh lebih tampan dari sebelumnya itu.
Pria itu melepas jas lalu menyampirkannya di lengan. Dia juga membuka dua kancing teratas serta menggulung lengan kemejanya hingga siku. Aura ketampanannya menjadi berkali-kali lipat dari siang tadi.
Alesha menyentuh dadanya yang berdebar. Mengapa dia harus terpesona dengan bos galak, tapi ganteng di depannya itu? Dia segera menggeleng dan berjalan lebih cepat untuk menyusul Bagas.
Hari berganti, Bagas sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Semalam dia mengantar Alesha ke rumah sakit untuk bertemu temannya. Ternyata, pegawai dari teman wanita itu yang harus dirawat akibat usus buntu bahkan malam itu juga harus dioperasi. Akhirnya, pria itu mengantar sekretarisnya pulang ke apartemen karena teman wanita itu menginap di rumah sakit.
Pria itu keluar dari unit apartemennya dan berpapasan dengan Alesha yang juga baru keluar dari unit depan. Tatapan mereka sempat bertemu. Bagas memperhatikan wanita di depannya yang berdiri dengan gelisah itu. Dia memicing ketika sekretarisnya hendak bicara.
"Pagi, Pak Bagas!" sapa Alesha basa-basi.
Bagas mengangguk sambil terus mengamati gelagat wanita di hadapannya. "Temanmu masih di rumah sakit?"
"I-iya, Pak. Bapak mau langsung ke kantor?" tanya wanita itu ragu.
"Kamu mau sekalian bareng?" tawar Bagas langsung.
"Boleh?"
Bagas tersenyum melihat wajah berbinar dari Alesha. Wanita itu benar-benar tidak bisa menyembunyikan isi pikirannya. Semua tergambar jelas dari ekspresi wajahnya yang ingin menumpang ke kantor.
"Nanti saya turun sebelum kantor, ya, Pak," ucap Alesha ketika mereka hendak masuk mobil.
Bagas tidak menjawab dan justru menyerahkan kunci mobil kepada Alesha. Wanita itu mengerutkan kening tidak mengerti.
"Kamu bisa nyetir, kan? Kamu yang bawa mobil dan kita tetep turun bareng di kantor. Orang-orang akan berpikir kamu menyetir mobil saya karena perintah dari saya. Kalo itu yang kamu takutkan. Beres, kan?"
Alesha sempat menganga mendengar ide dari bosnya itu. Setelah dipikir-pikir, idenya boleh juga. Wanita itu menerima kunci mobil dan berjalan memutar ke sisi pengemudi. Dia duduk di depan sementara Bagas di belakang. Wanita itu merasa seperti sopir pribadi yang hendak mengantar bos besar.
"Saya minta laporan kemarin nanti dicetak terus setelah makan siang tolong kamu atur rapat untuk semua divisi. Jangan sampek lupa."
"Baik, Pak." Alesha menjawab sambil melirik Bagas dari kaca spion.
Seperti dugaan Alesha, semua karyawan memandangnya sinis ketika dia dan Bagas turun bersamaan dari satu mobil. Namun, wanita itu tidak peduli dengan omongan orang lain tentangnya. Dia segera ke mejanya dan melakukan rutinitas seperti biasa.
Bagas keluar ruangan saat jam makan siang lalu menghampiri meja sekretarisnya untuk menanyakan laporan yang harusnya sudah dicetak itu. Belum sempat bertanya, Alesha sudah meminta izin untuk keluar kantor.
"Memangnya mau ke mana?"
"Saya izin keluar selama jam makan siang, ya, Pak. Nanti laporan yang Bapak minta sekalian saya cetak di luar. Saya juga sudah menghubungi kepala divisi melalui email. Saat kembali, saya akan menyiapkan ruang rapat. Permisi, Pak."
Bagas belum sempat megutarakan protesnya, tetapi wanita itu sudah melesat pergi. Pria itu hanya bisa berharap Alesha tidak melakukan kecerobohan yang dapat merugikannya. Dia memutuskan untuk makan siang di kantin bersama Dewi.
"Gimana kerjaan Alesha? Oke, nggak?" tanya Dewi saat mereka duduk di meja sambil menunggu pesanan datang.
"Lumayan. Asal dia nggak ceroboh semuanya baik-baik aja."
"Emang separah itu cerobohnya?"
Bagas mangangguk. "Banget."
Dewi menanggapinya dengan tertawa. Wanita itu bukannya tidak mengetahui tentang kecerobohan Alesha, tetapi dia punya keyakinan jika wanita yang menjadi sekretaris Bagas sekarang itu bisa diandalkan lebih dari sekretaris sebelum-sebelumnya.
Pukul 12.55 Bagas kembali ke ruangannya untuk mempersiapkan diri sebelum rapat dimulai. Saat hendak memasuki ruangan, pria itu melihat Alesha berjalan terburu-buru. Dia segera menghentikan wanita itu ketika merasa ada yang tidak beres dilihat dari gerak-geriknya.
"Ada apa? Mana laporan yang sudah kamu cetak?" tanyanya dengan mencekal lengan Alesha.
Alesha menepuk kening sambil meringis. "Aduh, Pak. Laporannya ketinggalan di tempat fotokopi teman saya. Saya ambil dulu."
"Alesha!" Bagas tetap menahan sekretarisnya itu. "Kamu sudah siapkan ruang rapatnya?"
Wanita itu menelan ludah susah payah. "Be-belum, Pak. Ini saya baru mau menyiapkannya."
Bagas terlihat menahan marah dan berusaha menenangkan diri dengan menghela napas berat. Hal itu membuat Alesha waswas.
"Kamu tahu saya nggak suka kesalahan sekecil apa pun?"
Alesha mengangguk lalu menunduk malu. Dia merutuki dirinya yang terlalu menganggap mudah tugas yang diberikan oleh bosnya itu. Dia sibuk membantu temannya sementara kewajibannya di kantor menjadi telantar.
"Saya tau temenmu dalam kesulitan saat ini. Saya tau kamu mau menolongnya. Tapi, kamu lupa kalo semua itu bisa memcah fokusmu dan akhirnya membuat kamu melalaikan tugas. Saya benci keterlambatan, Alesha!" Bagas mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh penekanan.
"Ma-maaf, Pak. Saya ngaku salah. Saya akan perbaiki semuanya dan memastikan rapat tetap berjalan lancar sesuai keinginan Bapak."
"Saya rasa kamu tau arah pembicaraan saya. Saya nggak peduli kamu bisa memperbaiki semuanya atau nggak. Yang saya pedulikan itu tanggung jawab kamu dalam pekerjaan itu nggak ada sama sekali, Alesha! Saya udah pernah bilang. Kalo nggak sanggup lebih baik kamu keluar dari perusahaan ini. Masih banyak orang lain yang lebih kompeten yang mengantre untuk bisa bekerja di sini. Bukan orang egois dan ceroboh kayak kamu yang dengan mudahnya melalaikan tanggung jawab."
Alesha makin menunduk dalam saat Bagas membentaknya di depan umum seperti itu. Dadanya terasa sesak dengan air mata yang mulai menggenang di sudut mata. Dia berharap, saat ini bisa menghilang begitu saja dari sana.
Bersambung
~~~
Jangan galak-galak, dong, Pak!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top