Bab 11. Turun ke Lapangan

▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya


~~~

Pagi-pagi Bagas sudah mendapat kabar yang membuat suasana hatinya memburuk. Dia harus turun ke lapangan langsung jika tidak ingin ada masalah lagi di kemudian hari. Padahal, hari ini ada penandatanganan kontrak kerja dengan sekretaris barunya. Dia sudah mengabari Dewi untuk melakukan penandatangan kontrak kerja tersebut tanpa dirinya. Setelah siap dengan setelan jas cokelat, pria itu keluar unit apartemen dan dikejutkan dengan seorang wanita yang berdiri menghadapnya sembari tersenyum lebar.

Pria itu langsung pergi tanpa memedulikan Alesha. Namun, wanita itu justru menghentikannya dan membuat Bagas mau tidak mau berbalik lagi. Pria itu mengerutkan kening saat wanita di hadapannya mengulurkan sebuah bungkusan plastik bening kepadanya.

"Oh, makasih," ucapnya setelah mendengar penjelasan dari wanita itu.

Bagas langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Pria itu sempat melirik wanita yang masih berdiri di tengah lorong sambil bengong menatap dirinya. Dia tersenyum tipis sebelum akhirnya menghilang ke dalam lift.

Di dalam mobil, pria itu membuka bungkusan plastik bening yang tadi diterimanya. Dia memeriksa setiap sisi dari blazer putih yang sempat terkena noda minuman soda itu.

"Lumayan. Bersih," gumamnya.

Bagas menggeleng untuk menghilangkan bayangan wanita itu dari pikirannya. Dia meletakkan blazer putih itu di kursi samping lalu melajukan mobilnya ke daerah Bekasi. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam melalui jalan tol, pria itu tiba di lokasi persawahan.

Pria yang baru turun dari mobil itu mengenakan kacamata hitam untuk melindungi matanya dari silau sinar matahari. Dia berjalan menghampiri manajer dari divisi research and development atau biasa disingkat R&D yang sedang berbicara dengan seseorang di sebuah gubuk dari jerami di tengah sawah.

Makin dekat dengan gubuk itu, Bagas makin jelas mendengar obrolan mereka. Lebih tepatnya dua orang itu sedang berdebat. Dia mempercepat langkah agar bisa menengahi perdebatan yang sepertinya tidak akan ada ujungnya itu.

"Selamat pagi, Pak Anjas!"

Sapaan dari Bagas menghentikan perdebatan antara dua pria dewasa itu. Manajer R&D mempersilakan pemimpin perusahaannya untuk mendekat.

"Pagi, Pak Bagas. Perkenalkan, ini Pak Muji pemilik sawah."

Bagas mengulurkan tangan dengan menyebutkan namanya yang langsung disambut oleh Muji. Kemudian, pria itu mendengarkan penjelasan singkat dari Anjas mengenai situasi yang mereka hadapi saat ini.

"Terima kasih, Pak Anjas." Bagas beralih menatap Muji yang mulai berkeringat dingin itu. "Jadi, Bapak sebenarnya sudah setuju dengan penawaran kami dan sudah menandatangi kontrak kerja sama. Lalu, kenapa tiba-tiba Bapak ingin membatalkan semuanya? Tidak apa-apa, Pak. Bapak ceritakan saja apa keluhan Bapak agar kami bisa memperbaikinya."

"Maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya ini pengalaman pertama saya menanam kentang. Apalagi kentangnya nanti digunakan untuk keripik. Setelah dapat bibit kentang dari perusahaan Bapak, saya langsung menanam sesuai instruksi yang pernah diberikan. Awalnya, pertumbuhannya sangat bagus, Pak. Tapi, beberapa minggu kemudian tiba-tiba tanamannya layu terus mati."

Bagas mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Muji. "Lalu, kenapa Bapak tidak menghubungi pihak kami untuk menceritakan kendala di lapangan?"

Muji meremas tangannya sambil meringis. "Sebenernya, saya takut disalahkan, Pak. Karena gimana juga pasti saya diminta untuk ganti rugi. Padahal, kondisi keluarga saya sekarang ini lagi kesulitan. Terus, beberapa hari kemudian, ada orang dari Indahfood dateng nawarin kerja sama juga. Mereka minta saya nanem cabe merah. Saya langsung setuju aja, soalnya saya pernah nanem kalo cabe merah. Saya mikirnya nanti hasil dari sini buat bayar ganti rugi bibit kentang ke perusahaan Bapak."

Bagas bersedekap sambil memegang kacamata dengan gagangnya ditempelkan ke dagu. Dia mempertimbangkan tindakan apa yang akan diberikan kepada petani yang menjadi mitra perusahaannya itu.

"Seharusnya Bapak menceritakan semuanya kepada pihak kami. Jadi, perusahaan kami bisa mengambil tindakan untuk menekan angka kerugian. Tapi, kalo begini sama aja Bapak mengkhianati perusahaan kami karena bekerja sama dengan perusahaan lain. Sementara Bapak sudah menandatangani perjanjian."

Muji menunduk malu. "Iya, saya tau, Pak. Tapi, gimana ya, Pak. Ada tawaran yang lebih baik jadi saya ambil aja sekalian buat bayar bibit yang kemarin itu."

"Kalo Bapak tau, seharusnya selesaikan dulu urusan Bapak dengan kami. Bukannya mengganti tanaman seenaknya begini." Anjas yang sudah emosi sejak tadi itu ikut bicara.

Bagas mengangkat tangan saat Anjas hendak bicara lagi. "Begini saja, Pak. Lahan Bapak masih ada yang kosong yang belum ditanami? Kalo ada, kami minta Bapak tetap menanam kentang dari kami di lahan tersebut. Bagaimana?"

"Maaf sekali, Pak. Tapi, seluruh lahan saya sudah kerja sama dengan Indahfood."

Bagas mengetuk dagu dengan jari. "Kalo gitu saya minta Bapak mencari orang sebagai ganti Bapak. Supaya Bapak tidak terkesan lari dari tanggung jawab. Biar kita sama-sama enak."

"Oh, ada adik saya, Pak. Lahannya nggak jauh dari sini. Nanti saya coba tawarkan sama dia. Tapi, kalo boleh saran, Pak. Selama saya kerja sama dengan Indahfood ini, saya selalu didampingi sama petugas dari sana. Jadi, kalo ada kesalahan di lapangan bisa langsung dicari solusinya. Sementara dari perusahaan Bapak tidak ada sama sekali pendampingan."

"Baik, terima kasih, Pak. Nanti saya akan menegur pegawai kami. Kalo saja Bapak bicara sejak awal, pasti keadaannya tidak akan menjadi rumit seperti ini. Karena jelas, perusahaan kami harus menunda produksi dari jadwal yang sudah ditetapkan."

"Iya, Pak. Saya minta maaf atas ketidak jujuran saya dan sudah membuat perusahaan Bapak rugi. Terima kasih sudah diberi kesempatan untuk bertanggung jawab. Saya akan meyakinkan adik saya untuk menerima kerja sama ini."

"Saya tunggu kabar baiknya." Bagas menepuk pundak Anjas agar menyelesaikan sisa urusannya, sementara dia meninggalkan tempat itu lebih dulu.

Bagas tidak langsung kembali ke mobil, tetapi dia berdiri di tepi sawah sambil memperhatikan hamparan luas yang kini ditanami cabai merah itu. Inilah alasan Bagas untuk turun langsung ke lapangan. Dia bisa mengetahui apa saja yang dibutuhkan di lapangan untuk menunjang kinerja perusahaannya.

Pria itu menoleh ke kiri saat Anjas memanggilnya. "Gimana? Sudah beres semua?"

"Sudah, Pak. Bapak langsung kembali ke kantor atau gimana?"

"Kita kembali ke kantor aja. Masih banyak yang harus kita bicarakan."

"Baik, Pak."

Mereka berjalan menuju mobil masing-masing lalu berkendara ke kantor. Saat kembali, Bagas hanya membutuhkan waktu 48 menit untuk tiba di kantor. Dia turun dari mobil dan diikuti oleh Anjas yang juga baru tiba. Mereka berjalan beriringan ke lobi kantor dengan Anjas menjelaskan isi dari berkas yang dibawanya.

Terlalu fokus pada berkas yang dipegang Anjas, Bagas tidak memperhatikan jalan di depannya hingga menabrak seseorang. Tanpa melihat siapa yang sudah ditabraknya itu, Bagas hanya mengangkat tangan sebagai tanda permintaan maaf dan berlalu begitu saja sambil terus mendengarkan penjelasan dari manajer R&D di sampingnya itu.

"Lain kali, kalo ada masalah seperti tadi jangan terbawa emosi. Kita harus berpikir dengan kepala dingin. Kalo bisa jangan hanya meminta ganti rugi secara finansial saja, tapi juga secara moral dengan meminta mitra bertanggung jawab untuk mencari pengganti seperti tadi." Bagas memberikan saran setelah Anjas selesai menjelaskan.

"Iya, Pak. Saya minta maaf karena tidak mendampingi dan mengontrol di lapangan."

"Kalo gitu, Bapak bisa cari orang untuk ditugaskan sebagai pendamping di lapangan. Kalo kerjanya bagus, nanti kita bisa kontrak dia secara langsung."

"Baik, Pak. Saya akan segera menyiapkan orang untuk posisi itu."

"Kalo bisa lulusan pertanian. Jadi, kita nggak perlu ngajari lagi karena dia sudah paham dengan dunianya."

"Siap, Pak."

Bagas meninggalkan Anjas dan langsung menuju ruangan HRD. Dia berharap masih sempat bertemu dengan sekretaris barunya itu.

"Siang, Mbak Dewi! Mana sekretaris baruku?"

Dewi mendongak dari komputer di hadapannya. "Pak Bagas. Baru aja sekitar sepuluh menitan dia keluar. Berkas kontrak kerjanya juga udah aku taruh di meja kamu."

"Yah, telat. Nggak bisa liat dia."

"Senin juga nanti ketemu."

"Ya udah, kalo gitu aku balik ke ruanganku aja. Nanti kontrak kerjanya aku tanda tangani."

"Jangan lupa dibaca baik-baik. Aku bikin kontrak kali ini beda dari sebelum-sebelumnya."

Bagas hanya melambai sambil terus berjalan keluar dari ruangan Dewi. Dia juga sempat menyapa staf HRD yang menunduk sopan kepadanya.

Bersambung

~~~

Bagas dan kacamatanya.😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top