Bab 21 - Bukankah dia terlalu naif?
Shane mengguyur kepala Matt dengan air. Ia tersenyum tipis ketika melihat kondisi Matt yang mengenaskan. Tubuh Matt dipenuhi luka, bernanah dan tidak diobati. Shane jelas tahu bagaimana cara Keenan berbaik hati pada orang yang tidak disukainya.
Kelopak mata Matt yang membiru perlahan terbuka. Ia menatap Shane dengan tatapan dingin. Matt masih saja angkuh meski dirinya sudah berada di ambang kematian.
"Apa kabarmu, Matt?" Shane berjongkok di depan Matt. Menatap Matt mencemooh sembari tangannya menekan rahang Matt kuat.
"Ah, Keenan tidak memperlakukanmu dengan baik padahal aku sudah memintanya untuk tidak terlalu kasar padamu." Shane mendesah pelan.
"Kenapa kau menjebakku?" Matt sudah berpikir berulang kali, dan ia masih belum menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya. Selama ini ia tidak pernah bersinggungan dengan Shane, jadi tidak ada alasan bagi Shane untuk memperlakukannya seperti ini.
Shane melepaskan tangannya dari dagu Matt. Ia bangkit dan menarik sebuah kursi lipat yang ada di sudut ruangan pengap itu. Shane duduk di depan Matt yang tergeletak di lantai dengan kedua tangan dan kaki yang terikat.
Kaki Shane menyentuh dagu Matt. "Aku tidak punya alasan untuk menjawab pertanyaanmu."
"Aku tidak memiliki masalah denganmu."
"Jangan berbohong, Matt. Jelas kau selalu berpikir untuk membunuhku tiap hari karena menikahi Valerie." Shane tersenyum merendahkan. "Kau harusnya berpikir lebih cepat, Matt. Kau bisa saja memiliki Valerie jika kau sedikit melakukan hal licik."
Mata Matt sedikit melebar. Hal licik? Apakah itu artinya Shane melakukannya.
"Valerie, dia terlihat pintar, tapi sebenarnya dia bodoh. Dia tidak menyadari sama sekali bahwa prianya dijebak olehku. Wanita yang bersama kekasihnya malam itu adalah wanita bayaranku. Bukankah terlalu mudah menghancurkan cinta mereka dan membuat Valerie beralih padaku?" Shane menyeringai.
"Kau!" geram Matt. Pria dengan tenaga yang sudah hampir habis itu merasa marah karena ternyata wanita yang ia cintai dipermainkan oleh Shane.
"Hanya dengan kata-kata manis, perhatian dan tatapan lembut, Valerie mengira bahwa aku benar-benar mencintainya? Bukankah dia terlalu naif?" Shane bicara tanpa dosa. Ia sengaja memprovokasi Matt. Melihat Matt tidak bisa apa-apa dalam keadaan marah seperti ini membuat hatinya senang. Sedikit hiburan dari Matt untuknya di hari ini.
"Apa tujuanmu yang sebenarnya!" Matt masih saja ingin tahu. Ia tidak bisa mati penasaran.
"Tujuanku?" tanya Shane. Ia tampak berpikir sejenak lalu menyambung ucapannya, "tentu saja Chrishtoper Edzard."
Matt masih belum jelas. Shane mendekati Valerie agar bisa berada di sisi Edzard, dalam hal ini ia tak tahu niat Shane baik atau buruk. Akan tetapi, sesuatu yang diawali dengan niat buruk pasti memiliki tujuan yang buruk. Matt selalu yakin akan hal itu.
Mungkinkah Shane ingin mengambil alih bisnis narkotika Edzard? Semua ini terjadi setelah Shane bergabung ke bisnis itu.
"Jika kau berpikir untuk menguasai bisnis Ketua, maka usahamu pasti akan gagal. Cepat atau lambat kebusukanmu akan terbongkar," seru Matt tajam.
Shane menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin menguasainya, Matt. Aku ingin menghancurkannya."
"Bajingan sialan!" Matt makin tersulut.
Shane terkekeh geli. "Kau sangat mempedulikan tua bangka itu, Matt. Sayang sekali dia membuangmu dan lebih percaya padaku. Mata Edzard sudah tidak sebaik dulu, Matt."
Meski Matt sudah dibuang oleh Edzard, tapi Matt tetap menganggap Edzard adalah tuannya. Ia tidak suka mendengar Shane menghina Edzard seperti saat ini. Terlebih Shane menyimpan niat buruk padanya.
"Kenapa Matt? Berpikir untuk keluar dari sini dan memberitahu Edzard tentang niatku padanya?" Shane menaikan sebelah alisnya, kemudian tertawa kencang. "Kau yakin dia akan percaya padamu?" ejek Shane.
"Aku akan membunuhmu!" Matt meronta kuat, ia mendapatkan tenaga dari kemarahannya yang sudah menggunung.
Shane hanya memperhatikan Matt yang baginya tengah melakukan sesuatu yang sia-sia.
"Tidak usah membuang tenagamu, Matt." Shane bersuara acuh tak acuh.
Shane bangkit dari tempat duduknya. Ia mengeluarkan pisau lipat yang berada di saku jasnya. Kini ia berjongkok di depan Matt yang masih mencoba melepaskan diri dari jerat tali yang mengikatnya.
"Kau ingin lepas dari tali ini, kan? Aku akan membantumu." Shane memiringkan tubuh Matt.
"Apa yang mau kau lakukan, bajingan!" Matt memberontak dari cengkraman Shane.
"Ssst, Matt. Kau terlalu berisik." Shane membuka lipatan pisaunya. Salah satu kakinya menginjak bagian lengan Matt, tangannya yang bebas memegangi jemari Matt.
"Lepaskan aku!" Matt bersuara lagi.
Shane tidak menjawabi Matt. Ia hanya meletakan pisaunya pada tangan Matt yang mencoba bergerak tapi sayangnya hanya sia-sia. Benda dingin nan tajam itu ditekan kuat oleh Shane. Darah menyiprat ke wajah Shane bersamaan dengan lolongan sakit yang keluar dari mulut Matt. Hanya dengan satu kali hentakan, Shane telah memotong tangan Matt.
"Lihat, aku telah membantu melepaskan ikatan di tanganmu." Shane memegangi potongan tangan Matt dengan tatapan yang sangat tenang. Beginilah cara Shane menikmati setiap detik menyiksa orang lain yang sudah merusak kebahagiaannya.
Air mata Matt jatuh tanpa bisa Matt cegah. Rasa sakit di tangannya telah sampai ke otak. Wajahnya kini pucat seperti mayat. Keringat dingin mengucur dari pori-pori kulitnya.
"Matt, kau menangis?" Shane menatap Matt terkejut. Alih-alih kasihan, ia malah mengejek Matt dengan kalimat itu.
"Ayolah, Matt. Ini masih belum seberapa dibandingkan dengan orang-orang yang sudah kau bunuh." Shane beralih ke tangan Matt yang lainnya.
Matt yang kesakitan sudah kehabisan tenaga untuk meronta. Lagi-lagi lolongan sakit bercampur putus asa keluar dari mulutnya ketika Shane memotong tangannya yang lain.
Shane melempar kedua tangan Matt ke depan kepala Matt yang tergeletak lemas di lantai. Matt hampir kehilangan kesadarannya karena rasa sakit yang tidak bisa ia tanggung.
"Sudah sangat lama aku ingin memotong tanganmu, Matt. Namun, aku masih berbaik hati padamu dengan mengizinkan kau menggunakannya untuk beberapa waktu." Shane kembali duduk di kursi nya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya lalu membersihkan pisau yang ia gunakan untuk memotong tangan Matt.
Matt menatap Shane dengan matanya yang merah karena rasa sakit dan kemarahan yang bercokol di dadanya. Sorot matanya terlihat begitu ingin membunuh Shane, tapi sayangnya ia tidak memiliki kekuatan untuk itu. Matt merasa sangat terhina, ia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan berakhir seperti ini di tangan Shane.
Shane membungkukan tubuhnya, jemarinya ia rangkum di antara kedua lututnya yang terbuka. Mata gelapnya menatap Matt datar. "Harus ku apakan tanganmu, Matt?" Shane bertanya pelan.
Matt tak tahu apa yang kini berada di dalam otak Shane. Pria itu tidak sesederhana apa yang ia pikirkan. Sejak awal ia sudah salah menduga tentang Shane. Ia tahu Shane mampu membunuh banyak orang yang menghalangi bisnisnya, tapi ia tidak menyangka bahwa dibalik wajah tulus Shane terhadap Edzard dan Valerie tersimpan sesuatu yang mengerikan. Terlebih Matt juga belum bisa menebak siapa sebenarnya Shane, dan apa motif di balik tindakan Shane.
"Ah, aku tahu." Shane sudah mendapatkan ide. Ia tersenyum penuh arti. "Terjadi banyak pembunuhan di kota ini selama beberapa tahun, dan tersangkanya belum ditemukan. Bagaimana jika aku membunuh orang dengan metode pembunuh berantai yang sama menggunakan sidik jarimu?"
Mata Matt melebar. Reaksi yang membuat Shane tertawa geli.
"Kenapa kau terkejut seperti itu, Matt? Bukankah kau sudah pernah melakukan hal seperti ini? Aku hanya mengikutimu."
Matt tidak pernah melakukan hal seperti itu. Jika ia membunuh orang, ia akan menyamarkannya dengan kecelakaan atau bunuh diri. Memori Matt bergerak jauh, mundur ke sekian tahun lalu. Ada, ada satu kali Matt melakukan sebuah pembunuhan yang mengkambinghitamkan orang lain. Ia membunuh seorang jurnalis dan mengkambinghitamkan seorang remaja cacat mental yang kebetulan berada di lokasi itu.
Jurnalis atau pria cacat mental, siapa orang yang berhubungan dengan Shane?
Kepala Matt semakin terasa sakit. Matanya perlahan memberat karena tak sanggup menahan lagi. Hingga akhirnya ia tenggelam dalam kegelapan. Matt kehilangan kesadarannya.
Shane berdecih sinis. "Kau akan menikmati banyak rasa sakit mulai saat ini, Matt." Ia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan pengap itu.
Shane mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Keenan. "Segera kirim orang ke gudang. Buat dia tetap hidup, tapi jangan menghilangkan rasa sakit di tubuhnya."
"Aku masih marah padamu! Jangan menghubungiku!" geram Keenan dari seberang sana.
"Jangan seperti perempuan, Kee. Lagipula tempat itu sudah dibersihkan oleh Landon."
"Jika kau tidak memiliki uang untuk menyewa hotel, harusnya kau menguhubungiku, sialan! Bukan memakai ruanganku dan mencemarinya dengan sperma sialanmu itu!"
Shane terkekeh geli. Ia tidak menyangka bahwa Keenan akan sesentimentil itu mengenai ruang kerjanya.
"Aku tidak punya waktu meladeni nenek-nenek yang sedang datang bulan. Aku tutup." Shane memutuskan panggilan teleponnya. Sekilas ia mendengar Keenan yang mengumpatinya.
***
Shane kembali ke kantornya setelah sedikit menyapa Matt. Wajahnya kini memasang senyuman lembut yang sudah dipastikan itu palsu, ada Valerie yang menunggu di dalam ruangannya. Istrinya itu langsung menghampiri dan memeluk tubuhnya.
"Sudah lama menungguku?" tanya Shane yang membalas pelukan Valerie.
"Tidak. Aku baru saja tiba," jawab Valerie jujur sembari menatap Shane.
"Jadi, bagaimana dengan kegiatan amalnya?"
"Berjalan lancar. Media menyoroti dengan baik. Artikel-artikel tentang acara amal akan membuat nama perusahaan kita semakin baik."
Shane menghadiahi Valerie dengan sebuah kecupan di kening. "Istriku memang bisa diandalkan."
Valerie mengelus rahang Shane. Menatap suaminya dengan penuh cinta. "Aku merindukanmu," serunya manja dan menggoda.
Shane mengerti arti seruan menggoda itu. Ia segera membawa Valerie menuju ke atas sofa. Mengecup Valerie dengan penuh cinta lalu memberinya sentuhan-sentuhan lembut yang membuat Valerie semakin bergairah.
Pakaian Valerie telah terlucuti, sedang Shane, pria itu masih mengenakan kemeja dan celana kerjanya. Perlahan Valerie melepaskan kancing kemeja Shane. Tubuh berotot suaminya terlihat begitu menggairahkan. Valerie menyentuh bekas tembakan dan juga bekas tusukan di dada dan perut Shane.
"Apakah akan baik-baik saja?" tanya Valerie hati-hati.
Shane mengecup buku tangan Valerie. "Kau ingin kita berhenti?"
Valerie menggigit bibirnya kemudian menggeleng. Ia sudah sangat merindukan kejantanan Shane berada di dalam miliknya.
"Kalau begitu jangan memikirkan tentang lukaku." Shane mengelus puncak kepala Valerie lembut kemudian membaringkan Valerie di sofa.
Shane kembali memberikan Valerie sentuhan yang meninggalkan sensasi terbakar di sekujue tubuh Valerie.
Erangan dan desahan Valerie memenuhi setiap sudut ruangan kedap suara itu. Tubuh Valerie melengkung tak kuat menahan gejolak gairah yang dihasilkan oleh jemari Shane yang bermain di miliknya.
"Shane, please." Valerie memohon. Matanya sudah berkabut.
Shane membuka gespernya, beralih ke kancing celananya lalu menurunkan resletingnya. Shane memberikan apa yang Valerie minta. Ia memasuki Valerie, menghujam Valerie dengan miliknya. Setiap hentakan Shane memberikan kenikmatan tiada tara bagi Valerie.
Valerie merasa setiap sentuhan Shane adalah wujud cinta Shane baginya, tapi bagi Shane tidak ada cinta selain Aimee. Bersetubuh dengan Valerie tidak membutuhkan cinta.
Kejantanan Shane berkedut. Cairannya menyembur di milik Valerie. Shane tidak takut Valerie akan mengandung anaknya karena ia tahu Valerie tidak akan pernah bisa hamil. Shane telah memastikannya sendiri dengan memberikan Valerie obat pengrusak rahim. Dokter yang dikunjungi Valerie juga tidak akan tahu tentang kerusakan itu jika tidak melakukan pemeriksaan menyeluruh dan juga tes beberapa kali. Shane jelas tidak akan sudi memiliki anak dengan Valerie.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top