On Call

Akira mengerang ketika lelapnya terganggu oleh nada dering ponsel yang familiar. Mengerjapkan mata yang masih berat lantaran digelayuti kantuk, ia meraba ranjang untuk mencari ponselnya yang hilang di antara selimut dan bantal.

"Selamat malam, Poena. Maaf mengganggu waktu istirahatmu. Aku baru saja selesai dengan pekerjaan."

Kata-kata itu menerjang gendang telinga Akira bahkan sebelum ia sempat mengucapkan 'halo' pada orang di seberang telepon. Namun, ia tak merasa kesal meski tidurnya yang berharga diusik. Lebih tepatnya yang orang yang mengusik lelapnya adalah orang yang sama yang kabarnya ia tunggu selama dua hari terakhir.

Masih menutupi kameranya, Akira mengamati sosok di seberang layar. "Kau tidak mengganggu, Ran."

Dalam diam, ia memperhatikan Ran yang tengah membenahi mejanya. Suara gemeresak kertas yang bersahutan dengan keyboard yang diketik menjadi latar yang nyaris membuai Akira kembali pada lelapnya.

Ran melirik ke arahnya, mengernyit ketika bertatapan dengan layar hitam. "Kenapa kameramu tidak dinyalakan?"

"Aku baru bangun tidur. Belum berhias dan rambutku berantakan." Akira menggulingkan tubuhnya hingga berbaring menyamping, menyamankan diri.

"Poena. Biar kuingatkan kalau aku tetap terpesona denganmu bahkan melamarmu saat kau baru bangun tidur dengan piyama nasi kepalmu," ujar Ran dengan alis terangkat. "Nyalakan kameramu. Aku ingin melihat gadisku."

Akira mendesah, tahu kalau ia menolak Ran malah memaksanya dengan cara apapun. Karena itu Akira menyalakan kamera juga lampu kamar mereka. Sesaat, senyum Ran mengembang cerah ketika akhirnya mampu melihat rupanya.

"Itu dia gadis cantikku." Ran mendekatkan ponselnya, menelantarkan dokumen ke tepi meja kemudian menyandarkan punggungnya di kursi dengan santai. "Bagaimana harimu, Poena?"

"Berjalan seperti biasa," gumam Akira. Ia menceritakan agendanya seharian ini dari bangun tidur hingga ketika Ran menelpon, tahu bahwa Ran turut senang mengetahui apa saja yang ia lakukan dan bagaimana perasaannya ketika pria itu absen dari sisinya sementara waktu. "Karena aku terlalu lelah, jadi aku langsung tertidur."

"Tanpa makan malam?" dahi Ran mengernyit tak suka.

"Melewatkan satu makan malam tidak membuatku sakit, Ran," kata Akira menenangkan. "Aku juga tidak lapar."

Ran berdehem pelan. Alih-alih meresponsnya, Ran tampak tengah berbicara dengan seseorang yang juga berada di ruangan. Akira tak bisa memahami apa yang mereka bicarakan karena nada bicara Ran yang pelan, gestur tangan yang sesekali dilakukan pun tak memberi petunjuk apapun. Akhirnya Akira memilih untuk menunggu Ran menyelesaikan percakapannya sebelum membuka mulut.

Ran memalingkan atensi kembali pada Akira, mengulum senyum ketika netra violetnya langsung bersirobok dengan iris safir yang tampak sayu. "Aku tidak bisa membiarkan gadisku melewatkan makan malamnya meski aku tidak ada di sana."

"Kau tidak memaksaku, Ran." Tidak ambil pusing dengan ucapan Ran, Akira kembali melanjutkan. "Bagaimana denganmu dan Rindou. Kalian berdua baik-baik saja?"

"Tentu kami baik-baik saja. Poena, kau sedang bicara dengan Haitani Bersaudara, Penguasa Roppongi," ucap Ran pongah. Ia bisa merasakan kejengkelan Akira dari balik layar, lantas segera melanjutkan. "Kami baik-baik saja. Sungguh."

Alis Akira bertaut tak percaya. "Sama sekali tak terluka?"

"Perlukah aku melepas baju sekarang?" tanya Ran jahil. "Poena, kalau kau ingin melihatku telanjang dada, kau hanya perlu bilang. Aku selalu memenuhi permintaanmu, bukan?"

"Haitani Ran."

"Bercanda. Aku hanya bercanda." Ran mengangkat tangannya dengan senyum jahil tersungging di bibir. Ia melepaskan jasnya lalu merentangkan tangan sembari berputar seakan memberi bukti pada Akira bahwa tak setetes pun darahnya tumpah malam ini.

Akira mengangguk puas. "Bagaimana dengan Rindou?"

Samar-samar dari seberang telepon terdengar suara si Bungsu Haitani. "Aku juga baik, Aneki. Tidak terluka, tidak tergores bahkan tidak kena pukul seseorang."

"Kalian sudah makan malam?"

"Satu-satunya yang belum makan malam hanya Aneki." Rindou melongokkan kepalanya hingga terlihat di layar. Dahinya mengerut seakan tak senang dengan gagasan—yang menurut Akira sangat sepele. "Makan malammu akan segera sampai Aneki."

"Nah, Rindou saja setuju denganku." Ran tersenyum pongah, menyentakkan kepala ke arah Rindou yang kembali menghilang. "Adikmu sudah memperingatkan. Kita berdua tahu bagaimana Rindou jika sudah memutuskan untuk keras kepala, kan?"

Akira mengangkat kepalanya ke arah pintu kamar ketika bel apartemen mereka berdentang. Ia memalingkan wajah ke arah Ran. "Tunggu sebentar."

Tanpa menyalakan lampu, Akira melintasi apartemen menuju pintu depan. Betapa terkejutnya ia ketika kurir pengantar makanan dari restoran favoritnya yang menyambutnya di depan apartemen. Meyakinkan Akira bahwa pesanannya telah dibayar oleh seseorang yang mengaku sebagai 'tunangannya', Akira mengucapkan terima kasih lalu setengah berlari kembali ke kamar.

"Haitani Ran. Apa yang baru saja kau lakukan?" tanya Akira dengan nada mengintimidasi.

"Woah, Poenaku Sayang." Ran terkekeh, sekali lagi mengangkat tangan seolah menolak semua tuduhan tak terucap Akira. "Yang kulakukan hanyalah memastikan perut gadisku terisi penuh untuk menyambut mimpi malam ini, salahkah?"

Ia bersumpah bisa mendengar kekehan Rindou dari sisi lain layar, menertawakan tingkah si Sulung yang terkejut ketika niat baiknya disambut dengan intimidasi. Akira menghela napas panjang lalu mencari posisi yang tepat agar wajahnya tetap terlihat saat makan.

"Terima kasih untuk makan malamnya," senyum Akira, melihat menu yang dipesan oleh Ran adalah yakiniku. "Aku akan membayarmu lain kali."

"Aku hanya menerima bayaran dengan peluk dan cium, Poena."

"Berhenti merayu Aneki seakan aku tidak ada, Niichan!"

"Kau hanya cemburu karena kekasihmu sedang menjalani misinya sendiri."

"Aku bersumpah akan menyetop supplai mont blancmu, Aniki."

"Akira akan membelikannya untukku."

"Anak-anak, Anak-anak. Berhenti bertengkar. Kalian membuat cita rasa dagingnya berkurang," desah Akira lelah.

Sekilas ia bisa mendengar suara pintu tertutup, pertanda Rindou baru saja meninggalkan ruangan untuk menenangkan diri.

Ia melempar senyum ketika Ran kembali memusatkan fokus padanya. Kini bertopang dagu dan menatapnya lurus seolah tak ingin kehilangan satu momen pun dari gerak-geriknya. Sebelah alis Akira terangkat penuh tanda tanya.

"Aku suka melihatmu makan. Manis," aku Ran.

Akira menggeleng pasrah. "Kurasa aku harus mengurangi camilanku. Bisa-bisa diabetes karena terlalu sering mendengar ucapan manismu."

Mengabaikan gurauan Akira, Ran menyembunyikan senyum dari balik kepalan tangan. "Aku benar-benar berharap aku bisa memelukmu sekarang."

Akira tertawa kecil. Ia menyingkirkan wadah makanannya ke meja nakas lalu memeluk dirinya sendiri. "Aku sedang memelukmu sekarang. Tidak bisakah kau merasakannya?"

Ran mengangkat alisnya dan tersenyum. "Begitukah?" ia merogoh sesuatu dari sebelahnya, kemudian mengangkat salah satu salinan buku favorit Akira dan memeluknya. "Kalau begitu aku juga sedang memelukmu sekarang.'

Keheningan yang menyelimuti terasa nyaman, seolah-olah mereka benar-benar sedang duduk bersisian dan menghabiskan malam bersama. Meski benci memutuskan sambungan lebih dulu, Akira harus menekan rindu yang menggebu-gebu.

"Sudah larut dan kau pasti lelah. Tidurlah."

"Kau juga, Poena."

"Sampai jumpa...?"

"Besok," senyum Ran yakin. "Besok aku tidak akan melepaskanmu hingga kuota pelukanku terisi penuh."

"Akan kutagih janjimu."

Akira memutuskan sambungan lalu mengempaskan tubuhnya ke ranjang. Matanya mengarah pada langit-langit. Sebelumnya lelap begitu mudah membawanya pada alam mimpi, tetapi setelah bertemu Ran—meski hanya lewat layar ponsel, membuat jantungnya berdebar penuh antisipasi hingga Akira tak yakin ia bisa tertidur untuk sisa malam ini.

Setengah putus asa, ia meraih kemeja Ran yang tersampir di bantal di sebelahnya. Ia menghirup dalam aroma sang pria yang tertinggal di sana, berharap hari esok akan datang lebih cepat dari dugaannya.

"Aku juga berharap bisa memelukmu sekarang, Ran."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top