7
Prameswari menatap putra sulungnya yang masih tekun memainkan siter. Terdengar denting yang menentramkan hati. Namun bukan itu yang membuatnya tertegun. Sebuah syal berwarna biru dengan kombinasi yang sangat cantik membalut leher sang putra sulung. Ia tahu diujung sana terukir indah nama Nararya. Sebuah pekerjaan yang dilakukan dari hati yang tulus. Ia ingin bertanya, tapi pasti membuat malu sang putra.
"Apakah kamu masih memainkannya disela sekolahmu saat di luar negeri?"
"Ya ibu. Aku juga terbiasa memainkan saat ada malam kesenian."
"Kemampuanmu semakin baik meski tinggal di negara empat musim. Ibu bangga."
"Terima kasih ibu."
"Syalmu bagus." ucap sang ratu sambil membenahi letak syal dileher putranya. Membuat Nararya sedikit jengah.
"Maaf, aku meminta benang milik ibu pada kepala pelayan tanpa ijin terlebih dahulu. Diambil dari koleksi benang yang telah lama tidak dikerjakan. Kebetulan aku suka warnanya. Saat itu ibu sedang tidak berada di istana."
"Tidak apa-apa. Benang itu memang sudah sangat lama. Terakhir kali ibu merajut saat sedang hamil Aditya. Yang membuat syalmu pasti sudah mahir, karena ini sangat cantik."
Sang putra hanya tersenyum menatapnya. Sebagai ibu, Prameswari paham akan binar yang ada dalam netra putranya. Sesuatu yang hampir tidak pernah terlihat.
"Bulan depan kamu harus masuk Akademi Militer. Pendidikan di sana sangat keras. Ibu khawatir akan keselamatanmu."
"Aku akan menjaga diri untuk ibu."
"Jangan hanya untuk ibu, tapi juga untuk kerajaan ini."
Putra mahkota kembali mengangguk sopan.
Prameswari menatap putranya, ada sedikit kecewa dalam hati yang paling dalam. Seperti yang sudah diramalkan oleh Mpu Ganindra. Kenapa putranya justru jatuh cinta pada anak penjaga kandang kuda? Ia saja yang berasal dari kelas menengah sangat sulit beradaptasi dan diterima. Bagaimana kelak putranya bisa bertahan?
Bukan sekali dua kali ia meminta Nararya ikut ke pesta kerajaan. Agar bertemu teman hidup sepadan. Tapi tak sekalipun sang putra menatap tertarik pada gadis di sekitarnya. Apakah benar kalau hubungan mereka telah tercipta sejak ratusan tahun lalu? Sebagai kisah lanjut dari generasi terdahulu?
Putranya masih memetik siter dengan penuh perasaan. Sesekali menatapnya sambil tersenyum. Nararya tidak pernah menunjukkan perasaannya pada siapapun, termasuk ia, ibunya. Semua disimpan rapat-rapat. Kapankah genderang itu akan berbunyi nyaring?
***
Pagi itu di balkon belakang, keluarga Raja Damar tengah menikmati sarapan bersama kedua putranya. Besok Pangeran Nararya akan berangkat menuju pusat akademi militer.
Suasana santai segera berubah saat Aditya bertanya.
"Bagaimana dulu ayah dan ibu berpacaran?" itu bukan pertanyaan sopan untuk anak seusianya. Meski sudah memasuki masa remaja.
Kedua orangtuanya terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun Pangeran Damar mengangkat tangannya agar sang istri tidak mengatakan apapun.
"Dulu ibu dan ayah pacaran diam-diam."
"Kenapa?"
"Enggan diketahui media dan banyak orang. Itu akan menimbulkan banyak spekulasi. Sementara ayah dan ibu tidak menyukai publikasi berlebihan."
"Kenapa?"
"Karena mereka akan mengganggu ibumu dan mengikuti terus menerus. Saat itu karier ibumu sedang bagus-bagusnya."
"Apakah kemudian ibu mengorbankan karier ibu?" tanya Nararya.
"Disaat memutuskan menikah dengan ayahmu, ibu harus memilih. Antara karier dan mimpi yang sudah ibu bangun dengan susah payah atau cinta pada ayahmu. Dan akhirnya ibu memutuskan memilih cinta. Meski pada awalnya sangat sulit. Kami berasal dari dunia yang berbeda." jawab sang ibu.
"Bagaimana dengan pesta pernikahan kalian?" tanya Aditya penuh minat.
"Ibu harus membawa banyak mas kawin. Seperti piano dan beberapa jenis perhiasan. Semua adalah hal wajib ketika itu. Tapi beruntungnya nenek ayahmu, yakni ibu suri menolong. Ia membantu hampir seluruhnya. Karena memang ibu bukan berasal dari keluarga kaya."
Nararya mendengar dengan sangat tenang, ia menyimpan semua dalam hati. Namun berbeda dengan Aditya. Ia begitu semangat bertanya, karena saat ini tengah menyukai seseorang di sekolahnya. Seorang model remaja yang disukai banyak orang.
Prameswari mengetahui semua yang terjadi pada putranya. Namun tidak diperkenankan terlibat terlalu jauh. Karena dikhawatirkan menimbulkan reaksi negatif dari pihak lain. Mengingat posisinya saat ini yang sudah menjadi seorang ratu.
***
Sore hari, Pangeran Nararya berjalan pelan menuju belakang istana. Suasana musim dingin sangat terasa. Angin bertiup kencang, sang pangeran merapatkan jaketnya. Dari jauh terlihat Agni sedang menyulam sesuatu. Didekatinya gadis itu, dan seperti biasa tubuh yang mulai terlihat indah itu membungkuk penuh hormat.
"Selamat sore pangeran."
"Selamat sore Agni. Sedang apa?" tanyanya lembut seperti biasa.
"Menyulam sapu tangan. Kemarin hamba masih memiliki sisa benang."
"Boleh kulihat?" tanya pangeran yang hampir melewati masa remajanya tersebut.
Gadis itu menyerahkan sebuah saputangan dengan ukiran bunga yang cantik di keempat sudutnya. Tepi kain diberi rajutan benang berwarna putih.
"Ini sangat cantik, bolehkah untukku? Dan maukah kamu membuatkan inisial namaku disalah satu sudutnya?"
"Tapi buatan tangan hamba belumlah bagus, pangeran. Anda biasa menggunakan yang terbaik."
"Aku suka yang ini, bisakah tidak membantahku Agni?"
Gadis itu akhirnya mengangguk sambil berkata.
"Baiklah pangeran."
Agni mulai mengukir huruf N pada sebuah sisi dengan hati-hati. Degup jantungnya sangat kencang karena harus bekerja dibawah tatapan tajam milik Nararya. Namun ia berusaha menyelesaikan tugasnya. Bukan hanya karena itu untuk calon rajanya. Tapi juga karena rasa suka yang ditanam dalam-dalam jauh dilubuk hati.
Sementara Nararya merekam wajah itu dalam ingatannya. Karena setelah ini mereka baru boleh bertemu enam bulan lagi. Ia akan merindukan bola mata jernih milik Agni. Ia suka pada surai tebal nan hitam yang hanya dikepang seadanya.
"Sulam juga huruf A disebelahnya."
Agni cukup terkejut. Namun memilih menurut. Ia tidak berhak bertanya. Ini adalah pengabdian bagi calon raja. Segera gadis itu menambah huruf pada sulaman.
"Nanti setelah lulus SMP kamu akan melanjutkan sekolah?"
"Iya, pangeran."
"Apakah nanti kamu juga akan kuliah?"
"Saya belum tahu, ayah sudah tua. Mungkin sebentar lagi harus pensiun dan kami sekeluarga pindah dari sini. Saya akan membantu orangtua mencari nafkah."
"Katakan padaku kalau kelak kamu memiliki kesulitan."
"Baik pangeran, terima kasih banyak."
Tak lama sulaman itu sudah selesai. Agni kemudian menggigit benang tersebut sampai putus. Lalu menyerahkan pada Nararya. Sang pangeran menerima dengan tersenyum.
"Agni,"
"Ya pangeran?"
"Aku akan pergi besok pagi. Maukah kamu berjanji satu hal?"
"Ya, pangeran."
"Tatap mataku sekarang."
Sayang gadis itu semakin menunduk. Permintaan itu bukan hal lazim bagi kalangan mereka. Ia takkan berani karena bisa mendapat hukuman.
"Maaf, tapi itu tidak boleh pangeran, saya tidak diijinkan untuk melakukannya. Nanti kalau ada yang melihat saya akan dihukum."
"Ini adalah perintahku, tidak akan ada yang menghukum kamu. Hanya ada kita berdua disini."
Dengan ragu Agni mendongakkan wajah, menatap mata berwarna kecoklatan didepannya dengan takut. Namun kini wajah di depannya terlihat puas.
"Jangan menerima pinangan siapapun. Tunggu aku melamarmu."
Ada kilatan terkejut dimata indah bagai bintang tersebut saat kalimat tersebut selesai diucapkan. Ia tak percaya saat pertama kali menatap mata sang pangeran, lalu mendengar permintaan yang tidak masuk akal tersebut.
"Berjanjilah untuk menungguku." ucap Nararya dengan penuh kesungguhan.
Agni benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Tapi kita tidak sepadan, pangeran."
"Jangan menolakku, Agni. Jangan dekat dengan laki-laki manapun karena aku tak suka mendengar itu. Agar aku bisa menyelesaikan pendidikanku dengan baik. Dan kalau kelak itu terjadi, aku bisa saja membunuh laki-laki itu."
Selesai berkata, Nararya pergi tanpa menunggu jawaban gadis yang telah menjadi bagian dari mimpinya sejak masih kecil tersebut.
Wajah Agni pias, tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Menatap sosok yang perlahan menjauh, hatinya ingin mengejar dan bertanya, apa maksud pangeran? Tapi kakinya tak sanggup untuk melangkah. Seakan tubuhnya terpaku ditanah. Kalimat terakhir Pangeran Nararya menusuk jantungnya. Benarkah pangeran akan membunuh setiap laki-laki yang dekat dengannya?
Apakah itu tidak berlebihan? Siapa Agni? Bagaimana ia akan mengatakan pada kedua orangtuanya? Apa yang harus ia katakan pada setiap ibu yang berniat melamarnya untuk dijadikan menantu? Jelas orang akan menertawai dan menuduhnya bermimpi.
Ia tahu bagaimana jantungnya selalu berdebar kencang saat dekat dengan pangeran. Kadang ia juga membayangkan wajah tampan itu sesaat menjelang tidur, sama seperti teman perempuannya yang lain. Mereka kerap membicarakan Pangeran Nararya juga Pangeran Aditya saat berbincang. Tapi Agni tidak ingin menjadi selir. Dan satu-satunya hal yang ada dalam bayangannya sekarang adalah menajdi selir pangeran!
Sosok Pangeran Nararya semakin menjauh. Dan akhirnya hilang dibalik sebuah tembok. Meninggalkan Agni yang merasa tak menentu. Ini adalah perintah dimana sebelah hatinya akan segera mengiyakan. Tapi akan sangat sulit karena hanya mereka berdua yang boleh tahu.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
30621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top