6
Nararya duduk di hadapan sang ayah yang memanggilnya sore ini. Sebagai seorang pangeran ia harus patuh pada setiap perintah. Meski dalam hati bertanya, ada apa gerangan.
"Ayah hanya mau bertanya, apa yang membuatmu dua kali mengunjungi istal dalam minggu ini tanpa pernah berkuda sekalipun?" tanya Raja Damar
"Hanya rindu melihat kuda kesayanganku, ayah."
"Ayah memiliki mata yang mengenal kebiasaan putra mahkota dengan sangat baik." ucap ayahnya sambil tersenyum.
Nararya menunduk, merasa bersalah karena menutupi sesuatu hal yang besar dari sang ayah. Tapi belum ingin berbagi mengenai isi hatinya pada siapapun. Ini bukan aib, tapi bisa membuat seisi istana gempar. Sehingga menjadi alasan untuk pengusiran Paman Gantharu
"Ayah tidak akan memaksamu, hanya mau mengingatkan. Kamu adalah calon raja. Carilah pendamping yang seimbang. Bukan karena kecantikan atau kekayaannya. Tapi seseorang yang bisa menjadi tempatmu berbagi segala hal. Karena kelak beban dipundakmu akan sangat berat kalau kamu pikul sendiri."
"Baik, ayah. Ada yang lain?"
"Bagaimana, apa kamu sudah siap untuk mengikuti pendidikan militer?"
"Aku sudah berusaha mempersiapkan diri."
"Jangan mempermalukan kerajaan di sana. Ikuti seluruh tahapan dengan baik. Ayah tidak akan ikut campur dengan pendidikanmu. Raihlah nilai sempurna pada pelajaran yang kamu sukai. Dan pulanglah dengan membawa medali kemenangan."
"Baik, ayah."
"Ayah rasa pertemuan kita sudah cukup. Kembalilah ke kamarmu. Kalau memang ingin, kamu boleh berkuda tapi jangan lupa membawa pasukan bersamamu. Daripada hanya duduk sambil memakan ketimus di depan rumah Gantharu." ucap ayahnya sambil tersenyum.
Wajah Nararya seketika memanas.
***
Raja Damar memasuki ruang pribadinya dibagian utara istana. Di sana sang istri tengah menunggu sambil merajut. Namun seolah ada mendung menggelayuti wajah sang istri.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sambil duduk di hadapan sang permaisuri.
Sang istri tidak menjawab, hanya tersenyum menatap sang suami.
"Apakah yang kita pikirkan kali ini sama, Yang Mulia?" godanya.
"Maksudnya bagaimana, Ratu Prameswari? Tentang Nararya?"
Keduanya kemudian sama-sama tertawa.
"Aku kehilangan benang rajut berwarna biru, setahuku ada banyak jenis warna biru di sana. Hendak kurajut untuk menjadi syal Nararya, Karena ini memasuki musim dingin. Saat kucari tadi tak ada lagi satupun di sana. Aku membeli ketika hamil Aditya dulu. Menurut kepala pelayan Nararya meminta sendiri di Gudang penyimpanan."
"Aku tahu di mana keberadaan benang itu sekarang." jawab Raja Damar sambil tersenyum.
"Apa kamu ingat apa yang dikatakan Mpu Ganindra menjelang kelahiran Nararya?"
Istrinya mengerutkan kening.
Tujuh belas tahun lalu
Upacara nujuh bulan baru saja selesai. Pangeran Damar dan Putri Prameswari masuk ke dalam ruangan pribadi mereka. Seseorang mengikuti dari belakang. Mpu Ganindra, pertapa yang tinggal disebuah gua di tepi laut selatan.
"Ada apa gerangan sampai Mpu Ganindra ingin bicara secara pribadi dengan kami?"
Pria tua berambut dan berpakaian putih tanpa jahitan itu menatap keduanya.
"Ini mengenai putra yang tengah dikandung oleh Putri Prameswari."
"Bicaralah!" ucap Raja Damar dengan tegas.
"Putra anda merupakan titisan dari Raja Kumara Tungga. Pangeran sudah mengerti bukan bagaimana perangainya kelak?"
Pangeran Damar terdiam sejenak. Kakek buyutnya adalah seorang yang bijaksana dan tidak suka pada keramaian. Lebih sering tinggal di hutan bersama dua orang pengawal yang dipercaya. Selain itu , beliau salah satu orang yang memiliki ilmu menghilangkan diri secara sempurna. Namun terkenal juga sebagai raja yang sangat bengis pada jamannya. Sebuah kepribadian yang unik.
"Bagaimana takdirnya kelak?"
"Ia akan melihat banyak pengkhianatan dan juga pertumpahan darah. Akan kehilangan saudara dan juga orang-orang yang dekat dengannya. Ia akan berjalan sendirian ditengah keramaian. Dan satu lagi, ia bukan orang yang segan untuk menghabisi lawannya dengan cara yang paling halus. Sama seperti kebiasaan Raja Kumara Tungga dahulu."
Kedua calon orangtua tersebut terdiam lalu menarik nafas dalam. Seketika Prameswari mengelus perutnya.
"Tapi ia akan menjadi raja yang sangat dicintai rakyatnya. Ia pintar tapi tidak haus kekuasaan. Ia bisa merangkul banyak orang, dan ahli dalam strategi. Ia akan terlihat sangat halus dipermukaan, tapi dalam dirinya ada lautan gelombang yang bisa menghancurkan tebing."
"Kenapa ia harus berjalan sendirian di tengah keramaian?"
"Karena semua orang terdekatnya akan meninggalkannya."
"Bagaimana dengan pasangannya kelak." tanya sang ibu khawatir.
"Gadis itu berada di sekitar istana, tapi semua orang akan terkejut dengan kehadirannya di sisi pangeran. Kelahirannya menjelang pagi, saat fajar terbit. Kehadirannya ditandai oleh hujan meteor di langit. Kecantikannya laksana bintang. Wajahnya sangat cantik dan sikapnya juga santun. Ia merupakan titisan Ratu Kusuma Wardhani, istri dari Raja Kumar tungga. Sebuah janji yang pernah mereka ucapkan dulu. Menyelesaikan apa yang belum selesai di masa lampau.
Jadi jangan pernah mencoba memisahkan mereka kelak, karena kebersamaan merupakan sumpah yang diucapkan ratusan tahun yang lalu. Banyak orang kecewa karena mereka tidak sepadan. Tapi cinta akan mengalahkan semua. Dia akan menjadi satu-satunya orang yang setia pada putra kalian. Meski gelombang kehidupan begitu keras menghantam. Itu akan menyakiti anda, putri."
"Bagaimana kami akan mengetahui kalau itu adalah dia?" tanya Prameswari khawatir.
"Mereka sudah berjodoh sejak ratusan tahun yang lalu. Jadi mereka akan segera saling terikat sejak pertama kali bertemu. Anda berdua tidak perlu tahu. Jalan mereka sangat terjal, tapi semua bisa dilalui. Benang merah itu masih terjalin hingga kini. Meski tak kasat mata."
Lama ketiganya diam dan saling menatap.
"Anda tak perlu takut, yang anda butuhkan adalah kelapangan hati saat melihat mereka kelak. Karena itu sama sekali tidak mudah. Ingatlah saja bagaimana sulitnya anda memasuki istana ini. Posisinya jauh lebih sulit lagi."
Pangeran Damar hanya mengangguk pelan. Sementara Pramewari terlihat gelisah. Ini bukan kabar baik baginya.
***
Lima tahun kemudian
Prameswari tersenyum saat bangun tidur di pagi hari. Rasanya mimpi barusan benar-benar membuatnya bahagia. Seseorang menyerahkan sebuah mahkota yang sangat cantik. Membuatnya suka pada pandangan pertama.
Pangeran Darma yang baru bangun menatap istrinya.
"Kamu kenapa?"
"Aku baru saja bermimpi diberikan sebuah mahkota cantik. Dan sampai sekarang masih bisa mengingat keindahannya. Meski tidak lagi bisa mengingat bagaimana bentuknya."
"Atau kamu mau aku buatkan mahkota yang baru?"
Prameswari tertawa kecil, ia menepuk lengan suaminya yang terbuka. Kemudian menyurukkan wajah ke tulang selangka Damar. Sebuah kebiasaan di pagi hari saat mereka sama-sama bangun tidur.
"Sama sekali tidak. Koleksi kerajaan ada sekian ratus, takkan habis kupakai saat acara resmi. Aku hanya mengingat keindahannya saat seseorang menyerahkan di pangkuanku."
"Atau kamu akan melahirkan bayi perempuan?"
Sang putri segera mengerucutkan bibirnya. Membuat sang pangeran semakin gemas kemudian mencuri satu ciuman disana.
"Tahu kan pangeran, kalau saya tidak mungkin memiliki bayi lagi?" jawab istrinya kesal.
Pangera Damar mengangguk. Dokter melarang istrinya untuk hamil lagi. Karena dua kehamilan sebelumnya selalu bermasalah. Bahkan saat melahirkan Aditya, Prameswari hampir kehilangan nyawa. Karena tekanan darah tinggi yang tiba-tiba datang.
"Lalu? Apa yang harus kulakukan."
"Aku berharap bisa melihatnya lagi suatu saat nanti."
***
Berita kelahiran putri dari Gantharu menggemparkan istana. Pasalnya sang penjaga istal sudah sepuluh tahun menikah. Belum lagi cerita mengenai kecantikan putrinya. Prameswari yang mendengar itu, penasaran. Sehingga ia mengikuti sang suami saat Damar ingin berkuda sore itu.
Sesampai di area belakang, ia menemukan Chanti, Istri Gantharu tengah menimang bayinya di depan rumah. Perempuan itu segera membungkukkan badan.
"Selamat pagi Pangeran dan putri. Ada apa gerangan hingga sudi mengunjungi gubuk hamba."
"Aku ingin melihat bayimu." balas Prameswari sambil tersenyum."
Chanti masih menunduk saat memperlihatkan bayi perempuannya. Prameswari tidak bisa menahan diri untuk menggendong bayi mungil tersebut. Seketika wajah putri Gantharu tersenyum. Ia mengelus wajah putri Chanti. Rasa suka yang ada sama persis saat melihat mahkota yang ada dalam pangkuannya waktu itu.
"Dia cantik sekali, bolehkah aku menggendongnya?"
"Terima kasih atas kehormatan ini, tuan putri."
Sang ibu menyerahkan putrinya untuk digendong. Prameswari menepuk bokong bayi tesebut. Ia benar-benar kagum pada kecantikan sang bayi. Bahkan sudah jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.
"Siapa Namanya?"
"Agni."
"Bolehkah aku menambahkan nama dibelakangnya?"
"Dengan senang hati putri.
"Sejak dulu aku ingin sekali memiliki putri yang bernama Chandara. Yang berarti terampil, ulet dan berkompeten. Sekaligus lembut dan murah hati."
"Terima kasih, Putri. Kami akan menambahkan nama itu pada putri kami."
Semua orang tersenyum. Cukup lama prameswari menggendong sang bayi. Ia memang selalu suka pada anak perempuan.
***
Nararya masih melakukan meditasi dibawah sebuah pohon beringin tua di halaman tengah istana. Hari sudah menjelang tengah malam. Ini sudah menjadi kebiasaan sejak beberapa tahun lalu. Ketika tak bisa tidur. Sudah sejak minggu lalu, ada yang mengganggu pikirannya. Seorang berusia renta menyerahkan tongkat padanya. Namun ia masih menolak. Mengatakan belum sanggup. Ayahnya juga sejak tadi menghubungi melalui mata bathin, namun ditolaknya juga. Sampai akhirnya membuka mata. Menatap sekeliling yang sudah sepi.
Ia masih sangatlah muda. Pengalamanpun belum banyak. Jabatan apakah yang diberikan padanya? Sebuah daun jatuh ke pangkuannya. Diambilnya dan segera diletakkan di tanah dengan hati-hati, sesuai kebiasaan selama ini. Namun niat itu segera urung dilaksanakan, karena ada beberapa hal di dalam daun itu yang menarik perhatiannya.
Ada aksara kuno yang tertulis di sana. Sesuatu yang sudah ia pelajari sejak kecil. Karena memang di perpustakaan istana, mereka banyak menyimpan peninggalan masa lalu dengan lengkap. Perlahan pemuda itu membawa daun beringin tersebut memasuki kamar. Dinyalakannya lampu belajar. Kemudian diteliti satu persatu.
[Ber-si-ap-lah, wak-tu un-tuk-mu su-dah de-kat.]
Apakah ini berhubungan dengan penolakannya menerima tongkat beberapa waktu yang lalu? Ingin rasanya berbicara langsung dengan sang ayah. Namun tidak mungkin, ia tidak bisa sesuka hati memasuki bagian utara istana ini.
Bagi Nararya inilah yang terasa sulit, sebelah kakinya sudah melangkah pada peradaban modern, namun sebelah lagi sebuah rantai besar menahan langkahnya pada masa lalu. Tidak banyak orang yang ditakdirkan seperti dirinya. Kebanyakan orang sekarang tidak lagi mengasah bathin sehingga semakin tumpul tergerus jaman. Sementara sebagai putra mahkota, ia dituntut selalu menajamkan hati.
Sementara di sebuah ruangan gelap di dalam istana. Tempat khusus bagi para raja melakukan meditasinya. Sedang terjadi perubahan suhu. Biasanya tempat itu sangatlah dingin. Namun beberapa hari ini mulai terasa hangat. Tak banyak yang menyadari itu, kecuali Raja Damar. Dalam gelap, mata batinnya menatap halaman tengah istana yang sudah sepi. Sejak tadi ia sudah berusaha menghubungkan mata bathin dengan putranya. Namun Nararya selalu menolak. Tampaknya putranya belum siap untuk melanjutkan hubungan tak kasat mata mereka ke tahap yang lebih tinggi.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
28621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top