5

Namanya Agni Chandara. Putri tunggal dari Gantharu. Keturunan yang telah lama ditunggu, dan hadir setelah sepuluh tahun pernikahan mereka. Ditandai dengan bintang jatuh yang terlihat oleh netranya pada suatu malam menjelang pagi. Dalam hati ia memohon kepada Gusti, agar diberikan seorang putri dengan paras laksana bintang. Yang menjadi api penyemangat bagi mereka kelak.

Benar, Sembilan bulan kemudian lahirlah seorang putri berparas elok dari rahim istrinya. Bermata bulat dan hitam, berambut tebal berkulit putih. Hidungnya bangir membuat siapapun yang menatapnya terpukau. Gantharu dan Chandi mendidiknya dengan baik. Meski hanya mampu menyekolahkan di sekolah khusus untuk rakyat jelata.

Seperti ada yang membimbing, putrinya tumbuh menjadi anak yang pintar dan berkelakuan baik. Tidak pernah membuat masalah dan rajin membantu ibunya di rumah. Hal yang kadang menyedihkan dimata tuanya adalah, saat Agni terpaku mendengar dentingan piano dari dalam istana. Ia tahu bahwa putrinya sangat ingin bisa bermain piano. Sayang, itu tidak mungkin, karena mereka adalah rakyat jelata.

Bagaimana mau berlatih, membeli pianopun pasti mereka tak sanggup. Namun ia menikmati saat mata putrinya terpejam menghayati seluruh nada yang dimainkan, terutama oleh putra mahkota. Wajah itu terlihat tenang .

Yang Gantharu tidak tahu, bahwa kelak putrinya memang akan menjadi bintang bagi banyak orang. Cahaya yang terlihat jelas di malam hari. Putrinya ditakdirkan untuk mendampingi Nararya sebagai raja. Sebuah tangan tak kasat mata telah melindungi dan membimbing Agni sejak dari rahim ibunya. Agar kelak, anak itu bisa tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan tangguh memikul beban yang ada dipundaknya.

Saat ini Agni yang tidak tahu apa-apa, bisa tinggal di lingkungan istana sudah menjadi sebuah berkah. Meski kediaman mereka terletak di belakang dekat kandang kuda. Asalkan ada tempat tinggal, dan bisa membantu sang ayah memberi makan hewan kesayangan Yang Mulia dan para pangeran di istana.

Setiap pagi ia akan melewati gerbang belakang istana untuk pergi ke sekolah. Berbeda dengan teman-temannya yang sering saling mengunjungi. Agni tidak pernah diperkenankan menerima tamu. Meski paman penjaga sangat baik hati padanya. Karena itu sudah menjadi peraturan istana.

Meski demikian kadang ia keluar di sore hari. Bermain dibawah pohon rindang bersama teman-temannya. Beberapa pemuda desa akan menggoda. Karena ia terlihat paling cantik dimata mereka. Kalau sudah begitu ia akan tertunduk kesal. Entah kenapa ia tidak suka digoda.

Setiap malam menjelang tidur, ibunya akan menemani. Kemudian menyampaikan nasehat-nasehat kepadanya. Saat itulah ia menumpahkan segala kekesalan yang tersimpan semenjak siang. Entah karena ulah temannya, atau tentang godaan para pemuda.

"Jangan menunjukkan wajah marah. Kalau mereka menegurmu balaslah dengan senyum. Tapi jangan mau kalau diajak pergi, apalagi berdua saja. Karena kamu perempuan, harus menjaga diri sendiri. Pulanglah ke rumah kalau di sana terlalu sepi."

"Tapi tadi pagi, Kang mas Jahtra menyentuh pipiku."

Sang ibu menatap putrinya dengan sedih. Ia tahu, dibanding teman seusianya, Agni terlalu bersinar. Ia sendiri sudah beberapa kali ditanya para ibu di luar istana saat ke pasar. Menanyakan tentang perjodohan Agni. Dalam tradisi mereka adalah hal biasa bagi anak-anak dinikahkan saat masih sangat muda. Diberi pengikat saat masih kecil agar tidak lepas ketika siap dipinang.

Tapi ia tidak ingin Agni mengalami itu. Putrinya harus sekolah, paling tidak akan menikah setelah berusia lebih dari tujuh belas tahun. Kenapa? ia hanya tidak ingin Agni melepas masa mudanya secepat itu. Meski kelak tidak bisa kuliah, ia berharap kalau gadis kecilnya bisa lulus sekolah menengah atas.

Saat ini usia putrinya sudah dua belas tahun. Buah dadanya mulai terlihat ranum. Pinggangnya juga mulai mengecil. Karena itu, Chandi selalu menyuruhnya berpakaian yang sedikit lebih besar. Agar perubahan itu tidak terlalu terlihat oleh mata orang lain.

***

Siang itu, Agni sedang menyulam sebuah sapu tangan di halaman depan. Saat seseorang mendekatinya. Menyadari kehadiran Aditya, ia segera berdiri dan membungkuk.

"Salam, pangeran. Ada apa gerangan datang kemari?"

"Dimana paman Gantharu? Aku ingin naik kuda sebentar."

"Ayah sedang beristirahat. Saya akan segera memanggilkan."

"Baiklah, kutunggu disini."

Agni segera meletakkan sapu tangan diatas dipan kemudian menyusul ayahnya ke dalam. Aditya menatap sulaman tersebut. Sebuah sapu tangan putih dengan benang sulam berwarna biru. Sangat cantik, sama seperti yang membuat. Tapi Aditya menyadari posisinya. Ia tidak sepadan dengan Agni. Seorang pangeran tidak boleh mendekati orang biasa, apalagi anak penjaga istal. Kecuali hanya untuk dijadikan selir. Tapi mata dan hatinya tetap tidak bisa berpaling. Karena itulah ia sering kemari.

Tak lama orang yang ditunggunya keluar. Setelah Gantharu menyapa dengan hormat, keduanya kemudian pergi menuju istal meninggalkan Agni yang kembali menyulam. Saat Aditya melewati rumah kecilnya sambil menunggang kuda, kembali gadis itu menunduk hormat. Aditya hanya membalas dengan tersenyum kecil.

Agni melanjutkan kegiatannya, cukup lama sampai ia dikejutkan oleh kehadiran Pangeran Nararya.

"Sedang apa, Agni?"

Buru-buru gadis kecil itu berdiri dan membungkuk.

"Selamat sore, pangeran. Ada apa gerangan datang kemari?" ucapnya sambil menunduk.

"Aku hanya ingin mampir. Apakah paman ada di rumah?"

"Tidak, ayah tadi ke istal. Karena pangeran Aditya ingin menunggang kuda."

Nararya duduk diatas dipan tanpa peduli akan sikap tubuh Agni. Itu sudah menjadi tatakrama di dalam istana. "Apakah hari ini ibumu memasak sesuatu?"

"Ada Pangeran, ibu memasak kue ketimus."

"Berilah sedikit padaku."

"Baik, Pangeran."

Kemudian gadis kecil itu melangkah mundur menuju ke dalam rumah. Nararya tertarik pada selembar kain kecil yang tergeletak begitu saja. Diraihnya sulaman sapu tangan yang telah terlihat cantik dengan hiasan bunga kecil di keempat sudutnya. Kelihatannya sudah hampir selesai. Ketika gadis itu keluar ia bertanya.

"Untuk siapa sapu tangan ini?"

"Tidak untuk siapa-siapa, pangeran. Hamba membuat untuk menghabiskan waktu saja."

"Minggu depan aku akan berangkat ke luar negeri. Ayahanda mengirimku belajar ke sana. Maukah kamu membuatkan dua untukku? Buat juga namaku disalah satu ujungnya."

Agni meremas jemarinya.

"Tapi hasil sulaman saya belum bagus pangeran. Saya malu."

"Menurutku ini sudah sangat bagus. Untuk menyeka keringatku nanti. Boleh, kah?"

Akhirnya Agni mengangguk, wajahnya memerah. Nararya melepaskan daun dari kue ketimus itu. Ia menatap dinding tua istana di kejauhan. Yang menjadi saksi akan cinta pertamanya pada Agni.

Tidak ada yang tahu bagaimana ia selalu mencuri waktu untuk datang kemari. Mencari berbagai macam alasan. Agar bisa melihat mata indah laksana sinar bintang milik Agni. Dulu jiwa kanak-kanaknya terjebak pada seorang gadis kecil yang diam-diam membawakan makanan yang disimpan dalam selembar daun pisang atau dibungkus kain.

Bagaimana mata itu menatap penuh sukacita saat ia menghabiskan makanan yang dibawakannya. Menghapus sisa makanan dan minyak disekitar mulutnya agar tidak ada yang tahu bahwa ia baru saja makan dari dapur penjaga kuda.

Meski saat ini, ia semakin kesulitan menatap cahaya bintang pada netra itu. Karena setelah mengerti benar akan aturan istana, Agni tak pernah berani lagi menatap matanya. Namun ingatan akan keindahan sang pemilik, tetap tersimpan rapi dalam lubuk hati sang pangeran.

***

Tahun berganti, kini Agni sudah duduk di kelas dua SMP. Pangeran Nararya sudah hampir empat tahun belajar di luar negeri. Katanya tahun depan ia harus masuk akademi militer sebelum melanjutkan ke universitas. Sebagaimana seharusnya dilakukan pemuda di lingkungan kerajaan. Karena kelak, selain menjadi raja, Nararya juga harus memahami tentang strategi perang.

Selama itu juga, Agni jarang bertemu. Karena setiap kali pulang, Pangeran akan selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Meski begitu, sekali atau dua kali ia akan tetap mampir ke belakang istana dengan alasan rindu pada kudanya. Meski hanya ia yang tahu bagaimana jiwanya tak bisa menahan rindu terhadap Agni.

Agni semakin jarang ke luar rumah, karena ibunya melarang. Beberapa kali sudah mereka mendapatkan pinangan. Tapi masih ditolak dengan alasan belum selesai sekolah. Hal tersebut menimbulkan kasak kusuk kalau ia tengah dipersiapkan untuk menjadi seorang selir istana.

Sore itu, Agni kembali sibuk dengan sulamannya. Ini merupakan salah satu mata pencahariannya sekarang. Kali ini istri orang terkaya di kampung belakang istana, memesan satu stel taplak meja. Ia mengerjakan dengan sangat hati-hati.

Namun kegiatan itu terhenti saat seseorang menegurnya.

"Apa kabar Agni?"

Kepalanya mendongak, ada sosok Pangeran Nararya dihadapannya. Segera gadis itu membungkuk hormat.

"Kabar saya baik, pangeran. Anda kapan datang?"

"Baru saja, aku sudah merindukan kudaku."

"Ayah ada di istal, pangeran."

"Aku tahu. Aku hanya ingin menemuimu. Sudah hampir enam bulan kita tidak bertemu."

Dan kamu semakin cantik

Agni hanya tersenyum kecil sambil menunduk. Karena memang sebagai orang dengan kasta paling rendah di istana, ia tidak diijinkan menatap wajah sang pangeran secara langsung.

"Jangan menunduk Agni, aku tidak bisa melihat wajahmu kalau seperti itu."

"Saya tidak boleh melewati batas, pangeran."

Nararya tersenyum, lalu duduk didekatnya. Meraih kain yang belum sempurna disulam.

"Hasil pekerjaanmu bertambah baik, apakah tidak ingin belajar merajut?"

"Saya sudah belajar, pangeran."

"Kamu pasti sudah mahir."

Agni hanya tersenyum.

Tidakkah dia tahu kalau aku begitu merindukan matanya?

"Kalau begitu bisakah kamu membuatkanku sebuah syal? Di tempatku sekarang menuntut ilmu udaranya sangat dingin."

Agni bingung seketika, apa ia tidak salah dengar? Harga benang yang bagus sangatlah mahal. Dan ia pasti tidak sanggup membeli. Seandainyapun ibu Rima membayar upahnya, sudah pasti tidak akan cukup. Melihat perubahan pada wajah cantik, kembali Nararya bertanya.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa pangeran." Sebagai rakyat biasa, tentu ia tidak boleh menolak keinginan calon rajanya. Tapi mengakui bahwa tidak sanggup membeli benang yang mahal, tentu saja sangat memalukan. Pertanda ia tidak mau memberikan yang terbaik pada pria teman kecilnya tersebut. Keringat menetes di kening Agni menunjukkan kegalauannya.

Nararya memejamkan mata sejenak, ia tahu kegundahan yang ada dalam hati Agni. Namun tidak paham sampai kemudian melihat gadis itu memutar benang yang ada dijemarinya. Dan pria muda itu tahu apa yang harus dilakukan.


***

Happy reading

Maaf untuk typo

26621

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top