4
Ritual tahunan Sedekah laut berlangsung meriah. Begitu acara selesai, beberapa gunungan sayur dan buah-buahan segera diserbu rakyat yang datang. Raja Damar tersenyum bahagia di kursinya. Sementara sang ratu lebih memilih berbincang dengan istri bupati yang duduk disebelahnya.
Nararya yang berada di sisi lain ayahnya, berbisik pelan.
"Ayah, kenapa mereka harus berebut. Apa tidak lebih baik kita meminta pelayan atau prajurit mengantar ke rumah masing-masing? Kasihan yang tidak kebagian."
"Kamu lihat disudut sana?" jawabnya sambil menatap ke arah lain. "Yang mendapat banyak, akan berbagi dengan temannya yang tidak mendapat. Tahu kenapa? Agar ia ingat untuk berbagi dan semua akan mengucap terima kasih atas hasil kerja kerasnya. Mengucap syukur dan berbagi adalah inti dari perayaan ini."
"Apakah nanti mereka akan memasak sayuran itu?"
Damar tersenyum,
"Ya, dan mereka akan makan bersama seluruh keluarga di rumah."
Nararya mengangguk tanda mengerti. Acara yang berlangsung sejak pagi akhirnya selesai. Keluarga kerajaan kembali ke Istana Mandasari. Seluruh anggota keluarga yang tadi mengikuti acara segera beristirahat, kecuali Nararya dan ayahnya. Dari atas balkon mereka menatap ke arah pantai yang semakin sepi. Istana ini memang terletak di atas bukit.
"Apakah kamu mau kita berkuda di sepanjang pantai?" tanya sang ayah pada Nararya.
"Iya, ayah." Berkuda di alam bebas adalah hal yang paling disukai Nararya selain bermain pedang. Dan hanya bisa melakukan saat libur resmi kerajaan.
Raja Damar segera memerintahkan seseorang untuk menyiapkan dua kuda. Tak lama ayah dan anak itu sudah terlihat memacu kuda mereka menuju sebuah tebing tinggi. Keduanya turun dan berdiri di atas karang. Menatap lautan luas saat senja mulai terbenam. Ombak tinggi menghantam karang, membuat sebagian tubuh mereka basah terkena air laut.
"Laut sangat tenang malam ini, ayah."
"Dari jauh terlihat seperti itu, tapi di dalam kita tidak tahu bagaimana arusnya."
"Tapi aku tidak melihatnya, ayah."
"Kita tidak pernah tahu bagaimana isi laut, sama seperti kita tidak tahu apa yang ada dalam perasaan seseorang. Bisa saja semua terlihat tenang, Nararya. Tapi hati dan pikirannya sedang bergejolak."
"Apakah ayah juga tidak tahu apa yang ada dalam pikiranku?"
Sang ayah menatap putranya kemudian tersenyum.
"Karena kamu masih kecil, ayah tahu. Anak kecil sulit menyembunyikan perasaannya. Berbeda dengan orang dewasa yang sudah lebih terlatih. Kamu sering kesal kalau harus mengikuti banyak kegiatan, kan? Ingin selalu bermain seperti adikmu?"
Nararya tersenyum malu, ia menunduk. Sang ayah kemudian mengelus kepalanya penuh rasa sayang.
"Dulu ayah juga seperti itu. Tapi tidak punya pilihan selain menurut. Dan hasilnya ayah rasakan sekarang. Untuk menjadi seorang raja, kamu harus memiliki banyak ilmu. Itu adalah bekal agar bisa memimpin dengan bijaksana. Ilmu pedang akan mengasah konsentrasi dan pertahanan dirimu. Ilmu seni akan mengasah perasaanmu. Matematika akan menajamkan logikamu. Masih banyak ilmu lain yang sama pentingnya. Mereka akan membentukmu menjadi sosok yang tangguh."
Nararya mengangguk tanda mengerti. Sampai akhirnya kembali bertanya. "Berapa lama kita akan di sini?"
"Satu minggu dari sekarang. Kamu bisa bermain sepuasnya bersama ibu dan ayah. Tidak banyak anggota kerajaan yang ikut kali ini."
"Dulu aku pernah melihat ayah bermeditasi di sini. Apa yang ayah rasakan saat itu?"
Sang ayah kembali menatap lautan yang luas terbentang. Ia bisa merasakan hal-hal tak kasat mata yang ada di sekitar mereka, bahkan jauh di tengah laut sana. telinganya bisa mendengar musik yang mereka mainkan. Bahkan banyak hal yang tak bisa dilihat putranya.
"Bermeditasi akan membuat kita memahami banyak hal. Pemikiran kita juga kehendak kita. Membiarkan Gusti Pemilik Alam berbicara melalui hati. Sehingga kita bisa tetap bersikap tenang ditengah keributan. Karena saat itu kita mengosongkan pikiran tentang dunia. Kamu juga sudah mulai sering melakukannya, kan?"
"Ya tapi tidak sanggup lama, sangat sebentar."
"Nanti juga kamu akan terlatih. Tujuan lain adalah agar kamu semakin peka terhadap keadaan sekitar yang mungkin tidak bisa kamu lihat dengan mata namun bisa dirasakan. Kamu butuh penyeimbang dalam hidup.
Apalagi kelak kamu akan menjadi raja. Memimpin banyak orang, keamanan dan kesejahteraan mereka ada dipundakmu. Jika ingin adil, kamu harus melepaskan keinginan raga dan mendengar suara bathin."
"Tapi maaf ayah, aku pernah membaca disebuah surat kabar kalau banyak yang mengolok-olok kita yang katanya percaya takhyul."
Kembali sang ayah tersenyum.
"Mereka melakukan itu karena tidak paham apa yang kita kerjakan. Mereka hanya melihat kulit luar. Dengan bermeditasi kamu akan belajar untuk memusatkan pikiran. Sehingga lebih memahami sesuatu secara mendalam. Pelan. Kemampuanmu akan terasah.
Sudah malam, ayo kita pulang. Nanti ibumu tidak akan makan kalau ayah tidak ada di sana."
Keduanya kemudian beriringan turun dari tebing, dan segera memacu kuda masing-masing menyusuri pantai untuk kembali ke istana.
***
Di Istana Mandasari
Pangeran Aditya tengah uring-uringan, saat mengetahui kalau ayahnya tengah berkuda bersama sang kakak.
"Ayah jauh lebih menyayangi putra mahkota. Aku tidak pernah diperhatikan. Aku benci pada kakakanda Nararya. Ia sudah mengambil waktu ayahanda dariku!" teriaknya dihadapan para pelayan.
Sejak dulu ia memang sangat membenci kakak tertuanya. Dan tersenyum penuh kemenangan saat Nararya kesal atau sedih karena ulahnya. Anak kecil itu masih meronta marah. Tidak ada pelayan yang berani mendekat disaat seperti ini.
Sampai kemudian sang permaisuri datang dan mendekat. Dengan kibasan tangan pelan ia meminta semua orang meninggalkan mereka. Kemudian berkata dengan suara pelan namun terdengar tajam.
"Ayah dan ibu menyayangi kalian sama besarnya. Tapi ada takdir masing-masing yang harus kalian jalani. Kakakmu harus banyak belajar. Seharusnya kamu juga, tapi kamu menolak kan? Waktu bermainmu bersama ayah jauh lebih banyak. Kakakmu hanya saat liburan saja. Kamu bebas berkuda di saat kakakmu harus belajar. Lalu kenapa marah hanya karena hal kecil ini? Lagi pula kamu tadi memilih untuk tidur karena mengeluh terlalu capek."
Aditya menutup mulutnya. Ia tidak suka dengan kalimat sang ibu. Yang ia inginkan hanya bisa berkuda bersama ayah di pantai. Titik!
***
"Seharusnya jangan membawa Nararya sampai malam, kamu juga bisa sakit." ucap Ratu Prameswari sambil memijat bahu suaminya.
Raja Damar hanya tesenyum. Istrinya adalah satu-satunya orang yang berani memanggilnya dengan kata, kamu. Meski itu terjadi hanya ketika mereka berdua ada di dalam kamar.
"Aku ingin memperkenalkannya pada luas wilayah yang harus ia jaga kelak. Dan juga agar penguasa laut bisa memperkenalkan diri padanya."
"Dia masih terlalu kecil."
"Ya, tapi kulihat kepribadiannya sudah mulai terbentuk. Ia lebih luwes dan bisa mengendalikan emosi. Saat kami pulang, ia selalu menatap ke satu titik. Dan aku yakin dia sudah mulai menyadari kehadiran mereka."
"Dia sudah mulai memahami arti posisinya, berkat meditasi yang dilatih setiap pagi. Juga masukan dari guru yang membimbingnya."
"Terima kasih, sudah melahirkan seorang putra yang begitu hebat untukku. Dengan bimbingan yang tepat, dia akan menjadi raja yang hebat." ucap Raja Damar sambil berbalik dan menarik tubuh istrinya kedalam pelukan.
Prameswari tertawa kecil,
"Ia hebat, karena memiliki ayah yang juga hebat. Laki-laki yang tahu bagaimana bersikap dan memperlakukan istrinya dengan baik. Tapi kulihat Aditya sudah mulai tidak menyukainya."
"Aku tahu, nanti aku akan bicara berdua dengannya. Bibit kebencian harus segera dicabut dari akarnya, agar tidak tumbuh besar saat mereka dewasa."
Damar mengatakan itu karena tahu, bahwa sebagian dari saudara laki-lakinya adalah musuh terselubung dalam istana. Yang siap menggulingkan tahtanya setiap saat.
"Apa kamu bahagia sekarang?" tanya sang suami sambil menatap istrinya lekat.
"Sangat, asal kamu tidak meninggalkan aku." balas sang istri sambil merebahkan kepalanya didada bidang sang suami.
"Tidak akan, bersama kamu aku bisa menjadi diriku sendiri. Setelah lelah hidup sebagai raja diluar sana." Prameswari hanya tersenyum, meski merasa tersanjung.
***
Pagi itu, sejumlah kereta kencana disiapkan. Pasukan bersenjata sudah dalam posisi mengiringi dan juga berjaga ditepi jalan. Raja Damar tengah berulangtahun yang ke 43. Sebuah usia yang masih sangat muda dengan kedudukannya sebagai raja. Mengenakan pakaian kebesaran ia duduk dengan gagah bersama Ratu Prameswari. Dihadapan keduanya duduk putra mereka. Atap kereta sengaja dibuka, agar rakyat bisa melihat langsung. Beruntung cuaca cerah, jadi nanti ia dan keluarga bisa turun sejenak.
Banyak wartawan dari dalam dan luar negeri yang meliput. Ini merupakan saat yang ditunggu, karena sangat jarang raja melakukan hal tersebut. Setelah dinyatakan bahwa jalan yang akan mereka lalui siap, kereta kencana berjalan perlahan. Diiringi oleh pasukan berkuda dan prajurit yang berjalan kaki. Sementara pihak keamanan berpakaian biasa sejak tadi pagi menyusup diantara rakyat yang menunggu.
Banyak yang memasang tenda di tepi jalan. Pada hari itu semua diijinkan. Nararya dan Aditya melambaikan tangan pada rakyat yang tengah bersuka cita. Sampai pada suatu titik, raja meminta kereta berhenti. Kemudian ia dan seluruh keluarga turun menyalami rakyat yang berdiri ditepi jalan. Menerima ucapan selamat ulang tahun secara langsung.
Nararya dan Aditya mengikuti dari belakang, juga menerima bunga dan berbagai hadiah yang diberikan. Membiarkan raut wajah mereka ditangkap oleh ratusan kamera. Kehadiran mereka juga ditunggu oleh rakyat. Karena ingin mengenal calon raja kelak.
Pagi tadi sebelum matahari terbit, sebuah tradisi di seluruh penjuru negeri dilakukan. Ada beberapa orang yang menerima hadiah secara acak. Kado tersebut diletakkan di depan pintu rumah mereka. Yakni undangan makan malam bersama raja dan seluruh undangan VIP di istana.
Pada saat itu raja dan ratu akan duduk beberapa menit dengan mereka untuk mendengar ucapan selamat dan juga doa. Sebuah kebiasaan yang baru dilakukan setelah Raja Damar naik tahta. Hal tersebut membuatnya semakin dicinta oleh rakyat.
Meski disisi lain, banyak yang membencinya. Entah karena iri atau ingin merebut kekuasaan. Menggunakan cara licik mendekati partai politik, organisasi kepemudaan dan keagamaan. Raja Damar seperti terkepung dari berbagai arah. Namun beruntung, sebagian besar rakyat masih mencintainya.
***
Nararya memasuki bagian dalam istana setelah selesai menjalankan tugas sebagai putra mahkota. Sebenarnya ia membenci saat itu. Dimana harus berpanas-panasan selama lebih dari satu jam. Memberikan senyum tulus kepada banyak orang. Namun, itu adalah tugas, dan ia takkan berani menolak.
Seseorang membantunya berganti pakaian. Mengenakan kaos berkrah dan celana pendek. Rapi adalah kata yang harus dipastikan saat ia keluar dari kamar pribadinya. Tapi siang ini ia berencana pergi ke belakang istana. Tepatnya ke kediaman Paman Gantharu, seorang penjaga istal istana.
Langkah kecil itu segera berlari kencang, di sana sang paman sedang membersihkan kandang. Pria tua itu segera menoleh dan membungkuk hormat saat menyadari kedatangannya.
"Salam Pangeran Nararya, ada apa anda kemari?"
"Aku ingin melihat kudaku, paman. Apa mereka baik-baik saja?"
"Mereka baik-baik saja Pangeran, apakah ada keperluan yang lain?"
"Aku mau bermain-main di sini."
"Tapi ini bukan tempat yang baik untuk, anda. Sebaiknya kembalilah ke istana sebelum seseorang mencari anda."
Nararya cemberut, bermain dengan kuda adalah kegiatan favoritnya. Ia malas bertemu dengan wajah-wajah kaku tanpa senyum di dalam istana. Di sini Paman Gantharu selalu tersenyum ramah. Ia juga suka pada Agni Chandara putri sang paman. Gadis kecil yang suka menyembunyikan makanan dibalik saputangannya untuk diberikan pada Nararya.
Masakan Bibi Chanti sangat enak. Melebihi rasa masakan koki istana. Menyelinap ke kediaman mereka adalah salah satu hobby-nya. Meski tak pernah bisa dilakukan dalam waktu lama. Karena pengasuhnya akan segera tahu bahwa ia sudah tidak ada di sekitar mereka.
Perlahan langkah kecilnya kembali beranjak ke luar kandang. Namun sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Ssssshhhh.... Sini." Sebuah suara mendesis dari balik sebuah pohon. Sesosok gadis kecil berambut panjang berkepang dua muncul dari baliknya. Segera Nararya menoleh ke kanan dan kekiri. Setelah merasa semua aman, ia segera berlari menghampiri.
"Kamu bawa apa?"
"Ibuku baru saja menggoreng pisang, pangeran. Apakah anda mau?"
Nararya segera mengangguk. Kali ini ada sebuah pisang yang masih hangat. Ia segera memakan dengan lahap. Tanpa memedulikan mulutnya yang berlepotan dengan minyak. Mereka berdua terkesiap saat beberapa orang berteriak memanggil.
"Pangeran...Pangeran Nararya... anda di mana?"
"Bersembunyilah Agni, supaya aku ke luar." bisik Nararya.
"Tapi wajah anda belepotan minyak. Saya hapus dulu." balas Agni.
Pangeran membiarkan teman kecilnya itu menghapus sekitar mulutnya dengan rok panjangnya. Setelah semua selesai, perlahan ia berjalan dengan tenang.
"Aku di sini, paman."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
23621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top