3

Sosok mungil berambut kelam itu duduk di sudut kamar dengan cemberut. Wajahnya memerah menahan kesal. Sementara seorang pria berusia senja masih setia berdiri menemani disampingnya. Hari ini Nararya malas berlatih piano. Ia kesal karena tidak diijinkan untuk mengikuti adiknya berkuda di hutan sebelah utara.

"Anda tidak boleh seperti ini, Pangeran. Nyonya Damiana sudah menanti lebih dari lima menit. Pelajaran Piano sangat penting untuk anda."

"Tapi aku tidak suka pada Nyonya Damiana, Paman."

"Dia adalah guru piano terbaik, yang juga mengajar ayah anda dulu. Semua orang merekomendasikannya. Bukankah sangat menyenangkan ketika mendengar alunan piano berdenting?"

Sang pangeran masih diam ditempatnya. Sang pengasuh Gupta hanya tinggal memiliki waktu lima menit untuk membujuk. Pria tua itu menghembuskan nafas pelan. Nyonya Damiana sangat tegas, dan bisa saja setelah ini akan ada laporan tentang kegagalannya pada Ibu Suri. Yang bisa membuat angka hasil pekerjaannya berkurang. Sekali lagi pria itu mencoba membujuk.

"Nyonya Damiana sudah sangat jauh menyetir untuk bisa sampai ketempat ini. Apakah anda tidak merasa iba? Ia seorang wanita tua yang ingin melihat kemajuan anda. Ia adalah rakyat anda, Pangeran. Apakah anda mengingat bagaimana Ratu pernah berkata, bahwa anda harus berterima kasih pada orang yang membagikan ilmu?"

"Aku ingin berkuda, bukankah kita sedang libur akhir tahun saat ini? Kenapa masih harus belajar piano?"

"Karena pendidikan harus tetap berlangsung kapanpun dan dimanapun, Pangeran."

"Berhentilah memanggilku dengan kata pangeran. Aku bosan, paman."

"Itu sudah menjadi peraturan tertulis untuk saya. Bagaimana? Ini sudah hampir sepuluh menit." Pria itu masih berkata dengan intonasi lembut dan santun. Ia sudah tahu bagaimana cara menaklukkan anak asuhnya.

"Baiklah," jawab anak kecil itu akhirnya. Sang pengasuh akhirnya bisa bernafas lega. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang piano. Tak lama dentingan piano sudah terdengar dari dalam ruang musik.

***

"Bagaimana kemajuan permainan piano Nararya, Prameswari?" tanya ibu suri Pitaloka sambil menyecap tehnya dengan anggun.

"Sudah lebih baik, ibu. Dia baru saja menyelesaikan Emperor Concerto for Piano, No. 5"

"Beethoven?"

"Ya."

Sang ibu mertua terdengar tertarik. Sangat sulit mengambil hati ibu suri. Prameswari sedikit tersenyum.

"Kalau begitu biarkan dia memainkan piano saat jamuan minum teh bersama para gubernur besok sore. Saya ingin ia belajar menunjukkan kemampuannya di hadapan umum. Nararya belum memiliki kepercayaan diri yang baik. Dia seperti peragu. Adiknya Aditya lebih terlihat lebih memiliki itu. Meski saya mengakui kalau jiwa putra mahkota lebih halus."

Prameswari hanya mengangguk. Ibu mertuanya tidak boleh dibantah. Itu adalah peraturan nomor satu sejak ia menginjakkan kaki di istana ini. Teringat kembali saat empat belas tahun yang lalu. Ketika Damar, pria yang dikenalnya saat bertugas di Belgia memperkenalkan mereka pada suatu sore.

Perempuan cantik itu masih ingat, bagaimana Sang Ratu menatap dari atas kebawah, dan hal pertama yang di komentarinya adalah tentang stocking yang menimbulkan kerutan karena ukuran yang sedikit kebesaran. Rasanya Premeswari yang saat itu masih bernama Jennifer ingin meluncur ke perut bumi paling dalam. Namun genggaman erat Damar membuatnya tetap bertahan, bahkan sampai sekarang.

Ketika mereka menikah, ia berganti nama karena dinilai terlalu kebarat-baratan. Saat itulah penjara sesungguhnya dimulai. Tidak ada kebebasan lagi. Entah itu perkataan ataupun pikiran. Semua menjadi tidak penting. Yang boleh didengar hanyalah perintah Raja dan Ratu.

Saat ayah mertuanya meninggal dua tahun lalu, maka otomatis suaminya diangkat menjadi raja. Bagi seorang Prameswari, duduk setengah jam bersama ibu suri jauh lebih sulit daripada saat pertama belajar menyampaikan pidato disebuah acara amal.

"Apa kegiatan kamu malam ini?" kembali terdengar pertanyaan ibu mertuanya.

"Saya akan menghadiri acara jamuan makan malam bersama beberapa duta besar yang baru saja bertugas."

"Apa perdana menteri, ikut?"

"Ya, ibu."

"Berhati-hatilah, Perdana Menteri Archandra masih sangat muda dan selalu ingin menghapus monarki. Dia tidak pernah tahu bagaimana sulitnya memimpin negeri ini. Tapi banyak yang mendukungnya, terbukti ia bisa memenangkan pemilu kemarin."

"Baik, ibu."

"Oh ya, katakan pada Nararya dan Aditya. Besok kami akan berburu rusa di hutan. Siapkan mereka pukul delapan pagi."

"Baik, ibu."

"Apa masih ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Tidak ada, ibu. Saya pamit dulu."

Ibu mertuanya mengangguk dengan cara paling elegan yang pernah dilihatnya. Pada awalnya ia bingung, ada orang yang mampu menahan senyum seperti mertuanya. Namun akhirnya ia belajar juga melakukan hal itu. Prameswari bangkit dan memberikan hormat dengan menundukkan kepala. Barulah perempuan itu pergi. Dua orang maid senior mengikuti langkahnya menuju ruang pribadi, yang terletak disisi lain istana. Namun mereka berhenti di depan pintu, karena Prameswari memiliki aturan sendiri.

Sang ratu sangat tidak suka jika ada orang lain saat ia hanya berdua dengan sang suami. Itu sudah menjadi rahasia istana. Sesuatu yang pada awalnya menimbulkan kehebohan bagi para pelayan. Namun ia memilih tidak peduli. Hanya saat itulah, suaminya benar-benar menjadi miliknya. Sang suami tengah menatap ke luar jendela. Pria itu segera merentangkan tangannya menyambut sang istri. Lalu memeluk dengan erat.

"Aku merindukanmu. Bagaimana kabar ibu sore ini?" Bisiknya saat sang istri sudah berada dalam pelukannya.

"Aku juga. Ibu suri baik. Besok beliau mengajak anak-anak untuk berburu."

"Itu berarti aku harus ikut. Kamu di istana saja."

"Ya, aku berencana mengacaukan dapur besok." balas sang istri.

Prameswari adalah seorang pencinta hewan, Karena itu ia tidak suka kegiatan berburu. Meski tahu, kalau populasi rusa di daerah ini sudah terlalu banyak. Menatap hewan yang bersimbah darah sudah membuatnya bergidik. Karena itu tidak ada hiasan kepala rusa yang memiliki banyak tanduk di ruang pribadi mereka.

"Bersiaplah. Kita tidak boleh terlambat menghadiri jamuan makan malam."

"Ya, apa kamu membutuhkan pijatan sebelum berangkat ke sana?" istrinya menawarkan diri. Karena tahu, bagaimana sikap perdana menteri jika mereka bertemu.

"Tidak, aku lebih membutuhkannya saat kita pulang nanti." jawab sang suami sambil mencium pipinya.

***

Duduk di hadapan para tamu, adalah hal yang sangat tidak disukai Nararya. Tapi seperti kata ibu, ia harus belajar mengalahkan dirinya sendiri. Sampai kemudian berhasil menyelesaikan Emperor Concerto for Piano, No. 5 dengan baik. Semua orang bertepuk tangan. Kemudian sang pangeran berdiri dan menundukkan kepala dengan sopan. Sebuah pertanyaan terdengar,

"Anda sangat mahir bermain piano, pangeran. Apakah mahir juga memainkan alat musik tradisional?" Sebuah pertanyaan yang sebenarnya dimaksud untuk menyindir keluarga kerajaan. Seketika wajah Nararya kecil memerah. Namun kemudian ia menjawab dengan suara pelan.

"Saya sedang belajar memainkan Bonang barung dan juga Siter."

Wajah sang penanyalah yang kini memerah. Seketika teringat nasehat ibunya dulu.

Ketika orang menghinamu, balaslah dengan prestasi. Kalau kamu membalas mereka dengan kata-kata. Kamu tidak ada bedanya dengan mereka.

Dan untuk pertama kali dalam hidup, ia tidak menyesal telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar banyak hal. Ibunya benar, suatu saat nanti semua dibutuhkan. Meski entah kapan.

Selesai tampil, sang pangeran kembali ke ruangannya. Menikmati jamuan teh sore hari bersama sang adik Aditya dan beberapa sepupu yang juga tengah berlibur. Pada saat ini mereka bisa bermain sepuasnya.

***

Suasana istana sore itu sangat teduh. Angin berhembus sepoi. Nararya baru selesai belajar melukis saat ibunya muncul. Setelah guru privatnya membungkuk hormat dan pamit. Keduanya duduk dibawah pohon buah maja yang terletak di dekat halaman belakang.

"Besok ibu akan menemani ayahmu untuk kunjungan kenegaraan. Kamu harus melakukan kegiatan seperti biasa."

"Baik, Ibu."

"Berangkat sekolah bersama Aditya, pastikan ia tidak melakukan hal yang memalukan sebagaimana biasa. Seperti menjulurkan lidah, atau memukul temannya. Meski di sekolah kalian pengawasan sangat ketat, tapi banyak pihak yang bisa mendapatkan foto tersebut setelah membayar dengan harga mahal. Jangan memancing kemarahan nenek."

"Baik, ibu."

"Tiga bulan lagi kalian akan berlibur. Ayah sudah merencanakan kita semua menginap di Istana Mandasari. Sekaligus ada ritual tahunan sedekah laut yang harus kita hadiri. Untuk mengucapkan terima kasih pada laut yang selama ini memberikan ikan kepada nelayan."

"Baik, ibu."

"Ibu akan sangat merindukanmu."

"Aku juga."

Sebuah hukum yang harus ditaati oleh seorang Nararya dan Prameswari. Mereka tidak boleh menunjukkan kedekatan secara berlebihan di depan umum. Awalnya sang ibu protes, namun akhirnya tetap harus tunduk pada aturan.

Dulu, sebelum menikah dengan Damar, ia pernah bermimpi memiliki sebuah keluarga yang normal. Sama seperti yang ia miliki ketika masih kecil. Bisa bersama anak-anak sepanjang waktu. Memeluk mereka setiap saat kapan dan di mana saja. Bahkan pernah berharap akan tidur bersama anak-anaknya ketika mereka bayi.

Sayang aturan keras istana melarangnya. Bahkan saat ia memutuskan menyusui bayinya mendapat tentangan keras. Beruntung Damar mendukung, sehingga pihak istana mengalah. Sejak itu ia tidak disukai karena dianggap merubah banyak aturan.

Tahun-tahun pertama adalah saat tersulit dalam hidup Prameswari. Ketika seluruh cahaya kamera fokus pada dirinya. Apa yang ia kenakan, katakan, lakukan, beberapa menit kemudian akan diketahui oleh orang di seluruh penjuru negeri.

Saat mengenakan pakaian, maka seluruh pengamat mode akan me-review di kolom masing-masing. Pernah sebuah media menuliskan tentang pakaian terburuknya sepanjang tahun. Ia sampai menangis berjam-jam. Beruntung Damar sang suami menghibur hingga bisa keluar dari kesedihannya.

Ia juga merasa hancur, ketika media mengoloknya kekanak-kanakan. Hanya karena terlihat menangis hiteris saat ayahnya meninggal. Hal tersebut dianggap tabu oleh orang banyak. Karena ia adalah seorang ratu. Padahal saat itu ia benar-benar terpuruk, sebagai satu-satunya anak yang tidak sempat mengunjungi papanya di rumah sakit, karena tugas kerajaan.

Sampai ia meminta Damar untuk menceraikannya. Yang ia ingat, saat itu suaminya menatap dengan penuh mata terluka sambil berkata,

"Kalau kamu juga pergi, kepada siapa lagi aku bisa percaya?"

"Kamu punya banyak orang di sini, ibu suri akan segera mencarikan seorang istri. Aku hanya orang biasa yang tidak sempurna dimata rakyat."

Damar menunduk, sampai kemudian bahu pria bergetar.

"Aku menghabiskan waktu sendirian sepanjang hidup sebelum bertemu kamu. Tidak pernah punya teman atau sahabat. Aku harus menjaga jarak dengan setiap orang. Karena aturan istana mengikatku. Sampai kemudian kamu masuk dalam kehidupanku. Rasanya semua berubah. Kamu mengenalkanku akan arti sebuah hubungan.

Kamu tahu kan, kalau aku selalu menolak saat ibu memintaku memiliki selir. Karena tidak mau menyakiti kamu. Akulah satu-satunya raja yang tidak memiliki perempuan lain sepanjang sejarah kerajaan ini. Karena bagiku kamu sudah cukup. Lalu sekarang, kamu mau meninggalkan aku?

Tolong pikirkan lagi, aku tidak akan mampu menghalangi langkahmu. Dan tahu, banyak pria yang jauh lebih baik dari aku di luar sana akan mengejarmu. Tegakah kamu membiarkanku sendiri? Kepada siapa lagi aku bisa bersandar?"

Prameswari menunduk. Jika ia dan Damar berpisah, maka anak-anak juga tak akan bisa bertemu dengannya setiap saat karena dibatasi oleh aturan. Tapi diluar semua itu, ia memiliki cinta yang besar terhadap sang raja. Meski akhirnya menyadari, jika cinta itu menghujam jantungnya hingga terus berdarah.

Malam itu, ia tertidur setelah lelah menangis dalam pelukan Damar. Dan masih mendengar saat suaminya berkali-kali berkata "Jangan pergi."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top