2
Kerajaan tengah dirundung duka. Tadi malam Raja Nugraha wafat. Ini menimbulkan kasak kusuk di kalangan istana. Meski Pangeran Damar sudah ditahbiskan sebagai calon raja sejak berusia remaja. Namun sebagian keluarga yang tinggal di lingkungan istana mulai menunjukkan wajah sebenarnya. Mereka terang-terangan mendukung Pangeran Yudhistira, yang memang merupakan putra pertama yang dilahirkan oleh seorang selir.
Damar bukan tidak tahu hal tersebut. Karenanya setelah mengantar jenasah sang ayah menuju aula untuk menerima penghormatan terakhir dari para pejabat tinggi negara dan juga utusan negara sahabat. Ia duduk termenung di ruang semedhi. Sangat tidak nyaman berada di luar. Meski itu di lorong istana. Ia harus mengasah hati untuk bisa melihat dengan jernih siapa teman dan juga lawan.
Dulu ayahnya mengambil beberapa selir sebelum menikahi ibunya. Memiliki anak laki-laki bersama mereka. Ia tahu, bahwa para pendukung Yudhistira berniat melakukan perebutan kekuasaan. Bukan karena mencintai kerajaan sepenuh hati. Tetapi mencari celah untuk mendapatkan jabatan dan harta. Kerajaan memang memiliki itu semua.
Beruntung akhirnya Damar bisa berkonsentrasi dengan meditasinya. Baginya yang sudah terlatih, kematian hanya sekadar memisahkan raga dengan jiwa. Bukan akhir segalanya. Sampai kemudian merasa kalau mata bathinnya sudah siap. Kini sebuah layar terbentang dihadapannya. Sebuah pemandangan yang segera membuatnya bergidik. Damar melihat api dan air mengepung istana. Pada awalnya api menghancurkan beberapa tembok. Namun air berhasil memadamkan.
Dari sana ia tahu, bahwa kerajaan masih diselamatkan. Namun sisa-sisa kebakaran masih ada di beberapa sisi. Api padam namun bekasnya tetap ada. Mencoba mengingat setiap titik yang muncul. Ia juga melihat ada sebuah pedang yang tertancap pada sebuah dinding. Penuh darah namun tak melihat ada yang terluka. Begitu banyak hal tidak baik akan terjadi.
Merasa cukup telah melihat segala hal yang sedang terjadi di istana. Damar segera bangkit menuju luar ruangan. Namun saat akan membuka pintu, ia merasa bahwa seseorang menahan dari luar. Apakah terkunci? Pikirnya. Tapi siapa yang berani melakukan? Ini bukanlah ruangan sembarangan yang boleh di dekati apalagi disentuh. Karena dibagian dalam begitu banyak rahasia yang hanya boleh diketahui oleh raja dan putra mahkota. Termasuk gulungan daun lontar berisikan tulisan sangat rahasia antar pemimpin kerajaan.
Damar bukanlah orang baru dalam dunia penuh intrik seperti ini. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. Lalu mengumpulkan segenap tenaga, dalam satu kali sentakan pintu itu terbuka. Ia bisa melihat beberapa prajurit terkejut dan segera menyerangnya. Kali ini tak bisa diam lagi. Dengan ringan tubuhnya menghalau mereka satu persatu. Mematahkan senjata yang ada dalam genggaman lawan. Sampai kemudian menyadari bahwa bahaya sesungguhnya berada di balik pintu depan ruang meditasi. Sebenarnya itu adalah ruang pribadi milik ayahnya, Raja Nugraha, Segera diraihnya tubuh seorang prajurit. Beberapa peluru tiba-tiba menembus dada pemuda itu. Damar menatap tajam pada saudara berbeda ibu yang juga menatapnya penuh kemarahan.
Derap langkah kaki segera terdengar. Serombongan prajurit setia memasuki area tersebut. Segera meringkus rekannya yang membelot dan buru-buru mengangkat tubuh yang bersimbah darah akibat terkena peluru. Sebagian lagi segera membersihkan darah di lantai.
"Tangkap mereka semua dan jangan ijinkan mendekat pada pemakaman ayahanda. Setelah pemakaman selesai, pengadilan istana yang akan memutuskan hukuman pada mereka. Satu hal lagi, jangan sampai berita ini terdengar oleh orang di luar istana."
Semua mengangguk. Para prajurit setia tidak percaya. Karena harus menangkap beberapa anggota keluarga kerajaan yang selama ini sangat mereka hormati. Namun semua harus tunduk pada perintah putra mahkota. Segera mereka meringkus semua orang yang ingin melakukan perebutan kekuasaan. Sebuah aturan yang jelas, bahwa pengkhianat dianggap pemberontak. Dan tidak akan memiliki tempat di dalam istana. Sebelum dibawa pergi secara terpaksa, beberapa saudara lain ibu Damar masih sempat meludah ke lantai. Sebuah tindakan yang sangat tidak sopan. Tapi Damar telah berubah menjadi orang yang sekuat mamanya.
***
Prameswari begitu cemas di dalam kamar. Ia memeluk kedua putranya. Letusan senjata beberapa kali terdengar sampai ke kamar mereka. Dari derap kaki begitu banyak prajurit ia bisa tahu bahwa telah terjadi sesuatu.
"Ayah di mana, ibu?" tanya Aditya.
"Sedang bermeditasi. Menenangkan diri."
"Apakah itu tadi suara senapan orang berburu?" tanyanya lagi.
Dengan lemah Prameswari mengangguk. Namun ia jelas tahu desas desus yang beredar beberapa jam terakhir. Semua harus dipendam sendiri. Disaat seperti ini tidak ada yang bisa dipercaya kecuali suaminya. Sampai kemudian pintu terbuka, di sana Pangeran Damar berdiri dengan tubuh bersimbah darah.
"Apakah ayah baru saja berburu rusa?" tanya Aditya.
"Ya. Kembalilah ke kamar kalian. Ikuti penjaga yang berada di luar."
Prameswari segera menggiring anak-anaknya menuju pintu. Kemudian melepas mereka dengan perasaan khawatir lalu buru-buru kembali ke dalam dan menghampiri suaminya. Damar tidak berada di sana lagi. Pria itu sudah berada di kamar mandi duduk di bawah shower sambil meremas rambutnya. Mengabaikan sang istri yang berdiri di pintu.
Tidak ada kalimat apapun, namun mata itu terlihat sangat terluka. Prameswari segera masuk lalu memeluk suaminya. Damar Meletakkan kepala di bahu sang istri sambil menangis keras. Tidak ada yang mereka lakukan selain berpelukan erat. Berbagi beban berat yang tidak boleh diketahui orang banyak. Istana itu menyimpan terlalu banyak rahasia tentang pengkhianatan selama ratusan tahun.
***
Empat puluh hari setelah kematian Raja Nugraha, Pangeran Damar secara resmi naik tahta. Pengambilan sumpah diadakan di sebuah aula besar yang terletak di bagian dalam istana, oleh seorang ulama. Dilanjutkan dengan penobatan dan pemakaian mahkota baik untuk raja maupun permaisuri baru.
Tamu undangan berasal dari kepala negara negara sahabat dan para pejabat tinggi pemerintahan. Juga rakyat yang mendapat undangan resmi secara acak. Seluruh anggota keluarga kerajaan hadir. Seluruhnya mengenakan pakaian resmi. Prameswari yang kini sah menjabat sebagai permaisuri menggantikan sang ibu mertua sebenarnya tengah resah. Namun berusaha menutupi agar tidak ada orang yang tahu.
Kalau boleh memilih, ia lebih suka saat menjadi rakyat jelata seperti dulu. Tapi tidak ada jalan untuk mundur. Karena suaminya adalah orang yang paling kesepian sekarang. Dan Prameswari sangat mencintainya. Ia juga masih curiga pada beberapa anggota keluarga kerajaan yang kemarin memberontak. Berusaha menjaga kedua putranya dengan hati-hati dan lebih ketat. Sebagai perempuan ia sangat was-was. Takut pada kemungkinan buruk yang akan terjadi. Terutama hari ini. Meski tentara dan polisi berada di sekeliling mereka. Baik itu yang berseragam ataupun menyamar.
Tak terasa acara sudah selesai. Ia menggenggam erat tangan kedua putranya. Mereka akan melakukan foto bersama dengan para pemuka agama juga keluarga inti kerajaan. Foto ini akan segera tersebar ke seluruh penjuru dunia. Ia tidak boleh menunjukkan wajah resah. Terutama bagian mata. Prameswari sudah terlatih untuk menjadi pembohong yang baik. Karena di luar sana para pengamat akan mengulas habis garis wajah juga penampilannya.
Sementara Damar suaminya yang kini sudah resmi menjadi raja, juga melakukan hal yang sama. Mengucapkan terima kasih pada beberapa pejabat pengesahan. Mereka kemudian turun dari podium menuju tempat duduk Ratu Pitaloka. Memberikan salam hormat lalu mencium pipi perempuan yang kini bergelar ibu suri. Diikuti oleh Nararya dan Aditya.
Acara selanjutnya pasangan tersebut segera menuju balkon istana. Karena di halaman depan seluruh rakyat yang sejak tadi menonton melalui layar lebar sudah menunggu. Sorak sorai segera terdengar saat kepala protokol istana mengumumkan bahwa raja baru mereka akan segera tiba. Dua menit kemudian, munculah Raja Damar dan Ratu Prameswari. Mereka melambaikan tangan pada seluruh rakyat. Setelah beberapa menit raja baru tersebut pamit. Kini ia harus mengelilingi jalan utama untuk menyapa rakyat dari dekat. Menaiki sebuah kereta kencana. Kali ini dipilih kereta yang memiliki kaca anti peluru. Perayaan berlangsung hingga beberapa hari ke depan.
***
Prameswari meletakkan koran yang menemaninya saat sarapan pagi. Berita penobatan kemarin menghiasi headline seluruh surat kabar. Raja Damar yang baru saja selesai berpakaian mendekati lalu mencium kening istrinya.
"Ada kabar terbaru?"
"Seperti biasa, koran politik akan membahas tentang kemungkinan arah kebijakan politik kamu. Koran gosip memberitakan tentang pilihan dan warna kebayaku yang terkesan kuno dan mataku yang menyiratkan kesedihan. Katanya beberapa kali juga terlihat kosong saat tertangkap kamera. Mereka pandai sekali mengambil moment lalu menceritakan segala hal buruk dibalik itu."
Raja Damar tertawa kecil. "Mereka menilai dnegan mata. Tidak pernah dengan hatinya. Tidak tahu bahwa beban kita sebenarnya sangat berat kemarin. Anak-anak bagaimana?"
"Sudah berangkat sekolah. Semoga mereka berhasil menjauh dari media. Aku takut kalau keduanya diolok-olok dan tidak bisa menahan diri terutama Aditya. Dia tidak pandai menahan emosi. Apakah kamu tidak ingin mengajarkannya lebih banyak tentang meditasi? Agar bisa mengendalikan emosinya kelak."
"Aku akan mencoba melatihnya sendiri. Tapi waktuku tidak banyak, sebaiknya minta kepala rumah tangga untuk mencarikan seorang guru khusus melakukan itu. Aku juga akan mengingatkan mereka berdua untuk menjaga tata krama di depan umum. Bagaimana dengan Nararya?"
"Dia baik-baik saja. Sudah lebih terlatih mengendalikan diri. Kalau tidak suka sesuatu, hanya diam lalu akan menceritakan padauk saat kami bertemu. Bagaimana dengan kasus percobaan pembunuhan atas kamu kemarin?"
"Pengadilan istana akan memutuskan, aku tidak ikut campur. Hanya saja keluarga mereka kuminta ke luar dari istana. Aku tidak bisa memelihara anak ular di dalam rumah. Suatu saat mereka bisa saja menggigit kita."
"Aku kasihan melihat keluarga mereka. Tentu sulit bertahan di luar sana. apalagi tidak terbiasa bekerja keras. Karena selama ini sebagian dari biaya hidup mereka ditopang oleh istana."
"Itu resiko orang yang memberontak. Kalau mereka berhasil pasti bisa mendapat apa yang kita miliki sekarang. Jangan terlalu terbawa perasaan, nanti kamu bisa sakit."
"Sayang..."
"Ada apa?" tanya Raja Damar sambil tersenyum. Kalau kata itu sudah keluar dari bibir istrinya, pasti ada sesuatu yang sangat mencemaskannya.
"Kamu tidak akan mengambil seorang selir, kan?"
Kini pria itu tertawa. "Satu kamu saja tidak habis. Lagi pula kita sudah memiliki putra mahkota. Tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan."
"Aku akan bertambah tua dan jelek. Di luar sana banyak perempuan muda dan cantik."
"Bagiku kamu yang tercantik. Waktu akan membuktikan semua." ucap Sang Raja sambil mengecup pipi istrinya. Untuk hal ini ia memang jujur. Sejak dulu tidak berniat memiliki istri lebih dari satu. Karena pengalaman hidup yang pahit.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
14621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top