12

Nararya kembali ke dalam ruang pribadinya dengan langkah tegap seperti biasa. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Diiringi beberapa ajudan pribadi yang tidak berani berbicara satu patah kata pun. Hanya keringat yang menetes di dahi menandakan bahwa ia tengah berusaha meredam amarah.

"Aku akan tidur, jangan ganggu sampai besok pagi." Perintahnya sebelum memasuki kamar.

"Baik, Yang Mulia." jawab mereka bersamaan. Sesampai di kamar, putra mahkota segera memasuki kamar mandi lalu membiarkan air mengucur dengan deras membasahi tubuhnya.

Rasa marah terhadap ibunya tak bisa tertahankan. Sementara tugas kerajaan sudah menanti. Kalau menuruti keinginan, maka ia  lebih suka menyepi ke Istana Mandasari ataupun ke pulau Karang Anyar. Tapi itu bukan dia. Seorang putra mahkota sudah terdidik untuk mendahulukan tugas negara dari pada kehidupan pribadi.

Masih terbayang Agni menatapnya dengan mata terluka. Ada rasa sakit yang tidak bisa diurai dengan kata-kata karena luka itu disebabkan olehnya. Sejak kecil, ia sudah berusaha agar wata indah dan bibir merah itu selalu tersenyum. Tapi kini, tidak bisa lagi. Begitu banyak tangan yang ingin melukai hubungan mereka.

Entah sudah berapa jam ia berada di bawah pancuran. Sampai kemudian sebuah bisikan seolah berkata.

"Jangan menyiksa diri, kamu akan baik-baik saja melewati semua."

Ia tahu, itu bukan suara Agni, tetap berasal dari masa lalu yang kerap mengikutinya.

"Jaga ia untukku eyang. Aku akan menunggu waktu terbaik untuk menjemputnya."

***

Nararya melintasi ribuan orang sambil menangkup tangan didada. Hari ini ia dan kedua orang tuanya akan menghadiri pembukaan pekan olahraga negara persemakmuran. Gelanggang olahraga  yang sangat besar itu kini dipadati utusam dari manca negara. Seolah tidak terjadi apa-apa, ia duduk di barisan tepat dibelakang ayahnya. Aditya ada di sebelahnya.

"Kang mas kurang tidur?" bisik sang adik saat mereka sudah duduk sempurna.

"Sedikit." jawabnya singkat. Lalu kembali fokus menatap ke depan dibalik kacamata hitamnya. Di sana beberapa penyanyi papan atas tengah mengumandangkan nyanyian dari berbagai negara. Semua tenggelam dalam kegembiraan. Tidak ada yang tahu perasaannya.

Ia sudah terlatih untuk tetap tenang dihadapan umum. Sejak masih kanak-kanak bahkan. Meski awalnya hanya sekadar menahan pee. Acara demi acara berjalan dengan lancar. Hingga tibalah acara puncak. Saat Raja Damar secara resmi memukul gong. Nararya yang berdiri beberapa langkah dibelakang segera mendapat sorot kamera. Meski tak ada wartawan yang berani bertanya.

Hingga tibalah saat dimana  mereka harus menyalami beberapa utusan atlet. Dengan menjaga sikap, Nararya melepas kacamatanya. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Sampai kemudian permaisuri berhenti di depan seorang gadis yang diketahui bernama Nastusha. Seluruh mata sejak tadi menatap gadis bertubuh tinggi dan sangat cantik itu. bahkan Ratu Prameswari sampai menepuk pipinya dan berkata di hadapan para wartawan.

"Cantik sekali kamu."

Seseorang dibelakang mereka segera menyeletuk.

"Dijadikan calon menantu saja, Yang Mulia."

Ratu Prameswari hanya tertawa sambil menatap kedua putranya ke arah belakang. Nararya menatap langit di kejauhan, sementara Aditya lebih suka tersenyum kaku. Tidak satupun dari mereka menatap perempuan itu. Membuat wajah sang ratu memerah karena malu.

***

Menjalani hari-hari pertama di negeri orang menjadi hal yang menyedihkan bagi Agni. Meski ia bisa berbahasa inggris dengan cukup baik. Tapi tidak  ada seorang pun yang dikenalnya. Sehingga tidak tahu harus melakukan apa, rindu pada kedua orang tuanya menjadi kesedihan setiap malam. Mereka tidak pernah berpisah sebelumnya. Ditambah perasaan kehilangan terhadap Nararya.

Dulu meski mereka berjauhan, ada satu sisi disudut hatinya berkata, Bahwa Nararya baik-baik saja. Mereka masih kerap bertemu saat berpapasan di jalan. Kadang menatap mobil yang digunakan pria itu saja sudah membuatnya bahagia. Tidak perlu berdekatan, cukup mata mereka bertemu.

Kini ia hanya bisa menatap sang pujaan hati dari layar televisi. Itupun sebenarnya sangat jarang. Beruntung kadang ada majalah yang meliput berita tentang kegiatan sang pangeran. Ini bukan negara mereka, sehingga tidak mungkin berita tentangnya muncul setiap hari. Tapi itu sudah bisa mengobati rasa rindu yang dalam.

Lelah dengan kesepian dan kesendirian, setelah menimbang beberapa lama. Agni akhirnya mengambil kursus cake decorating disamping menjalani kuliahnya. Ia memang memiliki uang yang dikirim pihak istana setiap bulan. Tapi tidak mungkin menjadi pengangguran terus menerus. Bagaimana kalau kelak kiriman itu berhenti? Ini negeri orang, dan ia tidak pernah kemari. Tidak ada sanak saudara. Semua karena cinta terlarangnya. Ia harus berhemat kemudian bekerja, agar kelak tidak kelaparan.

Pernah ada sesal dalam diri Agni. Kenapa harus mengalami ini? Bukankah cinta seharusnya membuat orang lain bahagia? Tapi ia justru terpuruk di negeri empat musim agar jauh dari Nararya. Ia rindu pada ibu yang sering nembang dikala malam. Memberikan nasehat untuk hidupnya kelak. Juga pada aroma kopi tanpa gula milik bapak. Kini karena cinta, ia harus melukai hati kedua orangtuanya. Agni menyimpan rasa bersalah yang sangat besar. Seandainya dulu tidak harus mendengarkan kata-kata Nararya. Tapi ia tak bisa begitu saja menyalahkan belahan jiwanya.

Kedua orangtuanya tetap tinggal di sana. Ia menelfon seminggu sekali karena biayanya mahal. Untuk membunuh rasa sepi, beberapa kali Agni mengelilingi tempat tinggal barunya. Mencoba berdamai dengan keadaan sekarang.

Hanya satu yang menenangkan dan membuatnya kuat. Entah kenapa, setiap malam ia merasa kalau Pangeran Nararya menemani. Kadang ia merasakan bagaimana hembusan nafas sang pangeran. Bahkan terdengar bisikan lirih itu memanggilnya. Meski kemudian memutuskan bahwa itu hanya ilusi. Mungkin pangeran sudah melupakannya. Banyak gadis kaya dan ternama yang menginginkan Nararya.

Pernah pada satu malam ia merasa kalau Nararya tengah bersedih membuat tidurnya gelisah. Ia merasa kalau kekasihnya berada dalam masalah. Sampai akhirnya berdoa sampai menjelang pagi. Agar sang pangeran dijauhkan dari bencana.

Entah kenapa kini perasaannya jauh lebih sensitif. Ia bisa merasakan pikiran Nararya tentangnya. Terutama bila ada kesedihan dan kebahagiaan Pangeran Nararya. Ada apa dengannya? Mungkin karena sekarang ia sendirian dan tak punya teman. Atau sekedar keinginan hati, untuk berpikir sesuai dengan keinginannya?

Sore itu, sepulang dari tempat kursus, Agni melintasi sebuah gedung tua. Ia memang terbiasa berjalan kaki. Selain udara kota yang terasa bersih, juga ingin menyaksikan lebih lama gedung-gedung yang berjajar indah. Apalagi sekarang sudah memasuki memasuki musim panas. Ada beberapa anak yang bermain di halaman. Mereka tampak kurus namun terlihat bahagia. Ia menatap dari balik pagar, tersenyum pada mereka. Sampai kemudian seorang perempuan tua bergaun coklat Panjang dan berkerudung senada menghampiri.

"Mari silahkan berkunjung." ucapnya ramah.

"Ini tempat apa?"

"Rumah bagi anak-anak penderita kanker. Di sini mereka menunggu jadwal operasi atau tengah menjalani kemoterapi. Karena kebanyakan dari mereka tidak bisa bersekolah secara normal."

Agni berpikir sejenak. Kemudian memutuskan untuk melangkah masuk. Wajah anak-anak itu menggetarkan hatinya. Perempuan tua tersebut memimpin langkah melewati halaman dan kini mereka berada di sebuah ruangan luas. Beberapa anak sedang melukis, sebagian tengah membaca. Namun ada juga yang hanya duduk di atas kursi roda di tepi jendela.

Gadis itu mendekati mereka satu persatu. Kemudian bergabung ditempat anak-anak yang sedang melukis. Ternyata mereka memiliki banyak kegiatan di sini. Ia senang bisa bergabung dengan mereka. Sebelum pulang, perempuan tua yang kemudian dikenalnya bernama Clementia, menawarinya untuk sering mampir kemari. Dengan segera gadis itu mengangguk, ia senang karena akhirnya bisa mengenal seseorang.

***

Hari-hari Agni tak lagi sepi. Seminggu tiga kali ia akan berkunjung ke gedung tua. Di sana ia mengajarkan sebagian anak-anak perempuan untuk merajut. Ternyata banyak yang tertarik. Termasuk para ibu yang tengah menunggu anak mereka.

Kadang ia juga turut membantu di dapur. Memasak makanan tradisional sebagai makan dan kudapan anak-anak. Tempat ini memiliki beberapa donatur yang kerap datang. Dengan cepat Agni beradaptasi. Bahkan tak lama kemudian ia sudah menerima pin sebagai anggota perkumpulan.

Sampai pada suatu sore, tiga bulan kemudian. Saat tengah mengajari beberapa anak, seseorang memasuki ruangan. Pria asing bertubuh tinggi. Berambut coklat ombak yang panjangnya hampir sepundak. Mata biru itu menatap Agni tak berkedip penuh kekaguman. Agni jengah, sudah lama tidak ada yang menatap seperti itu. Clementia memperkenalkan mereka berdua.

"Agni, kenalkan ini Dokter Darell. Dia adalah dokter spesialis kanker yang selama ini rutin datang kemari. Dan baru saja menyelesaikan pendidikan sub spesialisasinya."

Agni lantas berdiri menyambut uluran tangan sang dokter. Genggaman itu sangat erat. Tatapannya terasa hangat. Gadis itu menganggap semua biasa saja. Namun berbeda dengan sang pria. Darell tak berkedip menatap Agni. Ia bisa merasakan debaran yang tak biasa didalam hatinya.

Gadis Asia itu memukau dan menghentikan waktunya selama beberapa detik. Tubuh yang dibalut kesederhanaan namun terlihat cantik sekaligus menggemaskan. Mata itu indah bening, hitam dan bulat. Dilindungi oleh bulu mata hitam serta alis nan tebal berbentuk bagus. Darell merasa bagai menemukan oase digurun pasir.

Hati kecilnya berbisik, penantian itu sudah berakhir. Dan perempuan di depannya ini yang menghentikan pencariannya. Darell jatuh cinta pada pandangan pertama. Meski Agni tak merasakan apapun.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

19721

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top