11

Sebuah perdebatan kembali terjadi di dalam ruang pribadi Raja Damar.

"Aku tetap tidak suka, bagaimana nanti pendapat rakyat diluar sana. Kuakui Agni cantik, baik dan pintar. Tapi yang Mulia, dia putri penjaga istal. Ya Gusti, apa tidak ada perempuan lain di dalam dan di luar istana yang bisa mengalihkan perhatian Nararya? Kenapa mesti putri penjaga kuda? Dimana letak pikiran waras Nararya?!" Teriak Ratu Prameswari.

"Tenanglah dulu. Kita coba cari jalan keluar yang terbaik. Pangeran Nararya masih muda, meski kuakui ia sudah semakin bijaksana dan dewasa."

"Aku sudah kehabisan akal dalam menghadapinya. Aku harus bertemu diam-diam dengan gadis itu. Memintanya untuk menjauh."

"Bagaimana kamu memintanya menjauh kalau atap rumahnya saja terlihat dari sini?" balas sang raja tajam.

"Aku akan memintanya untuk pergi. Dengan iming-iming mengirimnya belajar ke luar negeri. Semoga kelak di sana ia akan bertemu dengan seseorang yang ia cintai. Aku tidak yakin kalau ia benar-benar menyukai Nararya."

"Jangan gegabah dalam mengambil keputusan, Ratu. Siapa tahu, putra kitalah yang mengejarnya selama ini. Kamu ingat bagaimana ramalan Mpu Gnindra dan ucapan ayah sewaktu ia lahir? Semua sudah ditakdirkan."

"Jadi apa yang harus kulakukan?"

"Tenanglah sejenak. Biarkan semua berjalan dengan sebagaimana mestinya. Jika takdir bukan untuk mereka, akan ada jalan keduanya berpisah."

"Bagaimana bila sebaliknya?"

"Kamu tidak akan bisa menghentikan sesuatu yang bernama takdir, Prameswari."

Prameswari hanya bisa diam. Kali ini ia tidak sejalan dengan Damar. Suaminya begitu mempercayai ramalan para tetua. Ia bukan tidak suka pada sosok gadis itu. Hanya saja ingin agar putranya tidak mengalami hal buruk seperti yang pernah dialami suaminya. Diolok-olok karena memilih perempuan dari kalangan biasa. Itu tidak mudah untuk di jalani. Apalagi dengan latar belakang keluarga Agni.

***

Sore itu, Nararya dipanggil menuju ruang pribadi ibunya. Setelah sekian bulan hal tentang Agni dibiarkan mengendap.

"Ada apa gerangan ibunda memanggil saya?" Tanya Nararya sambil duduk dihadapan ibunya.

"Ibu ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang. Siapa tahu kamu tertarik dan kemudian kalian bisa menikah. Usia kamu sudah cukup untuk membina rumah tangga."

Wajah sang putra tiba-tiba berubah. Jelas ia tak suka dengan kalimat ibunya.

"Aku tidak akan menikah kalau bukan dengannya ibu?"

"Apa yang harus ibu lakukan agar kamu tidak menikahinya? Atau begini saja, ibu punya solusi. Jadikan ia selir. Kamu bisa memilikinya dengan status itu sekarang."

Sayang sang putra malah menatapnya tajam.

"Apa yang sudah saya ucapkan tidak bisa saya tarik kembali. Saya menghormati dan mencintai ibu. Tapi ada cinta dalam bentuk lain sudah memasuki dan tumbuh dalam nadi saya. Kalau ibu tidak mengijinkan, saya akan menurut. Tapi saya melakukan hal yang saya inginkan. Cinta itu tidak bisa dipaksakan ibu. Saya tidak akan menikah jika tidak dengannya.

Satu lagi, ia tidak akan pernah menjadi seorang selir. Karena saya memutuskan tidak memberikan gelar itu padanya. Saya ingin seperti ayah yang hanya memiliki satu orang istri."

"Apakah ini hasil meditasi yang sering kamu lakukan? Seseorang dimasa lalu memintamu untuk menikahinya?

"Ini tentang hati saya, yang tidak bisa melihat ia bersama laki-laki lain. Yang tidak bisa menahan diri setiap kali ada pencari jodoh mendatangi kediaman mereka. Ibu tidak akan pernah tahu apa yang saya rasakan. Karena tidak pernah mengalami."

Sang ibu menatap kecewa pada putranya.

***

Prameswari memanggil Kapten Subrata, untuk mengklarifikasi kalimat Pangeran Nararya yang terdengar aneh semalam. Semua itu mengganggu pikirannya hingga tak bisa tidur. Kepala pengawal putranya kemudian menceritakan banyak hal tentang apa saja yang telah dilakukan sang pangeran.

"Pangeran Nararya pernah mengancam seorang pencari jodoh karena terus-menerus mendekati keluarga Gantharu. Ia juga pernah memerintahkan beberapa pengawal untuk mencelakai seseorang yang diketahui mengejar putri Gantharu itu mati-matian. Bahkan ia adalah orang yang berada dibalik kuliahnya Agni.

Setahu saya beberapa kali ia memperingatkan gadis itu bila dekat dengan seseorang. Meski putri Gantharu masih terlihat ragu pada perasaan Pangeran Nararya. Terlihat ia tidak ingin melewati batasannya. Kalau anda mau, ini bisa menjadi kesempatan untuk menjauhkan mereka. Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus yang mulia. Kelak bisa mencoreng wajah istana."

"Dan saya tidak tahu semua itu, kapten?"

"Saya diberitahu oleh kepala pengawal yang bertugas sebelumnya. Pangeran Nararya meminta ini sangat dirahasiakan."

"Tapi dia hampir membunuh seseorang! Dan itu Demi perempuan anak penjaga kuda?!" teriakan sang ratu menggema diseluruh ruangan.

Prameswari tidak bisa percaya, putranya sudah melakukan hal sejauh itu? Kenapa ia tidak pernah terpikir untuk menyelelidiki lebih jauh? Dibalik sikap tenang putranya, ada keinginan yang tak bisa dilihat orang lain. Baik itu oleh matanya sebagai ibu.

"Apakah ada perintah lain yang Mulia?"

"Tidak ada, saya akan bicara dengan Yang Mulia terlebih dahulu."

Kemudian Subrata pamit setelah membungkukkan tubuhnya.

***

Nararya mengambil posisi melakukan meditasinya. Gelisah dan rasa marah menguasai pikirannya. Hubungan dengan sang bunda memburuk beberapa minggu terakhir. Ia tidak pernah lagi diminta untuk sarapan bersama. Seolah sengaja dijauhkan. Semua karena pembicaraan tentang Agni yang tidak menemui titik terang.

Barusan dalam sebuah acara di depan banyak orang ibunya terlihat jelas menghindari kontak dengannya. Bahkan menjawab pertanyaannya pun hanya sekilas. Membuat mata beberapa orang disekitar mereka melirik penuh rasa ingin tahu.

Kembali pria muda itu menyebut sebuah nama, Agni! Pikirannya berusaha menyentuh perempuan yang baru saja disebut. Ia seperti mendengar suara tangisan dalam diam. Apa yang terjadi pada gadisnya? Apakah tangan-tangan ibunya sudah menyentuh pujaannya?

Ia menyesal karena sudah membuat gadis itu terpuruk. Kedai susu dan yoghurtnya ditutup. Ia tahu semua atas perintah siapa. Mereka tak pernah lagi bertemu. Karena memang Agni tak boleh ke luar rumah. Tahu ada banyak mata-mata yang dikirim ke sana. Ia kecewa atas tindakan ibunya.

Nararya menarik nafas panjang. Kenapa semua sesulit ini bagi gadisnya? Ia bisa menanggung kesukaran apapun, tapi tidak untuk Agni. Belahan jiwanya itu terlalu lembut untuk disakiti secara halus seperti itu. Emosi semakin membara dalam pikiran Nararya.

Ia membenci keputusan keluarganya. Menyesal karena tidak bisa melakukan apa-apa. Kedudukannya belum mencapai posisi itu. Saat ini hanya bisa menunggu dan menatap dari jauh. Tapi kelak, ia akan mengambil Agni dari sana.

Kembali Nararya kesal karena tidak bisa memusatkan pikirannya. Ia gamang, tidak tahu harus melakukan apa.

***

Suasana kamar Raja Damar terlihat tegang.

"Rasanya kali ini kita harus mengalah, Prameswari."

"Kenapa begitu?" balas istrinya tajam.

"Kamu ingat bagaimana ramalan Mpu Ganindra menjelang kelahiran Nararya? Kita tidak bisa melawan takdir, dan juga sumpah yang diucapkan selama ratusan tahun. Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan Agni agar layak mendampingi Nararya.

"Maaf yang mulia, kali ini saya tidak akan mundur. Kalaulah perempuan itu anak seorang guru saja, saya akan maju. Tapi—Ya Gusti—" Tubuh dan suara Prameswari bergetar menahan amarah.

"Tadi malam aku memasuki ruang meditasi yang biasa dimasuki ayah dulu. Dan melihat Nararya di sana. Tubuhnya berkeringat meski hawa begitu dingin. Ia sedang berusaha melawan amarahnya. Dan aku tahu itu karena perseteruan kalian. Ini tidak baik bagi hubungan kalian kedepannya nanti."

"Sulit bagi saya untuk menerima. Nararya mempertaruhkan segalanya termasuk posisinya sekarang."

"Akupun sama kecewanya denganmu. Kita telah mempersiapkannya sejak kecil. Jangan karena masalah ini ia kehilangan kedudukan sebagai putra mahkota. Aditya tidak memiliki kapasitas sebesar Nararya.. Kamu juga harus berhati-hati. Jangan sampai ia menjauh. Kalau mau melakukan sesuatu, usahakan agar sangat halus, sehingga tidak terjadi guncangan pada air yang tenang."

Prameswari hanya diam dan kemudian menangis.

***

"Turun!" perintah Nararya ditengah malam yang gelap. Saat ini lampu di sekitar istana tiba-tiba padam. Beruntung ia mendengar rencana ini tadi sore. Sebuah misi yang sebenarnya sangat rahasia.

Supir yang mengendarai mobil tersebut terpaku. Agni hanya menunduk di dalam mobil.

"Kenapa kamu menolak perintah saya untuk tetap tinggal?"

Kali ini mata itu menatapnya tanpa cahaya. Ada genangan airmata disana menatap Nararya. Seketika sang pangeran terpaku. Kemana mata indah itu pergi?

"Apakah ibunda ratu yang memerintahkan ini?" tanyanya pelan.

Agni hanya terdiam menunduk.

"Apakah aku harus mengubur seluruh mimpi tentangmu Agni?" kini suara itu terdengar semakin pelan.

Terdengar tangisan keras sang gadis. Bahunya bergetar namun tetap berusaha untuk duduk tegak.

"Jalan itu sudah tertutup pangeran."

Nararya terpaku ditempatnya. Untuk pertama kali, ia menyesali takdir sebagai putra mahkota.

"Ijinkan saya pergi, untuk kebaikan kita semua."

"Tidak akan ada kata baik-baik saja untuk kita dengan kepergian kamu Agni."

"Maafkan saya."

"Ini bukan salahmu. Salahkan takdirku."

"Bolehkah aku meminta sesuatu?"

"Ya."

"Jangan pernah membuka hatimu untuk seorang laki-laki. Karena kalau aku itu terjadi, aku akan hancur."

Agni menatap dengan putus asa dari dalam mobil.

"Tapi hati kita telah salah menjatuhkan pilihan, pangeran. Dan tidak ada jalan keluar. Jalani hidup anda dan saya akan menjalani hidup saya sendiri."

"Kamu menghancurkanku, Agni."

Kembali tatapan itu bertemu, dan kali ini Agni menggeleng.

"Hati saya tetap milik anda, pangeran. Meski mungkin kelak tubuh saya milik orang lain."

"Dan apabila hari itu terjadi, aku akan mati."

"Anda tidak boleh berkata seperti itu." Teriak Agni tanpa sadar. Beberapa pengawal segera menoleh ke arah mereka.

"Aku sudah mengatakannya. Dan aku akan memegangnya." Kalimat itu benar-benar diucapkan dengan nada putus asa.

"Saya akan menjaga semua permintaan anda." jawab Agni akhirnya.

"Pergilah, tunggu aku di sana. kelak aku sendiri yang akan menjemputmu." Untuk pertama kali Nararya mengecup kening putih dan halus itu. Meski ia tidak tahu ke mana Agni akan pergi. Yang ia tahu bahwa kelak dunia akan menentangnya.

Tepat saat mobil itu hilang dari tatapan Nararya. Lampu disekitarnya bernyala. Beberapa orang pengawal ternyata menatap mereka dari kegelapan. Sang pangeran melangkah gontai memasuki gerbang samping istana. Tidak ada yang berani mendekat dan menyapanya.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

16721

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top