10

Aditya menatap kedai yang tertutup. Ia sudah mendengar jika pihak istana meminta Agni menutup tempat usahanya. Juga mendengar desas desus tentang kakak sulungnya yang kerap mendatangi rumah gadis itu. Laki-laki muda itu menarik nafas dalam. ia sudah kadung sampai di sini. Bergegas langkahnya menuju sebuah rumah yang terletak tak jauh dari situ.

Agni sendiri yang membuka pintu. Gadis itu segera membungkuk memberi hormat.

"Selamat siang, Pangeran. Ada gerangan apa datang kemari?"

"Sekadar ingin menemui teman kecilku. Apa Paman Gantharu dan Bibi Chandi ada?"

"Bapak dan ibu sedang ke kandang, memerah sapi."

"Bolehkah aku menunggu di teras saja?"

Agni mengangguk lalu masuk ke dalam untuk mengambil minuman. Pria itu segera duduk. Tak lama sosok ramping itu kembali muncul dengan nampan berisi secangkir teh juga makanan kecil. Beberapa tetangga mulai mondar mandir di depan rumah. Membuat Agni semakin tertunduk. Tidak tahu harus bagaimana agar bisa mengusir sang tamu. Tapi ia sama sekali tidak punya kuasa untuk itu.

"Bagaimana kuliahmu?"

"Baik, Pangeran."

"Aku senang mendengar kabar kalau kamu melanjutkan kuliah. Bagaimana kabar paman dan bibi?"

"Mereka sehat."

Aditya menatap gadis di depannya lekat. Ada kesedihan di sana. Namun kini ia tahu batasannya. Karena Nararya tidak akan pernah mengalah untuk yang satu ini. Di istana saja sudah tersiar kabar, kalau kakak sulungnya memperingatkan Paman Aksa tanpa sungkan. Haruskah mereka saling bersaing kali ini?

Aditya tahu, jika kesempatannya semakin sedikit. Satu hal yang tidak ia inginkan adalah kelak air mata menggenang di mata indah itu karena luka yang diberikan oleh Nararya. Istana pasti tidak ramah pada kehadiran seorang Agni, apapun posisinya kelak. Tapi ia juga tidak sanggup mengatakan hal tersebut pada gadis bermata indah yang duduk di hadapannya.

Tak lama, Gantharu dan Chandi datang. Mereka berbincang seperti biasa. Sampai akhirnya Aditya pamit tanpa pernah berani mengatakan niatnya. Agni mengantarkan sampai ke pagar. Aditya hanya sanggup menyimpan senyum indah itu di dalam hatinya.

***

Prameswari menghempaskan tubuh di kursi. Jika tidak ingat akan posisi sebagai ratu, ia ingin melempar koran yang sedang ada dalam genggamannya. Persoalan Nararya belum selesai, sekarang justru Aditya yang kedapatan mengunjungi Gantharu. Ada apa sebenarnya dengan kedua putranya? Apa tidak ada perempuan lain?

"Panggilkan Aditya." perintahnya pada seorang pelayan. Bergegas yang disuruh beranjak dari ruangan. Paham, jika wajah sang ratu sudah seperti itu. Maka perintah harus segera dilaksanakan. Tak lama seorang pengawal mengetuk pintu dan memasuki ruangan.

"Maaf Yang Mulia Ratu, Pangeran Aditya ternyata sedang berkuda menuju hutan bersama Pangeran Nararya."

"Sejak kapan?" teriak perempuan itu terlihat panik.

"Satu jam yang lalu. Mereka menuju hutan sebelah utara."

Prameswari segera mendudukkan tubuhnya di atas kursi jati. Seseorang mendekat, lalu bertanya.

"Apakah anda membutuhkan pijatan Yang Mulia?"

Sang Ratu hanya mampu mengangguk. Ia benar-benar takut. Apalagi bila mengingat perangai Aditya. Meski sebenarnya, Nararyalah yang perlu ditakuti.

***

Tujuan kedua saudara itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari istana. Karena di bagian belakang istana, hanya ada beberapa perkampungan kecil. Dulu, kakek mereka Raja Anugrah merancang tata ruang kota. Dan memutuskan bahwa kota harus dikelilingi hutan agar warga bisa memperoleh udara yang bersih dan sumber air yang jernih. Beliau juga yang membuat aturan agar tidak menebang pohon sembarangan, dan jika ketahuan akan mendapat hukuman berat. Sehingga tidak ada yang berani melanggar aturan.

Selesai menambatkan kuda, keduanya menuju sebuah pohon tumbang.

"Untuk apa kamu menemui Agni?" tanya Nararya tanpa basa basi.

"Kenapa tidak boleh? Dia masih bebas, bukan?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Aku adalah pemiliknya."

"Kang mas jangan memenjarakan dia di dalam istana. Agni tidak akan bahagia. Apalagi jika hanya menjadi seorang selir."

"Siapa yang mengatakan kalau aku akan menjadikan dia seorang selir? Dia akan menjadi ratu."

Aditya menatap kakak tertuanya sambil menggelengkan kepala.

"Mas jangan terlalu percaya diri. Ia tidak mungkin semudah itu untuk masuk ke istana. Begitu banyak aturan yang harus dilanggar."

"Aku yang akan melakukan itu."

"Jangan terlalu keras kepala, Putra Mahkota. Tidak semua bisa kita miliki."

"Tapi aku akan memiliki Agni. Jadi kuminta dari sekarang jauhi dia."

Aditya menatap wajah sang kakak dengan marah. Sehingga keduanya sama sekali tidak mengedipkan mata.

"Aku mundur bukan karena mengalah. Tapi tidak ingin keributan kita mengganggu kesehatan ibu. Tapi ingat satu hal, lebih mudah bagiku untuk melindunginya daripada Kang Mas."

"Aku sudah melindunginya sejak dulu. Jadi jangan terlalu percaya diri."

"Ingat satu hal, jika kelak ia menangis karena kang mas. Maka aku takkan segan untuk merebutnya." Selesai mengucapkan hal tersebut, Aditya segera melangkah cepat menuju kudanya. Meninggalkan Nararya yang terdiam sambil mengepal tangan. Ia tidak mungkin melukai adik kandungnya sendiri.

***

Waktu berlalu cepat. Akhirnya Agni berhasil diwisuda sebagai lulusan terbaik. Pagi itu, ia berangkat ke kampus bersama kedua orang tuanya. Wajah tua Gantharu terlihat cerah. Ia benar-benar bangga atas keberhasilan sang putri tunggal. Selain cantik juga terkenal sebagai mahasiswa yang pintar. Mengenakan kebaya berwarna pink dan kain batik coklat tua. Dengan percaya diri Agni tampil ke depan. Banyak yang mengucapkan selamat. Lulus dengan nilai sempurna, membuat Agni segera ditawari untuk bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi.

Gadis itu segera bersiap untuk bekerja. Sehari sebelumnya, bersama sang ibu ia berbelanja ke pasar terdekat. Membeli beberapa stel pakaian untuk keperluan besok. Semalaman Agni tak bisa tidur. Membayangkan kalau bulan depan ia sudah bisa menerima gaji untuk membantu orang tuanya.

Pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan bersiap-siap. Menatap tubuhnya dicermin. Setelah merasa cukup rapi, gadis itu segera ke luar untuk sarapan. Baru kemudian berangkat. Sesampai di kantor, ia menunggu di lobby sambil menyerahkan surat panggilan yang diterima minggu lalu. Sampai kemudian seseorang langsung memanggilnya untuk masuk ke ruang HRD.

"Selamat pagi, Agni. Silahkan duduk." Sapa seseorang dengan penuh hormat dan ramah.

"Selamat pagi, Pak."

Pria tua itu menatapnya dengan sedih, membuat Agni bisa merasakan apa yang akan terjadi.

"Maaf, kami tidak bisa menerima kamu bekerja di sini atas perintah langsung Pangeran Nararya."

Mata Agni segera berkaca. Ia tidak tahu kalau akhirnya laki-laki yang dicintainya itu justru menghambat langkahnya. Tak lama berada di sana ia segera pulang dengan kepala tertunduk. Ayah dan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai rakyat biasa mereka harus menerima kenyataan, bahwa Pangeran tidak pernah bermain-main dengan kalimatnya.

***

Agni menyusuri jalan menuju tepi sungai. Ia ingin menenangkan diri. Kecewa dan malu adalah hal utama yang ada dalam perasaannya sekarang. Apalagi tadi beberapa tetangga melihat kepulangannya tanpa sempat bekerja. Padahal kemarin, mereka baru saja memuji betapa beruntungnya dia. Lalu hari ini ia harus kembali menundukkan kepala.

Sekali lagi Agni harus menangis. Beruntung disepanjang perjalanan tidak berpapasan dengan siapapun. Ini bukan waktunya orang pergi ke sungai untuk mencuci. Sesampai di sana ia duduk termenung di atas sebuah batu. Tak menyadari kalau ada seorang pria yang menatap sejak tadi. Setelah memperhatikan sekitar, sosok itu mendekat.

"Sedang apa Agni?"

Gadis itu terkejut melihat kehadiran Pangeran Aditya.

"Duduk saja, pangeran." balasnya sambil tertunduk.

Aditya kemudian duduk di batu yang berbeda, namun kini mereka berhadapan. Pria itu tahu yang tengah terjadi, sehingga tidak ingin bertanya apapun. Ia takut membuat Agni lebih terluka.

"Ini bukan waktunya para gadis mencuci. Lagi pula di rumahmu sudah ada sumur. Apakah kamu merindukan tempat ini?"

"Ya, dulu waktu kecil. Saya sering mencuci bersama ibu kemari. Terutama saat musim kemarau."

"Sejak kecil aku juga sering bermain kemari, meski sendirian dan mencuri waktu dari kejaran para pengawal. Karena tidak ada anak di kampung belakang istana yang berani bermain bersamaku."

"Ya, pangeran berasal dari kalangan yang berbeda."

"Tempatku berasal kadang membuat semuanya bertambah sulit Agni. Apa yang kuinginkan kadang tidak bisa diraih. Meski hanya sesuatu yang sederhana."

"Memangnya pangeran ingin melakukan apa?"

Aditya tertawa kecil sebelum menjawab. Ia menatap puncak gunung di kejauhan. "Aku ingin menjadi seorang pelukis. Memindahkan keindahan alam ke dalam sebuah kanvas. Agar kelak semua orang bisa menikmati meski tidak berada di sini. Aku juga ingin bisa berteman dengan banyak orang. Tanpa ada yang memandang statusku. Tapi semua terasa sulit."

"Banyak orang yang justru ingin menjadi seperti anda, Pangeran."

"Mereka tidak tahu, kalau tembok istana mengurung pikiranku. Aku ingin bebas. Kalau kamu? Apa yang kamu inginkan?"

"Saya ingin bekerja dan punya penghasilan sendiri." Agni berhenti sampai disitu. Lama Aditya menunggu, namun tak ada kalimat selanjutnya.

"Lalu?" tanyanya penasaran.

"Banyak hal yang kita inginkan justru tidak bisa menjadi milik kita."

Pria itu menatapnya dengan mata terluka. "Kamu sudah berbicara dengan dia?"

Agni menatap terkejut. Apakah pangeran Aditya tahu?

"Belum, kami belum bertemu. Dan saya tidak tahu apa alasannya." Jawabnya pada akhirnya.

"Kamu mau aku bertanya?"

"Jangan, nanti beliau marah."

"Ya, dia memang pemarah. Tapi tidak seharusnya melakukan ini. Karena itu sama saja dengan mengambil hak kamu secara paksa."

"Tidak apa-apa, nanti saya akan membantu ayah."

"Mestinya ia berpikir tentang kebahagiaan kamu. Bukan hanya kesenangannya sendiri."

"Sudahlah, Pangeran."

"Jangan terlalu pasrah pada keadaan, Agni. Kamu harus memperjuangkan keinginanmu. Kalaupun dia melarang, tanyakanlah alasan yang paling masuk akal. Seorang perempuan berhak menentukan kehidupannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menentukan kebahagiaanmu selain dirimu sendiri." ucap Aditya tajam sambil turun dari batu dan melangkah pergi. Membiarkan Agni yang terpaku tanpa tahu harus berkata apa.  

***

Happy reading

Maaf untuk typo

13721

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top