20 - Casa de Nawasena
Saat makan siang tadi di salah satu restoran Sunda tak jauh dari Aeon Deltamas, Tara memberanikan diri berbicara kepada Abi mengenai semua kecemasannya atas semua hal dadakan yang Abi baru beritahukan padanya beberapa menit lalu. Tara menjelaskan jika dia memerlukan persiapan yang tak sebentar—fisik dan mental—dan Abi berulang kali meminta maaf atas tindakan spontannya. Meski pun pada akhirnya, Tara harus menghadapi semua dan menyiapkan diri sebaik mungkin untuk bertemu kedua orangtua Abi dalam hitungan jam.
Setelah obrolan itu, Abi menemani Tara mencari pakaian yang menurut Tara cukup pantas untuk menghadiri acara makan malam ulangtahun Ayah Abi malam ini. Keduanya melangkah berdampingan memasuki salah satu toko pakaian, disambut ramah oleh sang pramuniaga.
Tak jauh berbeda dengan gadis-gadis lain, dalam waktu cepat, Tara sudah menghilang dari pandangan Abi ketika perhatian pemuda itu teralihkan ke pakaian-pakaian wanita yang berjejer dan terlihat sangat beragam. Pemuda itu berkeliling, mencari keberadaan gadis itu selama lima menit hingga akhirnya, Tara menghampiri Abi sambil membawa pakaian yang dipilihnya. Setidaknya, sepertinya hanya ada dua opsi yang berhasil Tara temukan. Keduanya adalah setelah, yang satu bawahan berupa celana bahan panjang dan satunya adalah rok panjang. Sama-sama berwarna hitam.
"Menurut kamu bagusan celana atau rok?" Tara menunjukan pilihannya itu kepada Abi.
Abi melipat tangan di depan dada sebelum berkata, "Gak ada opsi dress?"
Tara diam sejenak, berpikir sebelum menjawab, "Bakalan too much gak?"
Abi menggelengkan kepala. "Gak ada kata too much buat tampil mengesankan, Gistara."
Abi masih menangkap keraguan di mata besar Tara akan opsi yang ditawarkan. Diraihnya tangan gadis itu, menghampiri pramuniaga yang bertugas sambil berkata, "Mbak, ada dress terbaik di toko ini yang kira-kira cocok buat ketemu calon mertua gak?"
Tara tercengang mendengar pertanyaan yang Abi ucapkan kepada sang pramuniaga. Si pramuniaga tersenyum ramah sebelum berkata, "Untuk Mbaknya ya, Mas? Mohon ditunggu, ya. Kami ada keluaran terbaru yang sangat cocok buat Mbaknya."
Pramuniaga itu melangkah pergi entah ke mana, meninggalkan Tara berdua kembali dengan Abi, masih sambil menenteng pilihannya tadi. Abi melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Tara, mengambil pakaian yang sebelumnya Tata bawa dan meletakan asal.
"Kamu gak keberatan pakai dress, kan?"
Tara menggeleng cepat. "Enggak, sih. Aku suka pakai dress. Suka banget." Sesaat kemudian, gadis itu menundukkan kepala sebelum lanjut berkata, "Tapi emang cocok, ya, kalau aku pakai dress? Aku gak pernah percaya diri kalau pakai dress. Berasa gak pantes, kebanting sama dressnya."
Satu alis Abi terangkat. "Waw. Ini tuh kamu merendah untuk meninggi atau gimana? Kamu? Kebanting sama dress? Gak cocok pakai dress? Sumpah, kamu punya pikiran begitu?"
"Ya, emang?"
Obrolan mereka terhenti saat sang pramuniaga datang membawakan dress panjang berwarna putih gading, menunjukannya kepada Abi dan Tara. Tara menatap dress itu dengan penuh keraguan, "Kayaknya itu too much—,"
"Boleh, Mbak. Saya ambil yang itu dan mau langsung dipakai. Tolong dibantu cari ukuran dan stylingnya, ya, Mbak," Abi berujar begitu saja, menarik lengan Tara dan mendorongnya pelan menuju ke si pramuniaga.
Tara mendengus dan hendak kembali mengajukan protes, namun Abi menggeleng santai dan berkata, "Langsung pakai aja, Gee. Cantik pasti kamu. Kita gak punya waktu banyak, belum cari kado buat Ayah."
Akhirnya, Tara pasrah dan mengikuti si pramuniaga yang mengajaknya ke ruang ganti. Abi menatap kanan kiri, mencari kursi untuk duduk menunggu sambil membuka ponsel dan mencari-cari ide hadiah untuk sang Ayah. Selang beberapa menit, derap kaki terdengar dan membuat Abi mengalihkan pandangan dari ponsel.
Pemuda itu diam, membeku dengan tatapan yang tak bisa terlepaskan dari sosok gadis cantik di hadapannya, mengenakan dress pilihannya yang terlihat sangat anggun dan seperti diciptakan untuk dikenakan oleh gadis itu. Abi menahan napas sebelum bangkit berdiri, masih dengan mata yang lekat menatap Tara, sementara si gadis tampak malu-malu mengenakan dress itu.
"Kamu serius, dress ini gak too much?" Suara Tara mengembalikan kesadaran Abi yang sempat hilang larut pada pesona gadis itu.
Abi menggeleng cepat, kemudian beralih kepada pramuniaga yang sedari tadi melayani mereka. "Mbak, kami ambil yang ini, ya? Langsung dipakai."
"Baik, Mas. Boleh langsung melakukan pembayaran ke kasir."
Abi mendekat ke Tara dan meraih pergelangan tangan gadis itu lagi. "Kalau sampai aku dengar kamu gak percaya diri dengan fisik kamu sendiri lagi, aku akan teriak ke banyak orang dan minta validasi mereka kalau kamu itu cantik banget."
Pipi Tara memerah dan belum sempat dia menjawab, Abi sudah menariknya menuju ke kasir. Perdebatan lain kembali terjadi, namun tidak bertahan lama karena Tara sudah kalah oleh Abi yang mengeluarkan kartu debitnya untuk membayar dress yang Tara kenakan hari ini.
"Aku transfer nanti, ya? Kamu jangan lupa kirim nomor rekening kamu." Tara terus berujar, sementara Abi hanya mengabaikan dan menggandeng gadis itu ke luar dari toko pakaian.
Langkah Abi terhenti, begitu pun langkah Tara, di hadapan sebuah cermin besar yang ada di tiang penyangga mal. Abi menatap pantulan dirinya dan Tara di cermin itu, masa bodo dengan orang-orang yang lewat di belakang mereka. Tara sudah mulai gugup sendiri, "Ngapain berhenti di sini, deh, Bi. Ayo lanjut. Kita cari kado buat Ayah kamu."
"Kamu lihat cermin deh, Gee."
Tara menahan napas dan menurut, menatap pantulan bayangannya di sana, dengan tangan yang digandeng seorang pemuda tampan bertubuh tinggi dan mengenakan jaket hoodie abu-abu itu. Ah, dia malah fokus memperhatikan Abi ketika dirinya pun terlihat sangat mencolok hari ini, cantik dengan dress sederhana yang cocok dengan warna kulitnya, membuatnya terlihat seperti wanita anggun nan berkelas.
"Dressnya...cantik, ya?"
Abi mengangguk setuju. "Orang yang pakai dress itu yang buat dressnya kelihatan cantik."
Sesaat kemudian, pemuda itu mengerucutkan bibir, melepaskan pegangan tangannya dan melipat tangan di depan dada, "Sekarang, aku yang kelihatan kayak supir dan kamu yang majikannya."
Tara memutar bola matanya, memukul lengan Abi pelan. "Mana ada supir yang ganteng kayak kamu."
Abi diam dan Tara pun ikut diam, seakan menyesali apa yang baru saja diucapkan. "Kamu ngomong apa?"
Tara buru-buru menggeleng, melangkah melewati Abi dan menjauhi cermin itu begitu saja. Abi terkekeh dan menyusul Tara sambil menggoda bertanya, "Kamu ngomong apa, sih? Aku gak dengar loh."
Mungkin keduanya tak sadar jika beberapa pengunjung mal sempat menoleh dan mengamini seberapa cocoknya gadis cantik dan pria tampan itu.
🍀
Pukul lima sore, mobil Abi tiba di tempat dia menjemput sang Ayah. Tara sudah gugup sejak di dalam mobil, bahkan gugup pula memikirkan apakah Ayah Abi juga akan menyukai hadiah yang dipilihkan olehnya tadi—Tara membantu Abi memilihkan tongkat golf karena sang Ayah akhir-akhir ini memang senang bermain golf.
"Kamu gak salah di sini jemputnya?" Tara bertanya, mengernyitkan dahi begitu menyadari bahwa saat ini mereka ada di sebuah pemakaman umum.
Abi menggeleng dan tersenyum lebar. "Enggak, emang di sini. Ayo, turun."
Tara ke luar dari mobil dengan wajah bingung dan disambut oleh uluran tangan Abi. Entah sudah berapa kali dalam satu hari ini, tapi lama-lama Tara terbiasa oleh genggaman tangan Abi yang menuntunnya melewati jalan setapak berbatu dengan kanan-kiri pemakaman, hingga nampaklah seorang pria paruh baya yang duduk dengan satu tangan merangkul kepala makam.
"Tunggu sebentar, ya. Aku ke Ayah dulu." Genggaman tangan Abi terlepas dan Tara bertahan di tempat, ketika Abi melangkah lebih jauh menghampiri pria paruh baya tersebut.
Abi mengucapkan sesuatu kepada si pria paruh baya yang Tara duga adalah sang Ayah. Mereka memiliki struktur wajah yang sama, Ayah Abi terlihat sama tampan dengan Abi untuk usia paruh baya sepertinya dan tatkala mata Tara bertemu dengan mata pria paruh baya itu, ada kilat sesaat sebelum senyuman muncul di bibirnya. Tara balas tersenyum dan sedikit menunduk untuk menunjukan sikap hormatnya.
Tak lama, Abi dan sang Ayah melangkah mendekati Tara, hingga tiba di hadapan Tara yang gugup bukan main.
"Halo, Gistara. Apa kabar? Maaf, ya, kita jadi bertemu di tempat seperti ini." Ayah Abi mengulurkan tangan yang sontak disambut oleh Tara dengan lembut.
"Halo, salam kenal, Om. Kabar baik dan semoga Om juga dalam kondisi baik."
"Ayah, dong. Masa panggil Om?"
Tara tertawa canggung. "Ah, iya, Ayah. Selamat ulangtahun juga, Ayah."
"Terima kasih banyak, Gistara. Terima kasih, ya, sudah mau jauh-jauh jemput Ayah ke sini."
Ayah Abi tersenyum dan mengangguk, melepaskan jabatan tangannya sambil berkata, "Ayo, balik ke Jakarta. Bunda bisa ngamuk-ngamuk kalau kita telat saat dia udah siapin semuanya dari pagi." Ayah menepuk pelan bahu Abi sebelum melangkah terlebih dahulu melewati Abi dan Tara menuju ke mobil.
Tara masih berdiri gugup dan Abi kembali mengambil alih tangannya. "Hei, gak apa-apa, loh. Ayah emang begitu. Gak banyak omong, tapi baik, kok. Gak usah takut awkward."
Tara mengangguk, sedikit tenang oleh ucapan Abi. Gadis itu sempat menoleh sekilas, menatap ke makam tempat Ayah Abi duduk dan dipeluki batu nisannya tersebut. Tara baru hendak menanyakan, makam siapa yang dikunjungi oleh Ayah Abi itu, namun Abi sudah menuntunnya menuruni jalan setapak kembali menuju ke mobil.
Abi benar. Perjalanan kembali ke Jakarta memang cukup diisi oleh musik The Beatles, request dari yang sedang berulangtahun. Ayah Abi sempat memberikan beberapa pertanyaan kepada Tara dan Tara mampu menjawab dengan baik sebelum kecanggungan kembali menghiasi. Ayah Abi pun mengaku jika dia tidak terlalu pandai dalam memulai obrolan dan meminta Tara untuk tidak canggung kepadanya, untung saja Abi cukup cerdas untuk memecah keheningan. Tara sesekali menimpali saat sang anak dan ayahnya itu membahas perihal politik Indonesia.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, mobil Abi akhirnya terhenti di depan gerbang tinggi sebuah rumah besar dengan halaman luas yang berada di dalam kompleks yang Tara ketahui dikembangkan oleh pengembang ternama Indonesia. Abi turun dari mobil, membuka pintu gerbang sebelum memasukan mobil ke garasi yang juga cukup luas, ada dua mobil lain yang terparkir. Sepertinya, bisa tiga hingga empat mobil besar masuk ke dalam garasi. Namun, di rumah sebesar ini, Tara tidak melihat ada asisten rumah tangga.
Abi bergegas ke luar mobil lagi, membukakan pintu mobil untuk sang Ayah sebelum membukakan untuk Tara sambil berkata penuh semangat, "Selamat datang di Casa de Nawasena."
Ayah masuk ke dalam rumah terlebih dahulu, melalui satu pintu yang berada di dekat garasi dan Abi mengajak Tara masuk melalui pintu tersebut juga, mengikuti Ayah dari belakang. Pintu baru terbuka sebagian saat suara wanita dari dalam sana menyambut dengan ceria.
"Selamat ulangtahun, Ayah!"
Pintu terbuka lebar dan pelukan hangat didapati oleh Ayah, sementara Abi dan Tara di belakang Ayah hanya menjadi penonton keromantisan pasangan paruh baya tersebut.
Selesai berpelukan dan saling menumpahkan afirmasi positif ke satu sama lain, perhatian sang wanita beralih ke Tara yang berdiri di samping Abi. Mata mereka bertemu dan dilewatinya Ayah, diraihnya tangan bebas Tara sambil berkata ramah, "Ah, ini pasti Gistara yang Abi ceritakan terus itu, ya? Ayo masuk, Tara! Ya Tuhan, cantik banget kamu. Bunda masak banyak makanan dan kata Abi, kamu pintar ngereview makanan. Nanti kasih review masakan Bunda, ya."
Tara sempat menatap Abi dan Abi hanya mengangguk tersenyum tipis, seakan mempersilakan agar Tara mengikuti sang Bunda yang menggandeng tangannya memasuki kediaman Nawasena itu.
Keluarga Nawasena adalah bentuk keluarga idaman harmonis yang selalu Tara harapkan dimiliki olehnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top