17 - Merah
Hidup ini indah, kata mereka yang sedang dicinta dan mencinta—tidak spesifik juga, seperti itu. Setidaknya, hidup seorang Gistara Asha Nameera sedikit terasa lebih indah akhir-akhir ini. Dirasakan pula oleh teman-teman sekitar—maksudnya, tentu saja teman-teman kantornya alias Aldo dan Ayu.
"Tara, siapa yang biasa mengikuti rapat proyek Juanda? Hari ini ada undangan presentasi final desain arsitek dari—,"
"Citratama, Pak. Biasanya mbak Tara langsung yang ikut, dari awal malahan."
Tara memejamkan mata sebelum menoleh tajam ke Aldo yang menjawab cepat pertanyaan Abdul, tanpa menunggu atasannya itu selesai bicara. Mendapati tarapan tajam Tara, Aldo hanya nyengir sambil mengedipkan satu mata.
"After lunch, ya, Tar? Kamu ikut saya menghadiri presentasi itu. Sebelumnya, kamu udah lihat desain yang dikirimkan via email, kan?"
Tara mengangguk cepat. "Sudah, Pak. Sudah sesuai dengan sedikit tambahan dari Divisi kita juga. Sisanya sudah diperiksa oleh usernya, Divisi Perencana."
Abdul mengangguk sebelum menghela napas. "Untuk rapat besok dengan calon mitra, kamu sudah siapkan bahannya juga, Tara? Saya mau dibuatkan paparan singkat tentang Ruko dan Rukan di Cikarang."
"Sedang diproses oleh Aldo, Pak. Jika sudah selesai dan final, saya kirimkan melalui email."
"Ayu, tolong siapkan juga memo internal permintaan akomodasi untuk peninjauan ke Cikarang. Saya, Tara, Jaka dan Mira. Aldo, kamu ikut dan bantu untuk setir mobil gak apa-apa, kan?" Abdul bertanya, beralih dari Ayu kepada Aldo yang mengangguk.
"Siap, Pak."
Abdul kembali menghela napas. "Sepertinya lumayan panjang perjalanan. Coba aku ajukan ruang rapat dan penginapan untuk semalam juga, Yu. Ada dua mitra yang harus ditemui, di hari berbeda."
Tara mengerjap mendengar ucapan Abdul. "Kita menginap, Pak? Besok, kan, Jumat. Apa gak baiknya tetap pulang aja supaya bisa kumpul dengan keluarga?"
Abdul menggeleng. "Saya maunya juga begitu, Tar. Tapi calon mitra ini berbeda hari di sana dan Direksi minta Senin sudah harus ada laporannya. Jadi, saya mohon pengertian kalian yang masuk surat tugas untuk melaksanakan tugas sebagaimana mestinya." Melihat wajah Tara yang melemas mendengar ucapan itu, Abdul mengernyitkan dahi, "Tumben kamu gak semangat lembur? Biasanya kamu yang paling mau lembur."
"Kondisinya, kan, udah beda, Pak. Kalau lembur sekarang, ya gak bisa ketemu penyemangat hidupnya." Aldo kembali menyindir dan membuat Tara melotot, sementara Ayu hanya tertawa kecil.
"Mbak Tara udah punya pacar, kah? Akhirnya! Alhamdulillah." Desi yang semula diam, tiba-tiba berujar penuh semangat dengan nada polosnya.
Abdul terperangah, melangkah mendekati meja Tara yang sudah jengkel setengah mati karena Aldo. "Benar, Tar? Sudah punya pacar kamu? Sudah merencanakan menikah juga?"
Tara menejamkan mata sebelum menggeleng cepat. "Belum, Pak. Jangan dengar Aldo, musyrik dengar omongannya."
"Belum apa? Belum punya pacar atau belum merencanakan menikah?"
Seisi ruangan tertawa puas menggoda Tara, membuat wajah Tara memerah menahan malu.
🍀
"Sekian presentasi dari kami, apabila ada pertanyaan, kami persilakan."
Sialan.
Tara mengumpat dalam hati karena menyadari kebodohan dirinya saat ini. Sepuluh menit panjang, hasil akhir desain arsitektur salah satu gedung milik kantornya di bilangan Juanda, Jakarta Pusat dipaparkan pada layar tujuh puluh lima inch di ruang rapat kantornya, di hadapan Direksi dan beberapa manager, selama sepuluh menit panjang pula, gadis bermata besar itu hanya fokus kepada sosok pria yang memaparkan hasil akhir desain arsitektur tersebut.
Abiseva Putra Nawasena, pria berusia tiga puluh tahun dengan tinggi di atas rata-rata pria di kantor ini, mengenakan kaus hitam yang dilapisi jas abu-abu gelap senada dengan rambut dan alis tebalnya dan sangat kontras dengan kulit putih bersihnya
Rasanya baru semalam Tara menghabiskan waktu bersama Abi, dengan jantung berdegup cepat karena perlakuan manis pemuda yang menyiapkan makan malam untuknya, siang ini jantungnya kembali berdegup cepat karena terpesona oleh kemampuan public speaking dan tentunya penampilan semi formal pemuda yang memang sulit dielak ketampanannya.
"Mas Putra, terima kasih atas presentasinya. Sebelumnya, saya sudah melihat presentasi yang dikirimkan melalui email dan semua pertanyaan saya, terjawab oleh penjelasan Mas Putra. Hanya saja, tolong untuk dipastikan untuk desain ini dapat digunakan secara jelas dan pasti di lapangan nantinya." Septo Raharjo, Direktur Utama tempat Tara bekerja yang berbicara, terlihat kagum dengan presentasi dari Citrarama, dia menoleh ke Direksi di samping kiri dan kanannya untuk mendapat persetujuan, "Bagaimana Direksi lain? Ada yang mau ditanyakan atau ditambahkan?"
"Catatan saya cuma satu mas, untuk landscape apa memungkinkan untuk ditambah?"
Abi tersenyum tipis. "Sangat memungkinkan, Pak, apabila diizinkan untuk ada penambahan biaya di nilai pekerjaan yang kami lakukan."
Para Direksi tertawa.
"Ya, sudah. Tolong ditambah landscapenya yang lebih rinci. Pak Robi, tolong urus amandemen penambahan biayanya. Sepertinya, melihat hasil kerjanya sudah bagus, gak perlu dipresentasikan lagi hasil landscapeny ke tingkat Direksi, cukup di tingkat Manajer saja."
Manajer Perencanaan bernama Robi yang duduk di samping Tara mengangguk cepat. "Siap, Pak."
Sang Direktur Utama tersenyum puas, menyandarkan punggungnya pada kursi singgasananya. "Mas Putra ini anaknya teman saya sewaktu SMA, Bagito Nawasena. Bapak sehat, Mas."
Tara mengerjapkan mata, cukup terkejut dengan fakta ini, dia beralih menatap Abi yang menganggukan kepala. "Alhamdulillah sehat, Pak."
"Salam untuk Bapak, ya. Nanti saya WA mau ajak mancing."
"Siap, Pak."
"Baiklah, karena sudah selesai presentasinya dan tidak ada pertanyaan, saya akhiri pertemuan kita hari ini, ya. Mas Putra, tolong dibantu kawal untuk pembangunannya nanti." Sang Direktur Utama beranjak berdiri, bersalaman dengan tim Citratama sebelum melangkah meninggalkan ruang rapat diikuti Direksi yang lain.
Para manajer dan peserta rapat lain pun melakukan hal yang sama, hingga Tara menjadi yang terakhir untuk ke luar ruang rapat. Tara menyapa satu per satu tim Citratama yang sedang merapikan barang-barang yang mereka gunakan, menyalami mereka hingga dia berhenti di hadapan Abi yang tersenyum manis kepadanya.
"Keren presentasinya, Mas Putra." Puji Tara, tulus.
"Terima kasih, Mbak Tara."
Tara mau tak mau balas tersenyum ragu. "Permisi, ya."
Gadis itu hendak melangkah pergi sedikit menundukkan kepala melewati Abi, namun pemuda itu tanpa ragu menahan lengan Tara dan membuat gadis itu mengurungkan langkahnya.
"Belum makan siang, boleh kasih tahu di mana tempat makan di gedung ini gak?"
Tara mengerjap dan perlahan, Abi melepaskan tangannya dari lengan Tara. Jantung Tara masih berdebar tak karuan dan rasanya, gadis itu ingin berteriak saat ini entah karena apa.
"Ada di basement. Ke luar lift, ke arah kiri. Langsung kelihatan kantinnya."
"Boleh antar gak? Takut nyasar." Abi tersenyum menampilkan deretan gigi-gigi putih bersihnya.
Padahal, Tara tahu dan ingat sendiri dia punya banyak pekerjaan menanti setelah presentasi Citratama selesai, tapi hati dan raganya tidak bisa untuk menolak permintaan dari Abiseva Putra Nawasena.
"Oke. Ayo."
Tara melangkah terlebih dahulu, disusul oleh Abi yang melangkah gagah setelah meraih cepat clutch bag hitamnya dengan satu tangan dan satu tangan lainnya dimasukan ke dalam saku celananya.
Citratama tercengang dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka tadi dan fakta bahwa sang Direktur Utama baru saja melupakan keberadaan mereka.
Beberapa pegawai berpapasan dengan Tara dan Abi yang melangkah menuju ke elevator, beberapa tampak jelas terlihat terkejut dan ingin tahu lebih jauh tentang apa yang terjadi, namun untungnya pintu elevator terbuka cepat menghalangi pegawai-pegawai lain yang mungkin akan Tara temui dan hadapi.
"Gugup, ya?"
Tara mengerjap, menoleh ke Abi yang kini menatapnya dengan wajah tampan itu. Tara menggeleng. "Gugup kenapa?"
Pintu elevator terbuka, Tara melangkah terlebih dahulu dan Abi mencoba untuk menyamakan langkah dengan gadis itu. "Kayaknya kamu takut banget kelihatan teman kantor kamu pas sama aku? Gak boleh, kah, kita punya hubungan dekat di luar pekerjaan?"
Langkah Tara terhenti dan Abi pun ikut menghentikan langkahnya. Mereka berhadapan, entah di depan mobil siapa.
"Enggak gitu, sih. Cuma apa, ya? Susah dijelasin."
Tangan Abi terlipat di depan dada. "Ya, kenapa? Kenapa susah dijelasin? Aku biasa aja ngajak kamu ngobrol di depan timku. Tapi kamu kayak gak mau kelihatan dekat sama aku di depan orang-orang kantor kamu."
Tara tak pernah sebingung dan sefrustasi ini untuk menjawab sebuah pertanyaan, hingga suara klakson mobil yang hendak lewat membuat Tara dan Abi mau tak mau sedikit menyingkir. Mobil itu hendak melewati Tara dan Abi, namun saat melewati Tara dan Abi langkahnya melambat dan Tara menahan malu setengah mati mendengar suara yang sangat dia kenali dari dalam mobil tersebut.
"Duh, kalau pacaran jangan di basement, dong, Tar!"
Mobil itu melaju cepat setelahnya dan Tara membeku di tempat, benar-benar menahan malu untuk kedua kali di hari ini, karena perkataan orang yang sama.
Kali ini, tambah merah karena dia dapat mendengar jelas tawa Abi yang berdiri di sampingnya dan melihat jelas wajah memerah Tara.
"Udah gak usah dijawab, aku paham. Ayo, temani makan. Teman-teman kantor kamu yang lain gak mungkin ke kantin jam segini, kan?"
Abi meraih pergelangan tangan Tara, menggandengnya menuju kantin yang memang terlihat jelas dan sepi pengunjung. Tara tak tahu harus bereaksi seperti apa lagi melihat tangannya yang digandeng Abi.
🍀
Hello how are you guys?
Maaf ya telat post. Lagi banyak masalah hidup hahaha doakeun semoga segala sesuatu dilancarkan dan dijauhkan dari hal-hal negatif. Aamiin yaa Rabb
Semoga suka yang satu ini yaa
Btw, aku kayak ada ide baru, mau jajal ngetik tapi takut yang ini jadi gak fokus haha
Thank you untuk yang berkenan baca yaa! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top