14 - Panggilan
Mungkin semua orang akan membelalakan mata jika Gistara Asha Nameera mengaku bahwa selama lebih dari dua puluh delapan tahun hidup, gadis itu belum pernah merasakan yang dinamakan berpacaran. Dekat dengan pria, tentu pernah, tapi tidak ada yang berakhir menjadi pacar Tara. Beberapa pernah hampir—pria itu mengakui punya perasaan kepada Tara dan meminta Tara menjadi pacarnya, tapi Tara menolak cepat dengan alasan sederhana walaupun sangat rumit. Tara tidak pernah percaya diri akan mempunyai pria yang mau menerima dan diterima di keluarganya.
Memang rumit perasaan kalut Tara untuk menerima kehadiran orang baru di hidupnya. Perkataan orang-orang sekitarnya juga tak kalah menyeramkan, bahkan Tara pernah ada di posisi ya, sudah, jika tidak menikah pun tidak apa-apa. Dia hanya mau hidup tenang dan damai, tanpa terlalu banyak yang perlu dipikirkan.
"Mbak Tara, ditunggu di ruang rapat sama Pak Abdul. Diminta ikut bahas kerjasama retail di Blok A."
Tara mengangguk sebelum beranjak dari kursinya, meraih buku catatan dan meraih ponsel yang tiba-tiba menampilkan sebuah notifikasi. Pesan masuk, gambar dan juga keterangann yang membuat Tara tersenyum seketika.
Mendarat dengan aman sentosa di Balikpapan.
Tara berhenti sejenak untuk mengetikan balasan.
Have fun!
Setelahnya, Tara melangkah cepat menuju ke ruang rapat dan tanpa sadar diperhatikan oleh rekan-rekan penuh keingintahuan itu.
🍀
Perjalanan ke Ibu Kota Nusantara jelas memakan waktu yang tidak sedikit dan yang paling membuat Putra tidak nyaman tentu saja kehadiran Arsyad. Perwakilan dari Citratama yang berangkat ke Ibu Kota Nusantara adalah Putra, Arsyad dan salah satu sekretaris mereka bernama Bambang. Bambang yang bertugas mengatur jadwal dan administrasi lain selama mereka di Ibu Kota Nusantara.
"Mas, maaf banget. Karena tadi ada delay dikit pesawatnya, biar keburu, kita langsung ketemu sama klien dari ESDM gak apa-apa, ya? Paling cuma satu jam ketemu, makan malam, setelahnya istirahat di kamar hotel masing-masing." Bambang menjelaskan dengan gugup, pria itu duduk di samping supir dan di bangku penumpang ada Putra dan Arsyad yang tidak berbicara sama sekali.
Arsyad yang merespon Bambang cepat. "Oke, Bam. Lo atur aja, besok pagi kita langsung survei ke lokasi, kan?"
Bambang mengangguk kecil. "Iya, Mas. Besok juga didampingi Tim dan kemungkinan nanti Pak Menteri juga ikut besok. Nanti pukul 09.00 WITA kita berangkat dari hotel, saya juga udah minta bantuan resepsionis untuk telepon ke kamar Mas masing-masing pukul 07.00 WITA untuk bersiap. Sengaja saya spare dua jam, sudah termasuk sarapan juga di hotel."
"Oke, Bam. Thanks, ya."
"Sama-sama, Mas."
Perjalanan dari bandara menuju ke tempat pertemuan kembali diisi oleh kesunyian. Putra tidak mengucapkan kalimat apa pun, sibuk menatap sisi kirinya. Menatap jalanan Kalimantan yang ramai walau tidak seramai Jakarta.
"Bunda apa kabar?"
Di tengah keheningan, Arsyad memecah dengan pertanyaan yang membuat Putra bergeming sesaat. Tanpa menoleh sedikit pun, pria itu menjawab cepat, "Baik."
Arsyad memang memanggil Ibu kandung Putra dengan sebutan Bunda, bahkan sudah dianggap seperti Ibunya sendiri, mengingat Arsyad pernah tinggal bersama di rumah Putra selama hampir dua bulan. Saat itu, Arsyad masih bekerja serabutan dan membantu Putra dengan tugas-tugas kuliahnya.
"Ayah?"
"Baik juga."
Arsyad mengangguk kecil. "Bagus, deh."
Percakapan canggung itu berakhir begitu saja, tanpa ada niatan dari satu sama lain untuk melanjutkan. Sejujurnya, pemandangan yang menyedihkan mengingat sedekat apa mereka dulu, sebelum seorang wanita hadir dan mengubah segalanya.
🍀
Peninjauan lapangan di calon gedung Kementerian ESDM terlambat dua jam dari yang dijadwalkan, dikarenakan menunggu kehadiran sang Menteri yang memang punya jadwal melakukan peninjauan lapangan. Begitu sang Menteri tiba, Putra dan Arsyad berjalan di belakang sang Menteri, mendapat penjelasan dari anak buah sang Menteri yang sepertinya lebih paham mengenai teknis pekerjaan yang akan diberikan kepada Citratama.
"Mas Arsyad pasti lebih paham, lah, ya, mengenai interior. Mas Putra juga punya selera yang bagus buat tata letaknya, jadi saya percayakan sepenuhnya kepada Citratama. Saya percaya kualitas pekerjaan kalian sangat baik." Si anak buah Menteri tersebut menepuk bahu Putra dan Arsyad bergantian, "Saya juga sudah info ke Bapak, beliau sangat setuju dan minta Mas-Mas segera mendaftar di situs pengadaan kami."
Putra mengangguk. "Sudah, Pak Kamil. Kami sudah mendaftar dan mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan."
Pekerja Kementerian yang dipanggil Putra dengan sebutan Pak Kamil itu mengangguk, lalu mengajak Putra, Arsyad, Bambang dan Tim lain yang mengikuti dari belakang, berpisah rombongan dengan Menteri. Mereka melangkah ke bagian belakang sebuah bangunan setengah jadi yang digadang-gadang akan menjadi kantor mereka nanti.
"Permintaan Pak Menteri, beliau mau bagian belakang ini seperti area terbuka untuk bersantai. Mengingat beliau juga punya banyak koleksi ikan Koi, beliau berpesan untuk bisa dibuatkan kolam juga di sini. Berkenankah?"
Arsyad mengernyitkan dahi. "Maaf, Pak. Lingkup penugasan kami sebatas di desain interior. Semisal ingin buat kolam ikan, baiknya dikoordinasikan dengan kontraktor."
Pak Kamil menghela napas. "Sudah, Mas, tapi mereka gak bersedia. Jadi kalau bisa, kami mau minta bantuan Tim—Mas Arsyad, awas!"
Perhatian semuanya teralih kepada Arsyad, bersamaan dengan suara keras bahan bangunan yang jatuh dari atas. Tidak, bahan bangunan itu tidak menimpa Arsyad, namun pria itu jelas terseret cukup jauh didorong oleh Putra yang nyatanya jauh lebih sigap menyelamatkan Arsyad.
"Abi, kepala lo berdarah!"
Arsyad meringis melotot mendapati Putra yang berada di sisi kiri tubuhnya yang terseret tadi. Pria itu memejamkan mata, seperti menahan sakit dan dari pelipis kirinya mengeluarkan darah segar.
🍀
Napas Tara terengah-engah ketika jiwanya kembali ke dunia nyata, mendapati semua yang disaksikannya tadi hanyalah mimpi. Kepalanya sakit seketika, dadanya berdebar tak karuan tak bisa melepaskan gambaran Putra dan darah segar yang mengalir dari pelipis kirinya.
Jelas ini bukan mimpi pertama Tara tentang Putra dan darah. Entah apa yang terjadi, tapi ini pertanda buruk yang Tara yakini.
Masih dengan perasaan kalut, gadis itu meraih ponselnya dan hatinya mencelos mendapati beberapa panggilan masuk dari kontak yang dinamainya Abiseva Putra Nawasena. Jam menunjukan pukul sebelas malam di Jakarta, yang menandakan sudah pukul dua belas malam di Kalimantan dan Putra menghubunginya dua jam yang lalu.
Tangannya masih bergetar, dengan bayangan darah di kepala Putra, saat Tara memutuskan untuk menghubungi balik Putra. Tara menunggu dengan jantung yang masih berdebar tak karuan dan setelah beberapa saat, perasaannya sedikit melega mendengar suara berat itu mengangkat panggilan darinya.
"Hai, kok belum tidur? Kirain udah tidur, makanya gak angkat telepon."
Tara menggigit bibir bawahnya. "Kebangun."
"Kenapa? Mimpi buruk?"
Tara memejamkan mata dan menghela napas. "Iya."
"Tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Coba, deh, beberapa kali biar lebih tenang. Suara kamu kayak abis lari marathon."
Tara menuruti anjuran Putra, menarik napas dan menghembuskannya selama beberapa kali. Setelah napasnya membaik, dia baru merespon ucapan Putra tadi. "Udah mendingan. Kamu belum tidur?"
"Belum ngantuk. Masih adaptasi kali, ya? Bintangnya juga bagus malam ini."
"Masih di luar?"
"Luar kamar hotel. Lebih tepatnya balkon."
"Sambil ngerokok?"
Tawa Putra terdengar dan Tara menunggu jawaban pemuda itu. "Gak apa-apa, kan, kalau ngerokok?"
"Itu hak kamu."
Lagi, tawa Putra terdengar. "Aku udah gak ngerokok, Gee. Gak ngerokok lagi."
Tara memperbaiki posisi duduknya, bersandar pada sandaran ranjang. "Kenapa?"
"Kamu suka cowok perokok, kah?"
Tara mengerjap. "Aku gak suka bau rokok, apalagi asapnya. Ganggu."
"Gak akan aku ada keinginan untuk ngerokok lagi, deh."
"Ya, kenapa?"
"Karena kamu gak suka bau dan asapnya?"
Tara terkekeh. "Gak segala sesuatu harus disesuaiin sama aku, kan? Kamu butuh alasan yang lebih bagus daripada itu."
"Gak ada alasan lebih bagus dari gak mau ngerokok karena kamu gak suka bau dan asapnya, Gee."
"It's Gistara, by the way. Kenapa kamu panggil aku Ji?"
"Karena awal nama kamu dari huruf G? Dalam bahasa Inggris, disebut Ji."
Tara memutar bola matanya, tersenyum kecil. "Gak ada yang panggil aku begitu."
"Jadi aku yang pertama? Keren juga."
"Kenapa kamu memperkenalkan diri sebagai Putra? Ketika banyak juga orang yang panggil kamu dengan nama Abi? Abi sounds better than Putra."
Hening sesaat, membuat Tara beranggapan jika dia baru saja salah berkata, namun pecah tawa Putra terdengar dan membuat Tara menahan napas.
"Kamu bisa panggil aku apa pun, Tara. Abi juga gak apa-apa. Maaf aku perkenalkan diri sebagai Putra, ya, emang terbiasa aja kalau ke klien memperkenalkan diri sebagai Putra."
Tara mengerjap. "Oh, maaf, deh, ya. Putra aja, gak apa-apa. Aku juga klien, kan."
"Tapi kamu bukan klienku, kan?"
"Hah?"
"Kamu lebih dari klien, Gee. Kamu boleh panggil aku Abi, kalau emang menurut kamu itu lebih baik dan akrab."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top