04 - Peninjauan
Pagi ini, Gistara Asha Nameera terbangun dengan perasaan bingung mengingat mimpinya yang terasa sangat nyata. Bukan hanya nyata, tapi seperti sebuah gambaran kejadian yang akan terjadi pada hari ini. Sungguh, baru kali ini Tara bermimpi senyata dan sejelas itu.
Anehnya, ada pria bernama Putra di dalam mimpi Tara dan tiba-tiba, Tara teringat ucapan terakhir pemuda itu setelah selesai presentasi dua hari lalu.
"Sampai ketemu lusa, Mbak Gistara."
Hari ini adalah hari akan dilaksanakannya peninjauan lahan tersebut dan setelah melapor kepada Manager, Tara mendapat tugas untuk ikut mendampingi, bersama Aldo juga. Sungguh, seperti mimpi yang telah diatur sesuai kenyataan.
Selain mimpi yang cukup nyata dan menyeramkan itu, Tara juga mengawali paginya dengan pesan dari sang Adik, Ganesha, yang meminta Tara mentransfer uang ujian prakteknya sebesar lima ratus ribu Rupiah. Tara benci mengawali pagi dengan permasalahan keuangan keluarganya, akan merusak mood Tara selama sehari penuh. Meski pun begitu, Tara tak punya pilihan lain selain mentransfer uang ke Ganesha.
Setelah mentransfer uang ke rekening sang Ibu untuk ujian praktek Ganesha, Tara bergegas ke luar kos, menghampiri ojek daring yang sudah menunggunya sejak lima menit lalu.
Tiba di kantor, Tara sudah disambut oleh Aldo yang sudah mengenakan kaus dan celana cargo santainya untuk melakukan peninjauan lahan. Jadwal peninjauan lahan adalah pukul delapan tiga puluh pagi di lokasi, Tara pergi bersama Aldo dengan titik kumpul di kantor pukul setengah delapan. Ruangan Divisi Bisnis masih sepi, memang kebanyakan baru tiba lima belas menit menjelang jam masuk kantor pukul delapan. Tara pun begitu.
"Mau bawa apa aja, Tar? Dokumen lahan sesuai salinan sertifikat tanah, buku catatan, kamera, alat ukur, payung—,"
"Payung?" Tara mengernyit heran mendengar daftar barang-barang yang hendak dibawa Aldo.
Aldo terkekeh dan mengangguk. "Payung penting, Tar. Selain menghalau hujan, juga menghalau sinar matahari berlebih. Gue juga bawa sunscreen spray buat jaga-jaga."
Tara memutar bola matanya dan tiba-tiba terngingat kejadian pada mimpi buruknya. Telapak kaki Putra, tertancap beling dikarenakan pemuda itu mengenakan sneakers santai dengan alas yang tidak terlalu tebal.
"Bawa safety boots, Do. Bawa lima pasang buat jaga-jaga. Banyak beling sama paku di area lahan. Bahaya kalau pakai alas kaki biasa."
Aldo mengangguk patuh. "Siap, Tar. Gue mintain dulu ke Tim Pembangunan."
Tara mengangguk dan melirik jam yang tergantung di dinding ruangan kerjanya. Menunjukan pukul tujuh empat puluh yang menandakan, sebentar lagi tim Divisinya satu per satu akan tiba.
"Kita berangkat lima menit lagi, ya, Do."
"Oke, Tar. Lo tunggu di mobil aja, gue siapin semuanya dan nanti jemput lo di mobil." Aldo berujar keras sebelum melangkah meninggalkan ruang Divisinya, menuju Divisi Pembangunan untuk meminjam safety boots.
Dari kantor menuju ke lahan, sebenarnya hanya memakan waktu lima belas menit jika tidak macet. Mengingat mereka mengatur jadwal yang bersamaan dengan jam berangkat kantor pegawai kantoran lainnya, sudah dapat dipastikan mereka akan terjebak kemacetan.
"Tar, tadi ketemu Mas Jose. Katanya salam buat lo."
Tiba-tiba saja Aldo memecah keheningan di mobil, membuat Tara yang semula memandangi jalanan di sisi kirinya, menoleh kepada Aldo. Tara memutar bola matanya. "Do, dia udah nikah, by the way."
Aldo terkekeh geli. "Kan, titip salam doang, Tar. Gak ada lain-lain."
Tara melipat tangan di depan dada. "Bingung aja cowok-cowok kantor kita pada begitu. Padahal udah punya pasangan. Gak direspon dibilang sombong dan sok jual mahal, direspon malah dikira gue keganjenan. Jadi, gue harus gimana?"
Kali ini, tawa Aldo pecah mendengar keluhan Tara. Tara hanya memperhatikan pemuda itu dengan tatapan sinis dan menyadari tatapan itu, Aldo menghentikan tawanya dan mulai memasang wajah serius.
"Nikah adalah kunci, Tar. Jangan nikah, deh. Mulai publish hubungan lo juga cukup berpengaruh. Lo dari awal masuk kantor lima tahun lalu gak pernah kelihatan sama cowok sama sekali, Tar. Untung lo cewek. Kalau lo cowok, udah digosipin homo pasti."
Gadis itu diam sebelum menyandarkan punggung pada sandaran jok, menatap ke sisi kirinya kembali dengan pikiran yang mengambang.
Andai semudah itu mencari pasangan hidup yang bisa menerima semua baik-burukmu, termasuk keluarga.
Setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Tara dan Aldo tiba di lahan dimaksud. Tim Perencanaan sudah tiba terlebih dahulu, yang diwakili oleh Asisten Manajer mereka, Robi, dan dua orang staf pelaksana yang diketahui bernama Erni dan Arif.
"Pagi, Mbak Tara,"
"Pagi, Pak Robi."
Robi menyapa Tara ramah. Pria berusia akhir tiga puluh itu kemudian beralih menyalami Aldo yang tiba belakangan, membawa perlengkapan yang diminta Tara.
"Banyak banget bawaan, Mas."
Aldo mengangguk. "Iya, Pak. Lahannya masih berantakan soalnya, banyak beling sama sisa-sisa bangunan. Untuk keamananan, mending ganti boots."
Robi mengangguk setuju. "Usul saya, yang masuk ke area lahan cukup yang pria saja. Yang wanita, bisa tunggu di mobil dan stand by apabila kita ada perlu data nanti."
Tiba-tiba, Tara teringat akan mimpinya sendiri. Benar, di mimpinya, kaki Putra tidak akan terluka jika saja pria itu tidak berlari menghampiri Tara yang kakinya masuk ke dalam lubang. Tidak, Tara tidak meyakini mimpinya nyata, hanya saja sepertinya ide baik jika dia tidak masuk ke area lahan tersebut.
Lima belas menit berselang sejak Tara dan Aldo tiba, akhirnya Tim Citratama tiba. Lagi-lagi, Beno terlihat lebih mencolok menjadi pimpinan karena pria itu langsung meminta maaf atas keterlambatan timnya.
"Bisa langsung kita mulai peninjauannya kah, Pak?" Beno berujar setelah meminta maaf.
Aldo mengeluarkan plastik besar berisikan safety boots sambil berkata, "Karena lahan kita masih berantakan sisa gedung sebelumnya, jadi lebih baik kita menggunakan boots untuk keamanan kaki masing-masing. Kami sudah menyiapkan beberapa."
Lima pasang safety boots yang Aldo bawa disodorkan kepada tujuh orang pria yang akan melakukan peninjauan lahan. Sungguh, tidak ada yang mengenakan peralatan yang lebih aman. Kebanyakan mengenakan sepatu kerja biasa, bahkan Beno mengenakan sepatu pantofel.
"Mas ukuran sepatunya berapa?"
"Empat puluh tiga."
"Yah, sisa ukuran empat puluh dua, Mas. Gak ada ukuran empat puluh tiga atau empat puluh empat," Aldo berujar setelah mengecek boots terakhir yang tersisa, "Mas gak apa-apa pakai sepatu biasa? Pakai boots kalau bisa. Banyak paku dan beling di lahannya, belum dibersihkan. Ilalangnya juga udah tinggi, takut ada ular."
Tubuh Tara mendengar saat mendengar Aldo mengucapkan kalimat sama persis seperti yang Tara dengar di mimpinya. Jantung Tara berdebar tak karuan, seperti terkena serangan panik dan begitu dia menoleh ke Putra, pria itu tersenyum tipis kepada Aldo.
"Gak apa-apa. Sudah biasa. Saya akan berusaha sehati-hati mungkin. Ayo, mulai peninjauannya."
Satu per satu mulai melangkah memasuki area lahan, begitu Aldo hendak melangkah, Tara menahan lengannya dan membuat pemuda itu menghentikan langkah. Putra yang juga merasakan langkah Aldo yang terhenti ikut berhenti dan menoleh.
"Do, gue tunggu di mobil, ya? Lo hati-hati jalannya. Banyak lubang, beling sama puing-puing tajam."
"Oke, Tar. Santai. Lo sama Erni aja di mobil."
Tara sempat bertemu mata dengan Putra yang mengangguk kecil sebelum berbalik dan melangkah mengikuti yang lain. Aldo mengikuti dari belakang dan tubuh Tara melemas rasanya, dalam hati dia berharap tidak terjadi apa-apa di sana. Gadis itu berbalik dan melangkah menuju mobil yang dikendarai Aldo. Salah satu staf Perencanaan sudah menunggu di sana, menyambut Tara dengan sapaan ceria.
"Mas Putra ganteng banget, ya, Mbak? Aku kaget. Pertama kali ketemu, kemarin Jocelyn foto diam-diam dan dikirim ke grup. Dia sampai di ruangan histerias deskripsiin Mas Putra itu. Aslinya ternyata lebih ganteng daripada di foto."
Tara tersenyum canggung. "Iya, ya? Lumayan, sih."
"Lumayan apa, sih, Mbak? Itu ganteng banget. Coba di kantor kita ada yang seganteng itu. Pasti cewek-cewek betah di kantor."
Komentar Erni membuat Tara terkekeh. "Kalau ganteng tapi sifat dan sikapnya jelek, gak bagus juga, Er."
Erni memicingkan mata. "Tahu dari mana sifat dan sikapnya jelek? Mbak Tara udah kenalan emangnya?"
Buru-buru Tara menggelengkan kepala. "Eh, enggak. Cuma perandaian aja. Aku juga baru beberapa kali ketemu, gak bisa langsung nilai."
Erni mengangguk. "Benar banget, Mbak. Kayaknya emang orangnya kalem gitu, loh, dan gak banyak omong. Bukan berarti sombong gitu, kan, ya? Siapa tahu dia emang begitu sama orang yang belum dikenal?"
Tara mengangguk cepat. "Iya, mungkin begitu."
"Ganteng banget, tapi ya, Mbak. Jadi model atau aktor pasti laku tampang begitu."
Hampir tiga puluh menit kemudian, satu per satu pria yang melakukan tinjauan ke luar dari area lahan. Tara mengajak Erni ke luar mobil, menyambut mereka—atau lebih tepatnya penasaran akan kejadian di mimpinya. Apakah Putra akan terluka seperti di mimpinya?
Mata Tara melotot melihat celana panjang kaki kiri Putra terlipat ke atas, ada darah di sana, namun tidak mengalir seperti pada mimpi Tara. Tara tidak mengucap apa pun, melainkan fokus pada kaki Putra tersebut hingga suara Robi menyadarkan Tara. Tara mengerjap dan ketika menoleh kembali, Putra menatap ke arahnya.
"Mbak Tara, peninjauan hari ini cukup. Nanti jika ada kebutuhan data atau koordinasi mengenai desain, akan kami tembuskan juga ke Mbak Tara dan tim supaya bisa membalas langsung emailnya."
Tara beralih menatap Robi dan menganggukkan kepala. "Baik, Pak. Kami siap membantu."
"Terima kasih banyak atas waktunya, Mbak Tara. Saya ada peninjauan ke gedung lain bersama Tim, jadi kita pisah di sini saja, ya? Saya mohon maaf sebelumnya karena gak bisa ajak makan siang dulu. Lain waktu, kita makan siang bareng, ya. Saya permisi dulu."
Robi dan Tim berpamitan kepada yang lain sebelum pergi meninggalkan area lahan dengan satu mobil kantor yang digunakannya. Meninggalkan Tara, Aldo, Putra, Beno dan satu rekan mereka.
"Benar kata lo tadi. Banyak lubang ternyata. Mas Putra gak sengaja masuk lubang kaki kirinya, berdarah dikit, sih. Tadi udah disiram pakai air minumnya Pak Robi."
Aldo tiba-tiba menjelaskan, berjalan menghampiri Tara yang berdiri di dekat mobil.
"Mbak Tara, Mas Aldo, kita pamitan juga, ya. Terima kasih ata—,"
"Ada kotak P3K di mobil. Kaki kamu luka, perlu diobati segera kalau gak mau infeksi."
Keheningan melanda mendengar Tara yang memotong ucapan Beno, dengan sorot mata tajam kepada Putra yang bahkan terlihat sangat santai dengan luka itu. Putra balas menatap Tara lekat sebelum mengangguk kecil dan melangkah mendekati mobil operasional kantor yang dikendarai oleh Aldo, "Ben, kalian balik kantor duluan aja. Ada rapat lain, kan? Gue bisa pesan taksi."
"Kita bisa antar balik ke kantor setelah kakinya diobati." Tara menambahkan cepat, meyakinkan Beno dan timnya yang masih memasang wajah bingung.
Sesaat kemudian, seperti tertampar mendadak, Beno mengangguk cepat dan menjawab, "Baik, Mas. Sampai ketemu di kantor, ya. Semoga lukanya gak parah."
Setelahnya, Beno bersama rekan timnya masuk ke dalam mobil Toyota Rush yang kemudian meninggalkan area lahan tersebut. Tara menatapi kepergian mobil itu sebelum menghela napas dan kembali menatap Putra lekat.
"Udah dibersihin lukanya, kan?"
Putra mengangguk kecil. "Pakai air biasa."
Tara membuka pintu belakang mobil. "Duduk dulu. Biar saya bersihkan lagi sebelum pakai salep dan ditutup. Lukanya lumayan juga." Tatapan gadis itu fokus pada luka di dekat mata kaki kiri Putra.
Seperti sebuah komando, Putra menurut dan duduk di kursi penumpang belakang mobil kantor Tara sementara, Tara meraih botol minum yang ada di kantung belakang jok pengendara dan meraih kotak P3K kecil yang ada di jok paling belakang dari mobil 5 seat ini.
Dengan telaten, gadis itu membersihkan luka Putra, mendiamkan hingga kering sebelum mengoleskan salep dan menutup luka dengan plester yang ada. Sebenarnya, tak butuh waktu lama memberikan mengobati luka tersebut, tapi tetap saja. Tara teringat mimpinya semalam dan sedikit ada rasa bersyukur saat menyadari luka Putra tidak separah yang terjadi di mimpinya.
"Selesai." Gadis itu berdiri tegak dan tersenyum lebar saat selesai menempelkan plester di luka Putra.
Pandangan Tara kemudian beralih kepada Putra yang nyatanya sedari tadi memperhatikan apa yang Tara lakukan. Jantung Tara berdegup kencang, gugup bukan main menyadari akan hal tersebut. Buru-buru dia menoleh dan baru menyadari jika bukan hanya mereka berdua yang ada di sini.
Sedari tadi, Aldo menyaksikan adegan Tara membersihkan luka Putra dengan mulut terbuka. Terkejut. Bagaimana tidak? Seorang Gistara Asha Nameera yang sulit tersentuh oleh para pria kantor yang mengaguminya, tiba-tiba memberikan perhatian pada seorang pria yang masih menjadi teka-teki untuknya.
"Ayo, Do. Antar Mas ini sebelum balik kantor."
Aldo mengerjap sebelum mengangguk dan berjalan menuju kursi kemudi. Tara juga hendak membuka pintu mobil tempatnya duduk dan tertahan sesaat saat mendengar suara pelan Putra dari kursi di belakangnya. Tara menoleh dan pemuda itu tersenyum kecil kepadanya.
"Kita ketemu lagi, kan?"
🍀
Aldo
🍀
Hope you like this one!
Aku posting sekarang sambil menikmati hujan tanpa henti ini di Jakarta~
By the way, lima part awal emang aku post tiap hari (krn udah diketik dari awal), untuk part selanjutnya mungkin gak bisa serajin itu, hehe, menyesuaikan mood ngetiknya.
Thanks, All. Love! A x
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top