Bab 4
Tubuh yang tertidur di dalam peti itu kini tertutup oleh tanah berberangan orang-orang menatap sedih, menyayangkan gadis yang seharusnya memiliki jalan hidup panjang berkahir tragis. Namun, jauh berbeda dengan Lola--wanita yang mengenakan kacamata hitam-- menampilkan wajah datar ketika peti mati itu telah terkubur sempurna di bawah tanah. Dia sudah menebak bahwa ini akan terjadi, tapi nyawa yang terlanjur dicabut dari raga tentunya tak kan kembali begitu mudah. Lola memang sedih telah kehilangan anak gadis yang bisa menjadi penerus bisnis keluarga Clayton, tapi mental kuat yang seharusnya dimiliki setiap anggota keluarga harus terpatri bahkan sebesar apa pun masalah mendera.
Sayang, Cindy tidak bisa menghadapi hal itu. Dan lebih parahnya melampiaskan ke hal merusak moral. Lola berpaling, memandang anak lelakinya yang masih tampak sangat terpukul. Evan adalah satu-satunya orang yang peduli pada Cindy lebih dari dirinya sendiri. Di sampingnya, Dandras berdiri sembari mengatupkan bibir rapat. Tidak ada air mata yang jatuh dna tidak ada kesedihan terpancar seakan-akan kematian Cindy bukanlah segalanya.
"Kuatkan hatimu, Evan," ucap Lola dingin. "Ini salah Cindy sendiri. Dia tidak bisa bertahan dengan apa yang disiapkan untuk masa depannya."
Evan menoleh, melihat garis wajah ibunya dengan tatapan yang tidak percaya. Tak memberi jawaban, Evan pun memilih untuk pergi meninggalkan pemakaman itu, mencoba menyembuhkan rasa kehilangan untuk kedua kali.
Tak langsung kembali ke kantor, Evan melajukan kemudinya menuju gedung rehabilitasi untuk mencari sesuatu yang dirasa janggal. Meski hasil penyelidikan polisi mengatakan bahwa kematian Cindy murni karena bunuh diri bukan pembunuhan yang disengaja. Tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan, hanya bekas jerat tali yang ada di leher dan sample darah yang menunjukkan dia mengkonsumsi begitu banyak obat penenang.
Yang dipikiran Evan, bagaimana bisa Cindy mendapatkan obat sebanyak itu dikala para petugas selalu memberikan obat sesuai dosis dan diberi sesuai jam yang diatur. Apakah ada orang yang membantunya untuk melakukan aksi bunuh diri itu.
Mungkinkah.... pikir Evan berusaha mengelak jutaan spekulasi yang bermunculan di kepala.
Evan teringat gadis arogan yang ditangkap dan ditempatkan di rehabilitasi yang sama. Beberapa kali Cindy juga bercerita tentang Sophie walau hanya sebatas kasus yang menimpa model kontroversial dan sikap santainya menghadapi hukum. Dia mengira kalau Sophie mungkin yang memberikan obat-obatan tersebut mengetahui sepak terjang kelakuannya di media sosial. Ya, Evan yakin kalau Sophie bisa jadi orang yang membuat adiknya terbunuh.
Sesampainya di sana, suasana Bridge Back to Life Center tampak jauh lebih sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang sepertinya keluar dari tempat pemulihan terbaik di Manhattan. Seseorang berpakaian biru muda dengan ikatan rambut tinggi, menghampiri Evan seraya berkata,
"Mr. Clayton. Ada yang bisa saya bantu?"
Evan melihat papan nama di dada kiri perempuan bermata gelap itu, Bianca Hawkins. "Ehm, saya hanya menanyakan beberapa hal tentang--"
"Ms. Clayton?" tebak perempuan itu.
"Ya. Cindy pernah bilang bahwa dia pernah berbincang dengan salah satu perempuan bernama Sophie Boucher. Dan hasil autopsinya, sample darah adikku mengandung obat penenang cukup tinggi. Bisa jadi jik--"
Bianca mengerutkan kening mendengar penuturan Evan. "Jika masalah itu yang Anda tanyakan," potong Bianca," kami tidak memiliki hak untuk menjelaskan hal itu, Tuan. Lagi pula, Ms. Boucher berada di kamarnya saat kejadian berlangsung. Penyidik juga sudah memastikan bahwa Ms. Boucher tidak terlibat atas kematian adik Anda."
Evan terdiam tapi hatinya masih tidak terima. Banyak hal yang masih terasa aneh menurutnya, terutama isi surat yang ditulis Cindy.
Jangan cari penyebab kematianku, Evan. Aku hanya lelah dengan apa yang terjadi pada hidupku. Bukankah kau akan menikmati semua kasih sayang ayah dan ibu dengan leluasa?
Darrel... Aku tidak bisa melupakan lelaki itu walau kau menyuruhku untuk melepasnya.
"Sial... kenapa aku lupa dengan bajingan kecil itu," geram Evan membuat Bianca bergidik ngeri.
###
Sepasang kaki berbalut celana jogger hitam dan kaus abu-abu, melangkah memasuki koridor gedung rehabilitasi bercat putih, seraya melepas kacamata hitam. Sepatu Adidas putih miliknya bergesekan dengan lantai marmer menimbulkan decit memecah keheningan. Dia menyapa beberapa petugas seraya melempar senyum dan kerlingan mata, sadar bahwa pesonanya bisa memikat wanita dalam hitungan detik.
Dia berhenti ketika berpapasan dengan seorang lelaki bertubuh tegap dengan jas putih. "Selamat siang."
"Ya. Selamat siang," ucap dokter itu.
"Saya mau menemui Sophie Boucher, apakah bisa?"
"Ah, Ms. Boucher ... silakan temui petugas di sana. Kami baru saja menyelesaikan sesi terapi."
Dia mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Belum sempat menghampiri petugas yang dimaksud, Sophie keluar dari ruang terapi dan matanya membulat melihat Tommy--lelaki satu agensi dengan Sophie.
Gadis itu berlari, membuat rambut panjang yang dikucir asal itu bergoyang-goyang. Refleks saja dia memeluk tubuh ramping nan berotot Tommy begitu erat seakan menemukan harta karun yang dinantikannya seumur hidup.
"Ya Tuhan, sungguh kau diberkati, Tom! Nice to see you again."
"Ya ya ya, aku tahu kalau aku sudah menjadi malaikatmu, Sophie. Berhentilah membunuhku seperti ini!" dengkus Tommy mencoba melepaskan diri dari gadis berbibir tebal itu.
"Sorry," kata Sophie, "hanya saja orang-orang tidak pernah ke sini, kecuali segelintir wartawan yang kadang datang untuk melihat penderitaanku."
"Tapi, kulihat kau baik-baik saja," sindir Tommy merangkul bahu Sophie.
"Untuk apa memperlihatkan penderitaanku, ketika orang-orang hanya sekadar ingin tahu tanpa mau membantu, Tom?"
Kepala lelaki berjambul itu manggut-manggut paham. "Alright, karena sepertinya aku yang memahami penderitaanmu. Aku sudah memberikan jaminan tiga ribu dollar kepada polisi supaya kau bisa keluar lebih cepat."
Pupil biru itu semakin membesar, Sophie berteriak kegirangan, merangkul leher Tommy hingga tubuh mereka hampir terjatuh. "Oh, sungguh kau baik padaku, Tom. Apa yang harus aku lakukan untuk membalas kebaikanmu?"
Tommy menggeleng, menangkup wajah bentuk hati milik Sophie. "Ayolah, kita berteman baik cukup lama. Uang bukanlah masalah untukku, Sophie. Kau bisa membayarnya kapanpun."
Mendengar hal itu Sophie merasa kebebasannya sudah di depan mata. Dia harus menata kembali kehidupannya, mencari pekerjaan dan apartemen baru. Dia berpikir akan mencari beberapa agensi yang mau menerima dirinya. Akan gadis itu buktikan kepada semua orang bahwa seburuk apa pun kelakuannya, dia masih menjadi model yang turut diperhitungkan di jagat hiburan Manhattan.
###
Tak perlu menunggu lama, Tommy membantu Sophie membawa beberapa baju ke dalam ransel setelah benar-benar mendapatkan ijin keluar dari rehabilitasi. Apalagi selama di sana Sophie cukup berkelakuan baik, dia juga tidak memiliki sangkut paut dengan kasus bunuh diri Cindy Clayton. Sophie tidak mau tenggelam ke dalam masalah orang lain. Yang mati biarlah mati, tapi kehidupan orang lain harus terus berlanjut begitu pikirnya.
Tak sengaja dia menangkap sosok Evan Clayton yang berdiri di depan pohon tempat kejadian perkara. Punggungnya yang tertutup jas hitam, menandakan bahwa lelaki itu baru saja menghadiri sebuah pemakaman. Sophie menebak bahwa tubuh kaku Cindy kini sudah terkubur di dalam tanah dalam kesunyian.
"Buat apa memikirkan orang yang jelas-jelas mengakhiri hidup demi rasa egoisnya?" gumam Sophie. "Dasar bodoh!"
"Hei," panggil Tommy membawa ransel hitam Sophie di punggungnya. "Siapa dia?"
"Hanya orang tidak berguna. Evan Clayton."
Tommy memandang lurus punggung lelaki berambut cokelat tembaga yang disebut Evan Clayton. Ya, dia mendengar selentingan kasus bunuh diri yang baru saja menimpa adiknya. Hanya saja berita itu tidak terlalu gencar seolah pihak keluarga tidak ingin mempublikasikan kematian Putri bungsu mereka.
Tommy juga menyayangkan sikap manusia yang kadang begitu mudah mengakhiri hidup. Tapi, dia juga tidak seberapa peduli dengan kehidupan orang lain karena mereka telah memilih jalan akhir kehidupan mereka. Dia paham bahwa manusia memiliki masalahnya masing-masing dan hukum seleksi alam pun juga berlaku. Mungkin Cindy bukan termasuk orang yang bisa bertahan dengan kejamnya kehidupan, apalagi latar belakang kedua orang tuanya yang sedikit ambisius.
"Tom, tunggulah di mobil. Bisakah? Aku perlu ke toilet."
Tommy mengangguk, meninggalkan Sophie sendiri menuju mobilnya. Gadis itu memastikan Tommy menghilang di belokan menuju luar gedung, sesekali iris matanya melirik Evan. Dia menghela napas, menggelengkan kepala lalu pergi ke toilet.
###
Evan memutuskan untuk keluar gedung rehabilitasi sebelum akhirnya dia benar-benar mengikhlaskan kasus kematian Cindy, berencana akan kembali ke kantor untuk meninjau kembali hasil rapat yang diadakan beberapa hari lalu tentang penanaman saham. Selain itu, Evan juga membuat program suku bunga rendah untuk pengambilan perumahan yang ada di sekitar Manhattan, terutama lokasi-lokasi strategis seperti area yang dekat dengan Central Park atau Empire State.
Ponselnya berdering ketika tangan kanan Evan akan meraih pintu mobil. Sebuah panggilan dari Dandras, lelaki itu menghelas napas seraya menggeser ikon hijau ke kanan dengan jempol. Detik berikutnya suara Dandras terdengar gelisah.
"Ada apa, Dad?" tanya Evan, kedua matanya mengitari sekeliling.
"Ke mana saja kau, Evan? Orang-orang sudah menunggumu daritadi dan kau berkeliaran tidak jelas?"
Lelaki itu melonggarkan ikatan dasinya, lalu memijit kening merasa begitu pening harus mengurus banyak hal dalam waktu bersamaan. Bahkan untuk mengurus pemakaman Cindy pun, Evan yang turun tangan bukan Dandras.
"Aku sedang di tempat rehabilitasi Cindy, untuk--"
"Kenapa kau ke sana? Dia sudah meninggal," ucap Dandras dengan merendahkan kalimat terakhirnya. "Mari kita lupakan hal itu, Evan. Banyak yang harus diurus, aku tidak memilihmu semata kau anakku!"
"Baik. Aku akan ke sana. Dad mulai saja pertemuannya."
"Oke. Cepatlah ke mari atau mereka tidak segera menandatangani kontrak perjanjiannya," ancam Dandras lalu memutus sambungan telepon tanpa sempat Evan membalas ucapannya.
Shit! umpat Evan dalam hati. Dandras tidak lebih dari seorang yang ambisius, bahkan kematian putrinya seolah tidak menggoyahkan lelaki itu untuk merenungi kesalahannya.
Belum sempat Evan menyelipkan ponsel ke dalam saku jas, seorang perempuan merebut gawai hitam itu dan berlari secepat mungkin.
"Hey!" teriak Evan sadar ponselnya telah dicuri. "Hey!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top