Bab 10

Evan berdiri lalu berjalan keluar ruang rapat dan di sana ternyata sosok perempuan mengenakan kaus putih longgar, topi hitam, celana denim, dan sepatu putih yang sedikit kotor sedang duduk menunggu dengan tidak sabar. Dia juga memakai masker seolah-olah menunjukkan bahwa dirinya berpenyakitan. Merasa diperhatikan perempuan yang menyebutkan dirinya sebagai Melanie Summers mendongak dan berserobok dengan iris mata abu-abu Evan.

Seulas senyum tipis penuh arti terbit di bibir Evan mengetahui siapa wajah dibalik baju yang benar-benar tidak fashionable. Sophie Boucher yang entah sejak kapan mengubah namanya menjadi Melani Summers terlihat memelas walau sorot matanya masih melempar keangkuhan. Kalau seperti ini, rasanya tidak adil jika Evan tidak mengerjai gadis itu dulu akibat ponslenya yang raib di tangan orang lain.

Dia berkacak pinggang ketika gadis itu beranjak seraya mengedarkan pandangan dan sesekali menurunkan ujung topi. Evan memutar kepala kala para petinggi perusahaan BankLux yang keluar dari ruang rapat tampak tercengang mendapati sosok perempuan yang lebih mirip gelandangan daripada tamu yang menemui pimpinan perusahaan.

"Ada perlu apa ke sini, Ms. Summers? Kurasa aku tidak pernah mengenalmu," ujar Evan.

"Ck, aku yakin otakmu tidak mengalami benturan hebat karena kehilangan ponsel sialanmu, Mr. Clayton," desis Sophie tersulut emosi.

Lucy mendengar ucapan tak sopan dari si tamu mengerutkan alis dan melempar tatapan penuh tanda tanya kepada Evan. Dia memberikan kode apakah harus memanggil petugas keamanan bila atasannya merasa nyaman atas kehadiran gadis asing. Namun, Evan melontarkan isyarat kalau Melani Summers bisa dia tangani begitu mudah seperti seekor lebah yang haus akan nektar. Nyatanya Sophie datang karena sudah menyerah tidak mendapat pekerjaan di manapun.

Ternyata ada gunanya juga memiliki privilege sebagai keluarga Clayton, aku bisa membuat hidupnya seketika susah. Dia pantas mendapatkannya kan?

"Ayo, ke ruang kerjaku," ajak Evan.

Sophie melenggut, mengekori langkah panjang Evan dari ruang rapat ke ruang kerja yang ternyata masih satu koridor. Dalam hati, Sophie ingin sekali menghilang dari tatapan aneh orang-orang yang mengawasinya penuh selidik. Dibanding penampilan mereka yang begitu rapi, pakaian Sophie memang benar-benar seperti orang homeless, tapi dia juga tidak punya pilihan lain. Selain itu, dia juga merutuki kakinya sendiri mengapa harus menginjakkan ke gedung berlantai sepuluh seolah tidak ada tempat lagi untuk bersandar.

Pintu bercat hitam dof terbuka, menampilkan satu ruangan besar yang cukup dingin dan terlihat sangat nyaman. Interiornya tidak terlalu banyak, desainnya pun benar-benar minimalis, tidak mencerminkan sosok penghuni yang menurut Sophie sangat kikir. Satu meja kerja dengan kursi kantor berwarna hijau tosca, di kiri dan kanan ada beberapa lukisan abstrak dan foto orang-orang perusahan menempel manis di dinding berwarna putih bersih itu. Ada tiga kursi sofa berbahan kulit berwarna cokelat muda, dengan meja panjang terbuat dari kaca dan satu vas bunga palsu di tengahnya.

"Duduklah!" perintah Evan menunjuk kursi sofa.

Sophie pun mendaratkan pantat ke sofa lalu melepas atribut yang menyamarkan identitas gadis itu. Sejenak dia menghela napas panjang seperti baru saja melepaskan banyak beban.

"Bisakah kau memberiku minuman dingin?" pinta Sophie mengibaskan lehernya dengan topi. "Seharusnya—"

"Kau sungguh tidak sopan," sindir Evan memotong kalimat Sophie lalu mendekati meja kerjanya dan menelepon seseorang. "Tolong bawakan minuman dingin untuk tamuku. Terima kasih."

Dia pun kembali berjalan, mendudukkan diri di depan Sophie dengan tatapan angkuh penuh kemenangan. Nasib kehidupan gadis itu berada di genggamannya dan yakin kalau keinginan Brave bakal terwujud sebentar lagi.

"Kau bilang tidak ingin menemuiku? Bukankah kau seperti ingin menjilati ludahmu sendiri?" ledek Evan tak melepaskan pandangannya dari wajah Sophie.

Sophie mendecih, menyisir untaian rambut panjangnya ke belakang dengan tangan kiri. "Sepertinya kau yang membuatku melakukan itu, Mr. Clayton. Ah, bertemu denganmu membuat hidupku semakin sial."

"Apa kau bilang?" tanya Evan meninggikan nada bicaranya.

Ketukan di balik pintu terdengar, cepat-cepat Sophie menutup wajahnya dengan topi ketika Lucy membawakan minuman dingin di atas nampan. Sejenak perempuan bermata hijau emerald itu memandang Sophie lagi, alisnya bertaut seperti mengenal sosoknya. Tentu hal itu membuat Sophie berpaling, menghindari dugaan perempuan asing itu. Matanya menatap tajam Evan menyiratkan agar menyuruh pegawainya pergi.

"Terima kasih," ucap Evan. "Silakan diminum Ms. Boucher, perjalananmu pasti panjang," lanjutnya membuat ekspresi Lucy terkejut bukan main. Sedangkan Sophie ingin melempar wajah itu dengan sepatunya lantas melirik si perempuan tukang mengurus hidup orang lain dengan sinis.

Evan tersenyum miring, benar-benar menyenangkan menjahili Sophie yang sudah menjadi bahan pembicaraan setiap orang yang tinggal di New York. Namun, itu adalah konsekuensi bagi seorang publik figur yang tersandung narkoba dan dipecat dari agensi kini sedang memohon-mohon kepadanya.

"Kau boleh pergi, Lucy," pinta Evan yang dibalas dengan anggukan.

Usai pintu benar-benar tertutup Sophie melempar topi hitamnya ke arah pemimpin bank itu, untungnya Evan memiliki kesigapan yang baik. Dia justru melempar balik topi Sophie ke arah tempat sampah dan berkata, "Kau ke sini mengajakku bertengkar atau bagaimana?"

"Kau tahu alasanku tanpa kuberitahu, Clayton!" seru Sophie lalu meraih sebotol kola dingin dan meneguknya.

Mata Evan menyipit. "Apa kau tidak diajari cara menghormati orang lain, huh?"

Sophie menggeleng, menaruh kembali botol kola di atas meja. "Aku diajari ... dulu ... dan sekarang aku tidak ingin menghormati siapa pun karena mereka selalu mengolokku."

"Cih, kau ingin dihormati tapi kau tidak pernah menghormati orang lain, Boucher. Dan kurasa aku salah memberimu mandat untuk mengasuh anakku. Kau pergi dan cari saja orang yang mau menerima kelakuan burukmu ini."

Sophie sudah hampir kehilangan kesabaran mendengar kalimat Evan, tapi sepertinya hanya lelaki bermata abu-abu yang sombong itu yang bisa membantunya saat ini.

"Maafkan aku," lirih Sophie mengalah.

"Apa? Aku tidak mendengarnya."

"Maafkan aku, Tuan Evan Clayton."

"Ulangi lagi."

Astaga, dasar maniak!

"Maafkan aku, Tuan Evan Clayton yang terhormat...." kata Sophie dengan penuh penekanan.

Bibir Evan tertarik ke atas seraya menyandarkan punggung ke sofa dan melipat kedua tangannya. "Baiklah, aku akan menerimamu sebagai pengasuh anakku, asalkan kau mau menerima syarat."

"Syarat?" ulang Sophie tidak suka. Mendadak perasaannya jadi tidak enak mendengar aturan lelaki itu.

"Ya. Apa kau keberatan? Bukankah kau sudah terbiasa dengan aturan?"

"Tergantung. Asalkan tidak ada pihak yang dirugikan," ucap Sophie sambil mengunci wajah Evan dalam bola mata, menantang lelaki itu tanpa takut. "Bukankah begitu Mr. Clayton yang terhormat?"

Evan membisu beberapa saat seraya menatap lurus bola mata Sophie yang berkilat penuh arti. Sudut bibirnya terangkat lantas bersedekap dan berkata, "Lets see, Ms. Boucher."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top