Bab 28 •Answer•
Sudah lebih dari lima belas menit Kinnas diam setelah Adrea membawanya kemari, ruangan aula, selepas bel pulang berbunyi. Masalah baru yang sempat Adrea katakan kembali menghadirkan pening tak berkesudahan. Kinnas tahu, hal ini pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Namun, Kinnas belum sesiap itu untuk datang ke Istana sebagai tersangka yang mencuri buku Hirawan Bulao. Meskipun kenyataannya tidak demikian.
"Tidak ada cara untuk menghindar."
Adrea bersuara, membuat rasa takut Kinnas semakin menjadi. Gadis yang terus mendekap ransel berisi buku Hirawan Bulao itu menggeser tubuhnya, mendekati Adrea di samping kanan. "Apa kita akan dihukum?"
"Dihukum bukan hal yang berat, Kinnas."
"Lalu?"
"Konsekuensi." Adrea bersandar pada pinggiran kursi. "Aku hampir gila karena mencari cara agar tetap hidup setelah melewati bulan purnama nanti."
"A-apa kita perlu melakukan ritual terakhir?"
"Kau seberani itu?"
Lekas Kinnas menggeleng, ia tak mempunyai keberanian sebanyak itu untuk kembali melakukan ritual ketiga. Penyesalan menyerangnya, menghardik Kinnas hingga rasanya ia ingin menangis, lagi. Mengetahui akibat saja sudah membuatnya kalang kabut, apalagi sampai nekat melanjutkan proses permohonan pada Berliana Biru.
"Sebenarnya aku masih penasaran." Adrea menoleh guna menatap Kinnas. "Siapa yang menaruh Berliana Biru ke dalam tas jinjingku, dan meletakkan buku Hirawan Bulao di perpustakaan Snasa."
Benar, batin Kinnas. Ia langsung tersadar dan memandang Adrea lekat. "Apa kita perlu mencarinya?"
"Kita tak mempunyai banyak waktu."
"Tapi kita bisa mengatakannya pada Raja Andreas ataupun Ratu Sybl nanti."
"Ide bagus."
Adrea tersenyum kecil, begitupun Kinnas. Sama-sama mengangguk setuju, keduanya lantas beranjak berdiri untuk keluar dari ruangan aula. Menghirup kembali udara bebas mengingat mereka tidak bisa hidup tenang setelah ini. Entah itu tentang mendapatkan hukuman dari pihak Istana, atau juga menghadapi kematian sesuai konsekuensi menjadi perempuan 'pemilik'.
Poin terakhir terdengar mengerikan, memang. Adrea bahkan tak bisa berhenti merasa cemas sampai ia susah tidur selama beberapa malam. Kinnas sedikit berbeda, pemikiran yang menggebu membuatnya sulit fokus dalam rutinitas keseharian. Sekali lagi, andai waktu bisa diputar, keduanya mungkin saja masih hidup santai layaknya remaja pada umumnya. Di mana peliknya Matematika masih menjadi permasalahan utama.
"Tunggu! Kalian di sini ternyata." Arsen datang selepas berlari, berhenti tepat di depan Adrea dan Kinnas.
"Ada apa, Sen?" tanya Adrea kebingungan.
Pemuda tanpa almamater itu sontak menunjuk ke arah gerbang Snasa. "D-di sana ... di sana mobil dari dari Istana ... menunggu kalian berdua."
Adrea dan Kinnas mengerjap cepat lalu saling pandang. Lama mereka terpaku, menyiapkan mental untuk menghadapi persoalan paling rumit berupa datang ke tempat singgah Raja. Kali ini, Adrea tidak kesenangan ketika dijemput mobil mewah dari Istana. Ia hanya merasa jika semua ini hanyalah jalan pintas yang membuatnya malu sekaligus takut secara bersamaan. Tak ubahnya Kinnas, ia terus melangkah seraya mengeluarkan buku Hirawan Bulao kemudian menyerahkannya pada Adrea.
Setelah sampai di depan gerbang, keduanya membalikkan badan, memindai satu-persatu keempat teman mereka yang telah menjadi saksi atas kelalaian Adrea dan Kinnas. Seberani itu keduanya membuat permohonan, tanpa memikirkan sebab akibat dari tindakan yang diperbuat. Namun, menyesal bukanlah waktu yang tepat saat ini. Adrea dan Kinnas harus segera memasuki mobil untuk pergi menghadap Raja ataupun Ratu. Atau juga keduanya.
Selama perjalanan tidak ada yang membuka suara. Adrea fokus melihat pemandangan dari balik jendela dengan pikiran melanglang buana entah kemana. Tak jauh beda, Kinnas pun menyorot sendu rok lipitnya seraya berusaha menahan tangis. Terus seperti itu sampai mobil yang membawa mereka tiba di pelataran luas Istana Harlen. Beberapa penjaga lekas mengarahkan keduanya ke taman belakang.
"Ratu ..." Adrea langsung memberi hormat dengan bersimpuh--ketakutannya semakin bertambah, diikuti Kinnas di sampingnya.
Sybl yang melihat hal itu lekas menepuk pundak keduanya, mengarahkan mereka untuk kembali berdiri. "Duduklah," perintahnya pada Adrea dan Kinnas.
Raut wajah Sybl terlihat datar tanpa ekspresi, semakin membuat Kinnas gemetaran tak karuan. Namun, ia tetap mendaratkan bokongnya ke salah satu kursi di samping Adrea. Menoleh kanan, Kinnas melihat gadis berambut ikal tengah menunduk sambil memilin ujung lengan almamater. Ternyata tidak jauh beda dengannya.
"Boleh aku meminta dua bendanya sekarang, Adrea, Kinnas."
Cekatan, Adrea mengeluarkan Berliana Biru dari dalam saku almamater, bersama buku Hirawan Bulao yang ia simpan di ransel biru muda miliknya. Kinnas hanya memandangi sayu tingkah Adrea, ia tidak berani mendongak sebab merasa tak pantas untuk sekedar melihat ujung kaki sang Ratu.
"Terima kasih karena sudah mau kemari." Sybl mengambil Berliana Biru lalu menatapnya, sesaat merasakan kelegaan di hatinya.
"M-maafkan kami, R-Ratu." Gagap, Adrea mulai bersuara.
"B-benar, maafkan kami berdua, Ratu." Kinnas meremas jari-jemarinya resah.
Sybl tersenyum kecil. "Sudah ku maafkan, begitupun Raja. Tapi sayang beliau sedang sibuk, jadi harus aku yang berada di sini."
Kali ini Adrea mendongak, memandang Sybl yang masih menaikkan sudut bibir. Sontak Adrea merasa segan, semakin malu ketika wanita itu malah dengan mudah memaafkan perbuatan mereka berdua.
"Tapi, kami, telah melakukan--"
"Permohonan. Aku tahu, Adrea," potong Sybl. "Kalian tidak sengaja menemukan dua benda itu karena seseorang."
Kinnas melirik Adrea, memberanikan diri mengangkat kepala hingga sorot matanya bersibobrok dengan Sybl. "Maksud, Ratu?" tanya Kinnas.
"Begini, kalian tidak mencuri Berliana Biru ataupun buku Hirawan Bulao. Tapi kalian menemukannya dan malah menggunakannya, tidak mengembalikannya ke Istana."
Adrea menghela napas gusar. "Entah untuk keberapa kalinya, maafkan kami, Ratu. Kami bersedia di hukum--"
"Kami tidak akan menghukum kalian." Sybl kembali menyela. "Yang jadi pertanyaan, apa kalian tahu, siapa yang menaruh Berliana Biru ke dalam tote bag Adrea ... dan meletakkan buku Hirawan Bulao di perpustakaan Snasa?"
Keduanya lantas menggeleng. "Kami tidak tahu, Ratu," ujar Kinnas.
"Lyana, teman sekolah kalian."
Segala macam keterkejutan seolah mendeskripsikan keduanya saat ini. Adrea merapatkan bibir seraya mengusap kening berulang kali, dan Kinnas membekap mulut sambil melirik sana-sini tak tentu arah. Sepersekian detik mereka melakukan hal sama, tanpa menunduk takut seperti tadi.
"Lyana mencuri Berliana Biru dari dalam kamar Selena, termasuk buku Hirawan Bulao, yang ia bawa diam-diam dari perpustakaan Istana." Sybl memainkan cincin di jari manisnya. "Lyana ingin melakukan ritual ... untuk menghidupkan kembali ayahnya."
Adrea dan Kinnas saling tatap, menunjukkan mimik muka ketidakpercayaan terhadap Lyana yang berniat melakukan permohonan lebih gila. Namun, Adrea turut iba ketika membayangkan kesedihan Lyana kala kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Seketika ia teringat mendiang sang ibu.
"Sayang, niat buruk tak pernah berbuah baik. Lyana sedikit ceroboh dengan membawa Hirawan Bulao ke sekolah, pada saat yang sama, Ibunya yang selalu mengecek isi tas Lyana menjemputnya di hari itu juga. Hingga Lyana meletakkan buku Hirawan Bulao di salah satu rak perpustakaan Snasa."
Kinnas lekas teringat hari di mana ia menemukan buku Hirawan Bulao. Tatkala dekat pintu masuk, ia hampir bertabrakan dengan Lyana yang baru saja keluar dari perpustakaan.
"Dan untuk Berliana Biru, Lyana membawanya ke acara ulang tahun Selena karena takut ketahuan Ibunya di apartemen. Kala itu Savannah tidak hadir, kau ingat, Adrea." Sybl menatap Adrea penuh sarat. "Lyana terus menggenggamnya, dan sempat membuat Raja Andreas curiga. Hingga Lyana terpaksa memasukan berlian itu ke dalam tas jinjing, di atas meja, dekat patung Dewi Kwan Im."
"Jadi ... " Adrea menggantungkan kalimatnya.
"Benar. Untuk menghindari kecurigaan Pamannya, Lyana terpaksa melakukannya. Lyana mengira tote bag itu merupakan pajangan, tapi ternyata milikmu, Adrea."
Setelahnya sunyi. Ketiganya fokus memindai pancuran tingkat dua yang mengaliri air jernih. Ada berbagai macam bunga menghiasi taman luas ini, tetapi bunga mawar putih kerap mengambil atensi Adrea. Lain halnya Kinnas, ia masih memikirkan konsekuensi yang masih menunggu mereka kala bulan November nanti.
"Ratu, apa benar, jika gagal melakukan ritual sampai akhir ... si 'pemilik' akan meregang n-nyawa?" tanya Kinnas membuat Adrea menengok ke arahnya.
"Benar."
Adrea menelan ludah, lekas bergerak gelisah. "Apa tidak ada cara untuk menghentikannya?"
"Ada." Sybl berdiri dari duduknya, menatap dua gadis di depannya satu-persatu. "Percaya pada diri kalian kalian masing-masing."
"M-maaf, tapi, kami tidak mengerti.” Kinnas menggaruk kepalanya linglung, sedangkan Adrea pun sama.
Sybl tetap tersenyum. “Secara tidak langsung, 'kau membuat permohonan karena tidak percaya terhadap kemampuanmu sendiri'. Jadi, hentikan dengan alasan yang sudah berbeda.”
Adrea mengerutkan kening, begitu juga Kinnas. Mereka hendak kembali bertanya, tetapi sang Ratu memutuskan untuk menyudahi pertemuan karena ada kepentingan mendesak. Keduanya sontak pasrah, mereka tak mungkin menghentikan langkah Sybl sebab hal itu sangat tidak sopan.
"Jadi, kita masih memiliki harapan?" Kinnas bertanya kala keduanya telah berada di dalam mobil.
"Semoga saja," jawab Adrea lirih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top