Bab 26 •Shamans•
Hari Minggu yang di tunggu-tunggu pun tiba. Mereka berenam; Adrea, Kinnas, Cahya, Louis, Deyna serta Arsen--memutuskan untuk pergi ke Desa terpencil bernama Myalis yang terletak di Provinsi Itya. Sesuai perkataan Louis yang ia peroleh dari Liam, mereka akan menempuh setidaknya lima jam perjalanan darat setelah turun dari Pesawat. Dengan cekatan Arsen mengecek kembali ponsel pintarnya guna mencari tempat sewa mobil terdekat.
Mereka semua hanya membawa dua koper dengan ukuran cukup besar. Tidak perlu satu orang satu, mengingat keenamnya berencana pulang selepas matahari terbenam. Kata Liam, ritual yang biasanya dilaksanakan tidak memakan waktu lama, semoga saja akan berlaku sama terhadap Adrea, Kinnas, dan Cahya. Meskipun mereka tak mengetahui Dukun yang dituju benar-benar bisa membantu atau tidak. Namun, benak selalu berharap agar semuanya berjalan sesuai harapan. Semoga saja.
"Ini pertama kalinya kau mengendarai cukup jauh. Kau yakin?" Adrea menggeret kopernya yang langsung diambil alih oleh Louis.
"Kita bisa istirahat, berulang kali."
"Kau serius?”
Louis berhenti lalu menatap Adrea lekat. "Aku tidak apa-apa, percayalah,” ucapnya meyakini Adrea.
"Dari Bandara sekitar tigapuluh menit, lebih baik kita naik taxi saja," sahut Arsen sambil menggaruk kepalanya.
Semuanya lantas mengangguk. Adrea, Kinnas, dan Louis satu mobil, taxi yang dinaiki mereka pun berjalan lebih dulu. Adrea yang duduk di pinggir kanan melihat pemandangan dari atas jalan layang yang tengah dilalui. Tidak jauh bedanya Melawa, ada banyak gedung pencakar langit di Itya, terkecuali jalanan besar yang bersebelahan langsung dengan eloknya pantai.
Tiga kali belokan, taxi yang melaju berhenti di tempat sewa mobil--dekat pantai Mindara. Kinnas segera turun dan sontak menganga takjub melihat keindahan biru laut dari seberang jalan. Angin yang berhembus lumayan kencang membawa langkah kaki Kinnas ke salah satu toko, yang bersebelahan dengan tempat mereka akan menyewa mobil. Dilihat dari namanya, sepertinya bangunan kecil itu menjual beragam aksesoris.
Gagang pintu bercat hijau tua Kinnas buka, menimbulkan bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu. Kinnas langsung celingak-celinguk, bingung mengapa tidak ada satupun orang di sini. Kendati begitu, Kinnas tetap menyusuri setiap sudut toko yang memamerkan barang dagangannya. Ada anting yang terbuat dari tempurung kelapa, adapun kalung berbandul cangkang kerang. Meskipun terlihat sederhana, semuanya tampak bernilai seni.
"Ingin beli sesuatu, Nak?"
Kinnas hampir menjatuhkan gantungan kunci dalam genggaman begitu mendengar suara seseorang. Menoleh, ia melihat wanita tua bersetelan putih dengan motif bunga-bunga berdiri tak jauh darinya.
"M-maaf. Aku hanya melihat-lihat, Nyonya," jawabnya sopan.
Wanita tua itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Bukan berasal dari sini sepertinya. Anak Muda berasal dari mana?"
"Dari Melawa, Nyo--
"Panggil, Nenek, saja."
"Dari Melawa, Nek."
"Oh begitu." Si wanita tua mengangguk. "Banyak sekali wisatawan yang berasal dari Melawa jika akhir pekan begini. Apa, Anak Muda, juga sedang berlibur di Mindara?"
"Tidak, Nek. Aku akan pergi ke Mya--" Kinnas mengatupkan mulutnya, bisa-bisanya ia hampir keceplosan.
"Myalis?" sahut wanita tua, ekspresi wajahnya seketika berubah. "Orang-orang Kota memang seringkali ke sana."
Kinnas terperangah. "Nenek tahu di mana ... Desa Myalis?"
"Tentu saja."
Hening, tidak ada lagi percakapan. Kinnas menggigit bibir setelah memindai wanita tua tadi berjalan menjauh, membawa perbedaan raut wajah yang begitu kentara. Tak mau berlama-lama di suasana teramat canggung, Kinnas memutuskan untuk mendekati pintu masuk, berniat keluar dari toko.
Namun, belum sempat menyentuh gagang pintu, wanita tua itu kembali seraya berucap, "Nak, jangan pernah berurusan dengan sihir. Sesusah apapun hidupmu."
Kinnas menelan ludah, keringat dingin langsung membanjiri pelipisnya. Tanpa mengucapkan salam selamat tinggal, Kinnas lekas membuka pintu kemudian berlari menuju teman-temannya yang telah siap melanjutkan perjalanan. Berusaha menutupi ketakutannya, Kinnas segera mengambil tisu dari dalam tas selempang yang ia bawa. Menghapus peluh termasuk rasa panik yang menyerang tiba-tiba.
Adrea duduk di depan bersama Louis, tiga gadis lainnya menempati kursi penumpang nomor dua. Sedangkan Arsen kebagian paling belakang, tetapi ia tidak keberatan. Sesudah kembali berdoa lalu mengembuskan napas berulang kali, Louis pun menjalankan mobil hitam tersebut. Menyusuri jalanan aspal, ditemani suara debur ombak dari pantai Mindara yang membentang lumayan panjang. Louis sengaja tidak menghidupkan alternating current karena membuka semua jendela, membiarkan teman-temannya menikmati semilir angin pantai.
Menit demi menit, mereka menikmati perjalanan bersama candaan ringan Arsen. Satu jam kemudian, mobil terhenti karena Louis mulai merasakan keram di tangannya. Hingga tiga jam sudah, semuanya sepakat untuk kembali berhenti. Arsen memutuskan memijat pundak Louis guna meringankan pegal yang tak berkesudahan. Hingga ketiga kalinya, raut wajah Louis telah pucat pasi. Adrea segera menyarankan menghentikan mobil di tempat makan sederhana. Istirahat lumayan lama beserta mengisi perut untuk menambah daya.
Sisa dua jam, keempatnya mulai memasuki alam mimpi, terkecuali Adrea dan Louis. Tak terasa, jalanan yang dilewati mulai dipenuhi oleh rimbunnya pepohonan. Adrea tidak melihat satupun rumah, sedikit membuatnya bergidik ngeri. Mencoba santai, Louis menutup semua jendela, menghindari hal yang tak diinginkan. Apapun itu, ia harus tetap waspada. Terus berjalan, hingga mobil yang mereka naiki berhenti di salah satu warung kecil yang semuanya terbuat dari kayu. Bergegas, Louis turun untuk memberi salam. Sesuai saran Liam.
"Desa Myalis terletak di pertigaan jalan," ujar Louis setelah memasuki mobil.
Adrea mengangguk. "Jadi, sebentar lagi."
"Benar, kau yakin, Dre?"
"Tentu. Bagaimana denganmu, tidak ingin istirahat lagi?" Adrea khawatir melihat wajah kelelahan Louis.
“Aku tidak apa-apa, kau tenang saja.”
Kembali menghidupkan mesin mobil, mereka melanjutkan perjalanan. Empat orang yang mulanya tertidur, kini telah bangun satu-persatu. Tidak ada yang bersuara, bahkan Arsen yang acapkali mengatakan ini-itu tampak diam. Desa Myalis terlihat, sontak Louis memelankan laju mobilnya. Aktivitas para warga sempat terhenti untuk melihat ke arah mereka, mengakibatkan Cahya menutup kedua matanya menggunakan bantal kecil yang ia bawa.
Dan akhirnya, dua pohon besar, perbatasan jalanan aspal dan jalan tanah biasa telah keenamnya lewati.
Sampai. Mobil mereka berhenti di depan rumah yang berada di tengah hutan. Kayu-kayu yang menyangga terlihat sudah lapuk, dan mungkin saja bisa roboh sewaktu-waktu. Sampah daun kering pun berserakan di mana-mana, menambah kumuhnya tempat tinggal yang akan mereka masuki. Namun, seekor burung gagak tiba-tiba mendarat di atas batu, dekat pintu masuk, menambah ketakutan mereka yang dicoba diredam berkali-kali.
"Permisi--
"Tunggu, biar aku yang di depan," potong Louis menyela Adrea. "Arsen, kau menjaga paling belakang," lanjutnya memerintah Arsen.
Mengikuti formasi Louis, mereka semua mulai memasuki rumah yang ternyata tidak dikunci. Deyna mendekap ransel kecil yang berisi Berliana Biru dan buku Hirawan Bulao, ia diberi kepercayaan oleh Adrea untuk membawa dua benda itu selama perjalanan tadi. Lain halnya Cahya, ia beringsut mendekati Kinnas sembari memindai awas, ketakutannya semakin menjadi setelah memasuki bangunan ini.
Pengap dan berdebu. Adrea terus mengibas-ngibaskan tangannya, menghalau serbuk halus yang berusaha memasuki hidungnya. Setelah dilihat semakin jelas, terdapat banyak kerangka hewan yang dipajang di beberapa sisi, termasuk kepala kerbau dengan ukuran lumayan besar. Ada juga kepulan asap putih yang keluar dari dalam gentong kecil di atas meja. Entah apa isinya, mereka semua tidak tahu.
"Anak Muda, ada keperluan apa kalian kemari?"
Sosok wanita tua memakai jubah serba hitam, tetiba datang mendekati gentong kecil seraya menatap keenamnya tajam. Seluruh rambutnya telah memutih, wajahnya pun terlihat menyeramkan, membuat Cahya langsung bersembunyi di balik punggung Kinnas yang ternyata sama takutnya.
Adrea segera membalikkan tubuh, memberi kode pada Kinnas untuk maju bersamanya. Mau tak mau, keduanya berjalan mendekati wanita tua itu dengan Louis yang berusaha menyamai langkah. "Nenek, kami ingin--"
"Sham. Panggil aku, Sham."
Adrea reflek mengangguk. "S-sham, kami ingin menghentikan ritual Berliana Biru. Kami ingin berhenti menjadi perempuan 'pemilik'."
Sham membuka mulutnya, mengadu gigi atas dan bawah yang terlihat meruncing. "Dari mana kalian mendapatkan berlian itu?"
Adrea mengerutkan kening. "Itu bukanlah hal penting. Kami datang padamu, untuk meminta bantuanmu."
Sham tertawa. "Berliana Biru adalah benda keramat. Berlian itu berbahaya. Sangat."
Adrea dan Kinnas menelan ludah. Sepersekian detik keduanya diam, menyebabkan atmosfer terasa semakin mencekam. Apalagi suara burung gagak yang seolah mengitari mereka di atas rumah. Cahya di belakang turut gemetaran, dan Deyna yang menyadari langsung menggenggam jemari gadis tersebut.
"Karena itu kami ingin berhenti, Sham. Tolong bantu kami." Kinnas menangkup tangan di depan dada, diikuti Adrea di sampingnya.
Sham tidak menjawab, ia memejamkan mata sambil bergumam entah apa. Terus seperti itu sampai gentong kecil mengeluarkan asap tebal berwarna merah. Seketika, semuanya terkejut bukan main. Louis menarik Adrea dan Kinnas untuk berlindung di balik punggungnya, begitu pula Arsen yang berjaga di belakang, ia senantiasa menatap awas sekitar. Keempat gadis itu terkepung oleh dua pemuda yang saling mengelilingi depan dan belakang.
Sham menyorot Adrea, Kinnas, dan Cahya secara bergantian. "Ternyata kalian bertiga."
"D-dia, tidak sengaja menjadi perempuan 'pemilik'." Adrea menunjuk gadis berponi yang berada tepat di sampingnya.
"Dia belum melakukan ritual, jadi hidupnya masih aman." Sham mengarah ke Cahya kemudian melanjutkan, "tetapi tidak dengan kalian berdua."
Adrea dan Kinnas saling pandang, sama-sama merasakan aura tidak aman dari pandangan Sham yang tetap mengawasi keduanya.
"Sudah sampai ritual ke berapa?" tanya Sham pada Adrea dan Kinnas.
"Ritual kedua--"
"Apa?!" Sham melebarkan matanya. "Kalian benar-benar lancang! Anak Muda yang tidak memikirkan konsekuensi seperti kalian, haruslah menerima pelajaran yang setimpal."
Adrea sontak bersimpuh. "Aku mohon, tolong kami, Sham. A-aku akan membayar berapa pun yang kau minta."
"Uang tidak bisa menghentikan kematian, Anak Muda." Sham membalikkan badan lalu menyeringai.
"Maksudnya?" Louis menyela. "Kau tidak bisa membantu menghentikannya? Bukankah kau Dukun sakti yang--"
"Cukup! Aku tidak bisa membantu!"
Adrea terkejut, ia lekas mendekati Sham untuk meraih tangan wanita itu. Namun, belum sampai ia menggapai, Sham telah menghilang bersama asap hitam. Kalang kabut, Adrea berjalan ke sana kemari seraya memanggil nama 'Sham' berulang kali.
Hingga akhirnya Adrea terduduk lemas, ia meraih angin dengan tatapan putus asa. Tidak jauh berbeda, Kinnas mulai ambruk jika saja Arsen tak cepat menopang tubuh gadis itu. Cahya pun turut merangkul pundak sahabatnya, merasa sedih akan takdir Kinnas yang harus serumit ini.
Dalam pandangan yang mulai mengabur, Adrea beranjak berdiri menghampiri teman-temannya. Tampangnya sangat berantakan, tetapi ia tak hiraukan. Dengan sisa-sisa tenaga, Adrea lantas mengajak mereka untuk pulang. Memulai kembali perjalanan, membawa hasil yang tidak sesuai harapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top