Bab 24 •Berliana Biru•
"Kinnas, di mana laptopku?" Juan mengetuk pintu kamar adiknya sedikit tidak sabaran, tak mengiraukan suara air keran mengalir dari dalam kamar mandi.
"Di kamarku, masuk saja. Aku sedang mandi!" Kinnas berteriak, membuat Juan mengangguk lalu membuka pintu kamar.
Lelaki yang telah memakai seragam kerja itu lekas mengedar pandangan. Memindai seluruh sudut ruangan yang terlihat begitu rapih. Satu meja di samping tempat tidur, yang merangkap sebagai meja belajar beserta rak buku, membuat langkah kaki Juan mengarah ke sana. Dengan segera ia mengambil benda satu-satunya sebelum tali berserat terlihat menyembul dari bawah selimut.
Mengikuti rasa ingin tahu, Juan langsung memindahkan selimut bergambar kartun milik Kinnas, hingga memperlihatkan buku usang bersampul cokelat. Jemarinya meraba tulisan timbul berwarna emas, merapalkan judul besar dalam hati seraya mengerutkan dahi. Selanjutnya, Juan membukanya, melihat sampul dalam berlanjut halaman pertama. Gambar kalung yang terlihat sama seperti tiruan Berliana Biru--
"Kak Juan!"
Juan tersentak begitu Kinnas menarik paksa buku dalam genggamannya. Ia keheranan melihat reaksi adiknya tampak begitu marah. Dadanya naik-turun, bahkan bola matanya terlihat membesar seolah akan melahap Juan yang dengan berani menyentuh benda miliknya. Namun, kening Kinnas yang mulai mengernyit seraya meraba dada kiri, sesaat menyebabkan Juan khawatir.
"Kin, kau ti--"
"Kenapa, Kakak, masuk kamarku?" Kinnas bertanya setelah mengatur napasnya dan bergumam maaf.
"Kau tadi menyuruhku, dasar pelupa! Ini, laptop yang semalam kau pinjam untuk membuat tugas esai."
"Y-ya, maksudku ... kenapa, Kak Juan, menyentuh buku milikku?"
"Aku hanya melihatnya, Kin, tidak merusaknya. Lagipula tampilannya kuno sekali. Dari mana kau mendapatkan buku itu?"
Kinnas gelagapan. Sebisa mungkin ia mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat tidak mencurigakan. "T-tentu saja dari perpustakaan Snasa."
Sontak Juan menyipitkan matanya. "Benarkah? Kenapa aku tidak melihat cap Snasa School di dalamnya?"
"Itu ... itu karena buku lama."
"Jangan berbohong, Kinnas."
"Sudahlah, Kak, mengapa juga kau mencampuri masalah perbukuanku?"
"Karena gambar kalungnya terlihat sama--" Juan mengatupkan mulutnya, ia hampir keceplosan.
"Gambar kalung? Sama, sama seperti apa maksudnya?" Kinnas mendekati Juan. Ia mulai merasa was-was kalau Juan mengetahui tentang Berliana Biru.
"Juan, Kinnas, ayo makan! Sarapannya sudah siap!"
Teriakan sang ibu menyudahi sesi saling pandang keduanya. Kinnas langsung mendesah lega bercampur bingung--perihal kalimat terakhir kakaknya yang terdengar ambigu. Sedangkan Juan pun sama, ia terus memikirkan buku berjudul Hirawan Bulao yang ternyata menyimpan beberapa gambar kalung, seperti kalung tiruan Berliana Biru yang pernah Selena tunjukkan padanya. Satu pertanyaan, mengapa Kinnas bisa menyimpan buku tersebut?
Dan teruntuk Kinnas yang telah menapaki pasar tradisional, ia berusaha mengenyahkan kejadian tadi. Dengan cekatan Kinnas menyusun tiga bangku berjejer di depan kedai, bersama Hanna yang tengah menata beberapa biskuit ke dalam etalase. Minggu pagi, keadaan pasar menjadi lebih ramai daripada hari biasanya. Berbagai macam pengunjung turut menambahi, termasuk seorang gadis bersetelan hitam-putih menghampiri kedai yang baru separuh terbuka.
"Adrea?"
Hanna mendongak begitu putrinya menyebut nama yang menurutnya tak asing. Seketika mulutnya menganga, mendapati Adrea yang merupakan anak dari Perdana Menteri, berdiri tepat di depan kedai. Hanna lekas tersenyum ramah kemudian melirik Kinnas seolah meminta penjelasan. Putrinya memang bersekolah di tempat yang sama dengan Adrea, tetapi Hanna tidak menyangka bila Kinnas berteman dengan gadis yang kini telah menyapanya begitu sopan.
"Halo, Bibi."
"H-halo, Nona--"
"Adrea saja." Adrea mendekati Kinnas tanpa melunturkan senyuman di wajahnya. "Maaf jika kedatanganku terlalu pagi, aku ingin membicarakan sesuatu dengan Kinnas, Bibi."
"Tentu saja, silahkan." Hanna berjalan keluar kedai. "Jika tidak nyaman duduk di depan, di belakang saja, lebih sepi. Ayo! Kinnas, ajak Adrea kemari," lanjutnya sembari mengarahkan keduanya ke bagian belakang kedai.
Tanpa banyak bicara Kinnas mengikuti ibunya, begitupun Adrea. Di sana ada sebuah bangku panjang menempel pada pagar besi. Pohon rindang yang tumbuh di dekat pagar, memayungi tempat duduk keduanya hingga mampu menghalau terik sinar matahari di siang hari. Adrea sendiri menikmati semilir angin yang menerbangkan sebagian rambut ikalnya. Dan Kinnas, ia hanya menatap Adrea penuh tanya.
"Aku memutuskan untuk tidak lagi menggunakan kekuatannya," ujar Adrea setelah terdiam cukup lama.
"Katakan dalam hati dan jentikan?”
Adrea mengangguk. “Ini hari terakhir pantangan ritua kedua," katanya kembali membicarakan hal berbeda.
"Benarkah?" Kinnas segera membuka ponselnya untuk mengecek kalender. "Benar. Sudah 15 hari. Sepertinya, aku juga akan berhenti menggunakan kekuatannya, " lanjutnya seraya memandang telapak tangannya sendiri.
Adrea tersenyum tipis. "Bagaimana, Kin, apa tetap akan berlanjut?"
"Sebentar, Dre. Bisakah kita bahas ini nanti." Kinnas mengembuskan napas kasar mendengar perkataan Adrea mengarah kemana.
"Iya, maafkan aku jika kedatanganku kurang tepat. Tapi, Kin, aku mulai merasa takut."
"Begitupun aku, Adrea."
"Kalau begitu mari mencari cara. Jika memang berhenti merupakan keputusan yang terbaik, mari kita lakukan--"
"Tunggu dulu," potong Kinnas. "Aku masih memiliki masalah lain, Dre, bukan hanya tentang Berliana Biru. Tadi ... tadi Kak Juan tak sengaja mengetahui buku Hirawan Bulao."
"Apa?! Bagaimana bisa?" Adrea membekap mulutnya sendiri, menyadari suaranya yang mulai meninggi.
Kinnas mendesah pelan. "Entahlah. Dia tiba-tiba sudah memegang buku itu, dan membuka halaman pertama. Anehnya, Kak Juan seperti mengetahui sesuatu."
"Sesuatu?"
Kinnas manggut-manggut. "Tapi itu bukan masalah utama, Dre. Lebih baik kita fokus, bagaimana cara agar berhenti menjadi perempuan 'pemilik'."
Adrea tak merespon apa-apa, ia sudah berlarut pada pertengkaran batin yang tidak juga menemukan petunjuk dari persoalan pelik keduanya. Mendadak, ia terpikir oleh Cahya. Gadis itu telah menjadi perempuan 'pemilik' tanpa alasan yang jelas, membuat Adrea semakin gencar mencari upaya untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Aku punya rencana," ujar Adrea.
•••
Sybl terus menyusuri lorong Istana bagian selatan, hendak menghampiri kamar putri satu-satunya yang diberi kepercayaan untuk menyimpan kalung Berliana Biru. Minggu pagi, sarapan telah tersedia di meja panjang, tetapi ketidakhadiran Selena menyebabkan Sybl harus turun tangan. Selena kerap kali melewatkan jadwal makan pagi, alasan kesiangan beserta tugas kuliah yang menumpuk selalu menjadi alibi andalannya. Namun, ini hari libur, dan Sybl tidak mau mendengar putrinya kembali menolak dengan alasan klasik.
"Selena," panggil Sybl setelah membuka pintu kamar Selena yang ternyata tidak terkunci.
"Hm, iya, Ibu." Selena menoleh dengan keadaan tangan tetap di depan kening, mengukir alis.
"Kau berdandan di hari libur?" tanya Sbyl seraya mendaratkan bokongnya ke atas kasur.
"Aku akan pergi sebentar, Ibu. Tentang sarapan, aku tidak akan melewatkannya."
"Kau selalu bangun pagi, tapi selalu melewatkan sarapan."
"Tapi hari ini tidak." Selena membalikkan tubuhnya, menatap sang ibu.
Lantas Sybl tersenyum geli. "Di mana kau menyimpan Berliana Biru? Ibu ingin melihatnya." Hampir tiga bulan Sybl tidak melihat kalung warisan Kerajaan Tora tersebut. Jujur saja sedikit membuatnya khawatir mengingat buku Hirawan Bulao telah hilang dari perpustakaan Istana.
Selena segera beranjak, mengambil dua kotak dari dalam lemari. "Ini yang asli, dan ini yang tiruan."
Sybl membuka kotak cokelat pertama yang menyimpan berlian tiruan, lalu kotak kedua, hendak mengecek Berliana Biru yang asli. Namun, bukan kalung perak berliontin berlian putih yang Sybl lihat, melainkan kalung emas berbandul bulan sabit yang entah mengapa berada di sini. Sybl menjatuhkan kedua benda itu sangking terkejutnya, menarik perhatian Selena untuk lekas melangkah mendekati ibunya.
"Di mana yang asli, Selena?!"
Selena tertegun, wajahnya memerah panik melihat Berliana Biru telah berganti menjadi kalung emas. "W-waktu itu, a-ada di sini, Ibu. Mengapa--astaga!" Selena menjambak rambutnya frustasi.
"Tidak-tidak." Sybl berpegangan pada lemari kayu di dekatnya, seolah dua kakinya tak mampu menopang tubuhnya sendiri. "I-ibu, akan memberitahu Ayah terlebih dahulu," lanjutnya kemudian melenggang pergi.
Meninggalkan Selena yang masih kalang-kabut. Ia bergerak gelisah hingga mengecek kembali dua kotak yang telah berserakan di atas lantai. Selena takut, terlihat dari tangannya yang terus gemetaran. Mondar-mandir tidak tentu arah, Selena mencoba mengingat hal apa yang membuat Berliana Biru hilang begitu saja. Hingga satu nama tercetus dalam kepalanya, segera Selena mengambil ponselnya untuk menelpon seseorang.
"H-halo, Juan." Selena bersuara setelah panggilan tersambung.
Juan yang berada di minimarket langsung mengerutkan dahi mendengar nada bicara kekasihnya yang jauh dari kata baik. "Ada apa, Selena--"
"Berliana Biru, Ju! Berliana Biru hilang!"
Juan teperangah. Pemuda itu seketika terduduk lemas seraya menjauhkan ponselnya dari telinga, tak menghiraukan Selena yang masih memanggil namanya. Menelan ludah susah payah, Juan berusaha meredam rasa panik karena ketidakjujurannya. Kendati dalam benak Juan berpikir, kalau kalung yang waktu itu ia lihat merupakan Berliana Biru yang asli.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top