Bab 23 •Should We Stop?•
Semenjak awal bulan ini, tidak ada lagi kegiatan tidur di perpustakaan Snasa setelah bel pulang berbunyi. Kinnas harus bergegas pergi ke apartemen--mengambil beberapa biskuit untuk menjualnya di pasar tradisional. Kondisi Hanna semakin melemah, sakitnya waktu itu seperti menjadi awalan bahwa penyakit lambung Hanna sudah di tahap kronis. Namun, ibunya tetaplah sosok keras kepala, karena Hanna selalu menemani Kinnas berdagang meskipun bibir pucatnya tidak juga hilang.
"Mulai besok, Ibu, di apartemen saja. Aku takut, Ibu, kembali kambuh karena kelelahan." Kinnas menyusun tiga bangku menjadi satu, lalu meletakkannya di bagian belakang kedai.
"Ibu tidak apa-apa, Kinnas."
Kinnas mendesah pelan. Berulang kali ia mengingatkan, berulang kali juga Hanna mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. "Baiklah. Pulang nanti, Ibu, harus langsung istirahat."
"Iya, Kinnas. Kau ini cerewet sekali," ujar Hanna seraya menjawil dagu putrinya.
Keduanya tertawa, sesaat menghilangkan rasa lelah karena melayani banyak orang sampai hari menjelang malam. Kinnas sendiri merasa bersyukur sebab kedai yang menjual aneka panganan kering milik ibunya acapkali ramai pembeli. Apalagi sosok perempuan barmasker hitam yang selalu memberi uang tambahan. Namun, beberapa hari terakhir kehadirannya menjadi jarang, bahkan sudah terhitung seminggu perempuan itu tidak kemari.
"Halo, Kinnas! Halo, Bibi Hanna!"
Cahya datang setelah turun dari taxi online. Sebentar tersenyum ramah pada Hanna sebelum menghampiri Kinnas yang telah berjalan di depan kedai.
"Bagaimama kabarmu, Cahya? Sudah lama kau tidak main ke sini," ujar Hanna.
"Maaf, Bibi. Akhir-akhir aku lumayan sibuk." Cahya menyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Ha? Kinnas melirik sinis, menduga kalau kesibukan Cahya hanya seputar menonton drama Korea ataupun streaming musik video boyband kesukaannya.
"Kin, astaga. Wajahmu kusut sekali," bisik Cahya begitu mendekati Kinnas.
"Jika kedatanganmu hanya ingin menghinaku, lebih baik pergi saja." Kinnas mendesah kasar. "Lagipula tidak biasanya kau kemari."
"Aku masih ingin menanyakan soal kemarin."
Sontak Kinnas membalikkan tubuhnya, memandang Cahya yang menunjukkan ekspresi penuh harap kepadanya. "Tentang kau yang menjadi perempuan 'pemilik'?" tanyanya memastikan. Sesaat memindai sekitar jika Hanna tidak mendengar pembicaraan mereka.
"Iya, Kin. Tidak bisakah kau menghilangkan--maksudku, menghentikan diriku agar tidak lagi menjadi perempuan 'pemilik'." Tatapan Cahya terlihat sayu, senyuman yang sempat menghiasi wajahnya telah luntur begitu saja.
"Aku sudah bilang, Cahya, aku juga tidak tahu."
"Tapi, aku takut, Kinnas. Bagaimana bisa tiba-tiba aku menjadi perempuan 'pemilik'?"
"Memangnya apa yang kau lakukan pada buku Hirawan Bulao sebelumnya?"
"Tentu saja hanya membacanya."
Kinnas terdiam. Jujur saja ia tidak mengerti. Penjelasan yang sempat Adrea terangkan tidak menjawab semua pertanyaannya. Buku Hirawan Bulao sukar ditebak, semakin membingungkan Kinnas mengapa terkadang memunculkan isi lembar ketiga di waktu yang berbeda.
"Lebih baik kau terima saja--"
"Apa?! Tidak-tidak, aku tidak mau berurusan dengan sihir."
"Lalu, apa kau mempunyai cara untuk menghentikannya?"
Seketika Cahya menunduk lesu. Gadis penakut sepertinya hanya akan mempersulit hidupnya, bila ia terperosok dalam hal-hal gaib yang terkesan horor. Kendati di bayar mahal pun, Cahya tidak akan membiarkan dirinya ikut campur pada apapun yang berkaitan dengan sihir.
"Apa kau tidak mau berhenti, Kin?"
"Maksudmu?" Kinnas memandang Cahya gamam.
"Membuat permohonan pada Berliana Biru. Apa kau tidak takut konsekuensinya?"
Konsekuensi. Kinnas termenung cukup lama. Selama hampir dua bulan ia tidak memikirkan sesuatu yang seharusnya menjadi persoalan pertama. Jikalau memang benar membuat permohonan ada akibatnya, apa yang akan Kinnas dapatkan? Terdengar bodoh, tetapi ia tidak mengetahui konsekuensi dari menjadi perempuan 'pemilik'. Dan, Adrea pun sama, bukan?
Memilih menyudahi pembicaraan yang tidak menemukan titik terang, Kinnas menitipkan sang ibu pada Cahya untuk mengantarnya sampai ke apartemen. Setelah ini, Kinnas akan bekerja paruh waktu di salah satu minimarket, dekat taman pusat kota Melawa. Pekerjaan yang sangat sulit mendapatkan ijin dari orangtuanya itu sudah berjalan kurang-lebih seminggu. Perekonomian yang semakin menurun, membuat Kinnas harus bertekad demi melangsungkan hidupnya. Termasuk hidup ibu dan ayahnya.
Bus yang Kinnas naiki hanya berisikan empat orang, termasuk sopir. Jarak antara pasar tradisional dan taman pusat tidak terlalu jauh, terbukti dari pancuran tingkat tiga telah terlihat di matanya. Pancuran minimalis dengan air kolam jernih menemani langkah kaki Kinnas sampai memasuki minimarket. Sekonyong-konyong Kinnas menarik napas perlahan, memulai pekerjaannya dengan semangat yang sempat luntur.
Tidak ubahnya Adrea. Gadis itu terus memandangi Kinnas dari balik jendela mobil yang terparkir di halaman luas taman. Ajakan dari sang nenek mengakibatkan ia berada di sini. Sosok wanita dengan setelan serba hijau terlihat tersenyum seraya melihat-lihat keadaan panggung yang tengah dibangung di pinggiran taman. Festival Tebar Bunga, Adrea menduganya.
"Kau tidak mau keluar, Adrea? Mendahului Tebar Bunga karena banyaknya pemuda di sana. Mungkin saja salah satunya berhasil memikat hatimu."
Adrea menganga mendengar ucapan Maia. Ia sedikit memperbaiki posisi duduknya lalu menoleh ke arah lain. "Aku tidak berniat, Nenek."
"Dasar!" Maia menggelengkan kepala. "Apa tidak ada yang menarik perhatian, Adrea, selain Louis?" tanyanya menggoda sang cucu.
"A-apa? Louis? K-kami hanya teman." Adrea merutuki dirinya sendiri, mengapa juga ia harus tergagap.
Maia lekas terkekeh geli. "Baiklah. Mungkin umurmu belum menyadari semuanya."
Adrea tidak menjawab. Pikirannya langsung berpusat pada Louis, bukan sebab ia suka atau tidaknya dengan pemuda itu, Adrea hanya teringat perdebatan mereka kemarin sore. Bahkan saat di sekolah tadi, sikap Louis semakin dingin. Sosok yang biasanya selalu bertanya dan membuka pembicaraan, tetapi mendadak diam, jujur saja membuat Adrea tidak nyaman. Alasan yang sama kenapa Adrea mulai ragu akan ritualnya terhadap Berliana Biru.
"Nenek, apa konsekuensi menjadi perempuan 'pemilik'?"
Maia menoleh, sesaat mengerutkan kening mengapa tiba-tiba Adrea menanyakan hal demikian padanya. "Kematian. Jika si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir."
"Jika si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya."
Adrea mengerjap. Perkataan Mia pada saat acara ulang tahun Selena memenuhi kepalanya. Terdengar sejelas itu, tetapi Adrea melupakan perihal penting dengan terus menutup telinga. Kematian, akankah hidup Adrea berakhir hanya karena gagalnya melakukan ritual sampir akhir? Astaga! Ia hanya seorang remaja. Remaja yang masih menyimpan banyak penasaran hingga tidak memikirkan akibat yang menyertai.
Sontak Adrea membuka pintu mobil, sempat meminta ijin pada Maia untuk pergi membeli minuman dingin di minimarket. Cara lain guna menghampiri Kinnas sebab Adrea tidak sanggup jika menanggung beban dari tindakan yang mereka perbuat sendirian. Bertukar opini, mencari solusi, karena Adrea mulai merasakan takut setengah mati.
"Kinnas, bisa kita bicara?"
Kinnas tersentak, ia sampai berpegangan pada rak makanan yang ada di hadapannya. Memindai Adrea dari atas sampai bawah, menimbulkan satu keputusan kalau gadis itu sedang dilanda masalah. Namun, apa? Apa masalah yang menyangkut Adrea sama dengan peliknya hidup Kinnas saat ini.
"Adrea, kenapa kau di sini?"
"Bisakah kita bicara, berdua?" Lagi, Adrea mematri Kinnas penuh sarat.
"Tidak bisa, Dre, aku sedang bekerja." Kinnas menaikkan bahunya, seolah menunjukkan seragam yang ia pakai tidak menyetujui permintaan Adrea.
"Baiklah." Gadis yang masih memakai pakaian sekolah itu mengembuskan napas. "Tapi, Kin, pernahkah kau merasa takut akhir-akhir ini?"
Kedua alis Kinnas bertaut, tampak berpikir. "Maksudmu? Takut tentang Berliana Biru?"
"Benar. Lebih tepatnya, menjadi perempuan 'pemilik'."
"Sekarang kau merasa ragu, Dre?"
Lidah Adrea terasa kelu, sepersekian detik ia terdiam tak menanggapi lalu mengatakan, "Konsekuensinya kematian."
Lekas Kinnas membulatkan mata, ia begitu terkejut mendengar perihal baru yang ternyata menyangkut nyawanya. "T-tidak mungkin, Dre. Dari mana--"
"Nenekku, dan dia tidak mungkin berbohong tentang hal itu."
Kinnas mengusap kening, merasakan keputusasaan menggerogoti keyakinan yang sempat ia pegang teguh. Haruskah hidupnya berakhir seperti ini? Berakhir mati konyol karena gagal melakukan ritual Berliana Biru. Hidupnya sudah terlalu rumit, mengapa masalah baru turut hadir, Kinnas merasa tidak sanggup.
"J-jika kita tetap berlanjut. Mungkin saja--"
"Kau tetap ingin melanjutkan semuanya, Dre? Ini tentang nyawa!"
"Lalu bagaimana? Kita tidak mempunyai solusi untuk menghentikannya, Kinnas."
"Astaga!"
Mata Adrea berkaca, terlihat dari pandangannya yang mulai mengabur. Segala kemungkinan hadir semakin memperjelas--kalau langkah yang sudah mereka ambil merupakan kesalahan fatal. Melihat Kinnas terduduk lemas di atas lantai, Adrea hanya berdiam diri. Ia terlalu sibuk mencari upaya untuk menyelesaikan masalah yang nyatanya tidak menghasilkan apa-apa.
Note :
*Di Tora terdapat Perayaan Festival Tebar Bunga yang diadakan di taman pusat Melawa. Menjadi ajang tahunan yang identik dengan mencari jodoh. Banyak muda-mudi yang datang ke acara ini karena ditetapkan sebagai hari libur Nasional. Terdapat tradisi Tangkap Tangkai bagi perempuan yang menerima pernyataan cinta laki-laki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top