Bab 21 •Dizzying•


Aku menunggumu, Kin.

Kinnas membaca pesan dari Adrea begitu mendengar suara notifikasi masuk. Mereka berdua memang sudah berjanji sebelumnya, bertemu di rumah lama gadis berambut ikal tersebut. Dalam perjalanan bus sore ini, Kinnas sedikit merasa kesal sebab Cahya turut duduk di sampingnya, membututi Kinnas semenjak kejadian tadi pagi.

Dan setelah kejadian itu pula, ia dan Adrea tidak lagi bertemu sampai bel pulang berbunyi. Mungkin saja penyebab yang sama mengapa Adrea mengirimkannya pesan demikian. Namun, kehadiran Cahya yang ikut serta membuat Kinnas gencar berpikir. Ia tidak mungkin membiarkan Cahya mengetahui rahasia yang sudah Kinnas dan Adrea tutupi susah payah. Permasalahannya, apa alasan yang cukup logis untuk mengusir Cahya.

"Apa kau tidak berniat pulang?" Kinnas bertanya tanpa memandang gadis yang kini mengernyit bingung ke arahnya.

"Aku ingin main bersamamu, Kin. Lagipula kau akan pergi ke rumah Adrea, bukan? Jadi, biarkan aku ikut." Cahya bersedekap seraya cengar-cengir.

"Kenapa kau ingin ikut dan ingin tahu?"

"Karena kau mencurigakan."

"Apa?!"

Cahya tertawa melihat Kinnas mendelik marah. "Jujur saja, kau menyembunyikan sesuatu, benar?"

"T-tidak." Kinnas berdehem. Ia mulai merasakan sakit di dada kiri karena hampir termakan emosi. Pantangan ritual kedua, perkataan Adrea saat itu membuatnya tersadar.

"Kalau begitu ceritakan tentang buku tadi. Hir--apa namanya, Hiruan--"

"Hirawan Bulao," potong Kinnas spontan.

"Itu dia, Hirawan Bulao. Kau mengatakan jika buku itu membahas tentang Berliana Biru, dan mengambilnya dari perpustakaan Snasa." Cahya berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan, "dan tentang kalung perak tadi, apa benar ada hubungannya dengan Berliana Biru?"

Kinnas terdiam. Ia sedikit menyesal sebab dulu menunjukkan buku Hirawan Bulao pada Cahya. Celakanya lagi, Cahya melihat Kinnas membuka buku bersampul cokelat itu menggunakan kekuatannya, saat berada di dugout bagian pojok. Mengakibatkan mereka sampai berlarian di sepanjang lorong begitu Cahya menarik paksa buku Hirawan Bulao dari genggaman Kinnas.

"Boleh aku meminjam bukunya, Kin."

Lantas Kinnas menoleh. "Untuk apa?"

"Membacanya tentu saja."

Embusan napas kasar terdengar, disusul decakan kesal dari mulut Kinnas yang bersandar pada kursi bus. "Tidak."

"Aku mohon, Kin. Aku hanya meminjamnya, bukan mencurinya." Cahya menarik ujung kemeja putih Kinnas yang tidak lagi tertutup almamater.

"Tidak, Cahya."

"Aku ingin tahu apa Berliana Biru benar nyata."

"Sudah ku katakan, tidak."

"Kalau begitu ceritakan tentang Berliana Biru padaku."

"Ya ampun, Cahya."

"Ayolah, aku akan mentraktirmu chicken kat--"

"Ini, baca sendiri!" Kinnas menyerahkan buku Hirawan Bulao sebelum mengambilnya dari dalam ransel yang ia bawa.

Melalui ekor mata, Kinnas bisa melihat wajah berbinar Cahya setelah mendapatkan apa yang ia mau. Memilih tidak peduli, Kinnas lekas memejamkan matanya sambil menunggu kendaraan yang mengangkut mereka berdua berhenti di tempat tujuan. Kendati rasa gusar belum hilang sepenuhnya--mengingat teman terdekat Adrea juga menjadi saksi atas kejadian di lorong lantai tiga.

Lagi, Kinnas menoleh untuk menatap Cahya. Gadis itu begitu serius membaca kalimat yang tertulis di halaman kedua. Besar hasrat Kinnas mengambil paksa buku Hirawan Bulao agar Cahya tidak mengetahui semakin banyak hal yang tersembunyi, tetapi selalu diurungkan karena rasa lelah seolah menguras seluruh energinya. Kinnas terlalu letih untuk kembali berdebat dan berkejaran dengan Cahya.

"Astaga, Kinnas!"

Kinnas tercengang bukan main begitu melihat lembar ketiga memunculkan setitik cahaya. Merasa tidak asing, hal yang selanjutnya terjadi menyebabkan Kinnas membekap mulutnya tak percaya. Timbul susunan kata yang menjelaskan tata cara penggunaan Berliana Biru. Sekonyong-konyong Kinnas merasa bingung, ia menoleh guna memindai Cahya yang tampak linglung.

"K-Kinnas, b-bagaimana bisa, Kin?!" Cahya menarik kemeja Kinnas dengan pandangan gelisah.

Sedangkan Kinnas tak menjawab. Ingatannya kembali berputar kala pertama kali menunjukkan buku Hirawan Bulao pada Cahya. Semua tampak biasa saja, bahkan lembar ketiga tidak menampilkan sederet kata ketika dipegang oleh Cahya. Namun, mengapa sekarang berbeda? Kinnas sampai tak henti-hentinya menganga hingga bus yang mereka naiki telah berhenti di salah satu halte.

"Ayo, kita turun sekarang." Lekas Kinnas menarik lengan Cahya, menuntun gadis yang masih mengerutkan kening itu keluar dari dalam bus.

"T-tapi, itu tadi tidak--"

"Ssst, kita bahas nanti di rumah Adrea."

Cahya tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Ia hanya pasrah tubuhnya ditarik Kinnas melewati pertigaan perumahan mewah. Hingga Cahya yang mulanya memandang awas sekitar kini teralihkan tatkala langkah kaki mereka tiba di depan gerbang salah satu rumah. Gaya bangunan yang tak biasa, sempat membuat Cahya terkagum oleh indahnya dua pilar yang terbuat dari batu alam.

Dan seorang wanita berpakaian maid tersenyum, menyambut keduanya di ambang pintu. Kinnas yang sering berkunjung menjadikan alasan mengapa bibi Anne tampak tak asing ketika melihat gadis berkepang sepertinya.

"Mari, Nona Kinnas, saya antar menuju taman belakang. Begitupun Nona--"

"Cahya," potong Kinnas memberitahu bibi Anne yang langsung mengangguk paham.

"Nona Cahya. Teman-teman yang lain sudah menunggu sedari tadi."

Kinnas mengernyit, kalimat bibi Anne seolah mengatakan kalau ada orang lain selain Adrea yang menunggu. "Apa ada--"

Hirawan Bulao.

"Kinnas! Ada suara!"

Kinnas terlonjak kaget, begitupun bibi Anne yang sampai memutup kedua telinganya. "Ya ampun, Cahya. Ada apa denganmu sebenarnya?!" tanyanya seiring menatap Cahya yang tengah bersembunyi di balik punggungnya.

Hirawan Bulao.

"Ibu!" Lagi, Cahya berteriak. "Aku ingin pulang, Kin! Bawa aku pulang!"

"Tidak! Kita sudah sampai di sini."

Dengan segera Kinnas membawa Cahya masuk ke dalam rumah. Senyuman singkat yang ia berikan pada bibi Anne seperti memberi tanda kalau mereka baik-baik saja. Meskipun kenyataannya tidak. Kinnas harus mengerahkan seluruh tenaganya, ia bahkan berdecak beberapa kali. Namun, wajah takut Cahya sampai mata berkaca-kaca, sempat menimbulkan rasa iba sekaligus heran secara bersamaan.

Hirawan Bulao.

"Aku mendengarnya lagi, Kinnas!"

Kinnas menghiraukannya, lekas ia membuka kenop pintu kaca alumunium kala sampai di tempat tujuan. Dan, seketika mulutnya menganga, memandang tiga orang selain Adrea sedang mengelilingi Berliana Biru yang telah berubah warna serta bersinar cukup terang. Louis, Deyna, Arsen, sosok tambahan yang sesaat membuat atensi Kinnas teralihkan dari Cahya yang masih meracau.

"K-Kin, kau sudah datang." Adrea menghampiri lalu menatap Cahya gamam. "Kenapa dengan, Cahya?"

"Aku tidak tahu, Dre. Di bus ..." Kinnas menggantungkan ucapannya saat melihat tiga orang lainnya mulai mendekati ambang pintu. "Emm, itu ... Cahya tiba-tiba mendengar suara dan sebelumnya ... Dia melihat lembar ketiga memunculkan 'cara menggunakan Berliana Biru," lanjut Kinnas sedikit berbisik.

Kedua alis Adrea bertaut. Ia merasa tidak asing mengenai hal yang Kinnas katakan barusan. Menoleh ke sana kemari sambil memindai Cahya yang makin ketakutan, Adrea mencari cara agar Cahya tidak lagi mendengar suara yang entah berasal dari mana.

"Cahya, lihat--"

"Aaaaa! Apa itu?! Kenapa kalungnya bercahaya?!"

Kinnas yang berjarak dekat langsung menutup telinganya. "Cahya, jangan berteriak!"

"Cahya, suara apa yang kau dengar?" Adrea mengambil alih. Tangan yang menggenggam Berliana Biru ia sembunyikan ke dalam saku almamater.

Hirawan Bulao.

"Hirawan Bulao! Suara perempuan mengatakan Hirawan Bulao!"

Adrea dan Kinnas tertegun. Bahkan Louis, Deyna, beserta Arsen ikut tersentak meskipun mereka tidak mengerti maksud dari perkataan Cahya. Sepersekian detik diam tanpa membuka suara, Adrea sontak mengeluarkan berlian itu untuk kembali menunjukkannya pada Cahya.

"Kalungnya! Suaranya!"

"Coba kau sentuh, Cahya," perintah Adrea.

"Aku takut, ku mohon hentikan suaranya!"

"Cahya, lihat--"

Pingsan. Cahya menutup mata tak berkutip. Sontak semuanya panik bukan main, dan Louis sebagai lelaki lantas mengambil langkah untuk membantu membopong tubuh Cahya, diikuti Arsen. Anehnya lagi, Berliana Biru berhenti bersinar. Warnanya pun telah berubah putih seperti sediakala. Adrea yang menyadari semakin yakin kalau dugaannya tidaklah salah.

"Cahya telah menjadi perempuan 'pemilik' ketiga," kata Adrea setelah Cahya dibaringkan di salah satu kursi yang berukuran lebih panjang.

Dari empat lainnya, hanya Kinnas yang terkejut. "Bagaimana bi--"

"Apa itu perempuan 'pemilik'?" Louis menyela.

"Benar. Semua pembicaraan kalian tidak ada yang aku pahami satu pun," sahut Arsen.

"Aku juga ... tidak mengerti. Perihal Cahya tadi, terkesan aneh." Deyna menambahi.

Kinnas meneguk ludah kasar, ia lantas melirik Adrea yang terlihat datar tanpa ekspresi. "Orang yang membuat permohonan pada Berliana Biru disebut perempuan 'pemilik'," ujar Adrea.

Bukan hanya Kinnas, semua yang ada di sana--minus Cahya dan Adrea membekap mulut mereka masing-masing. Kinnas heran mengapa Cahya bisa sampai seperti dirinya? Semuanya terlalu memusingkan untuk di mengerti.

"Bagaimana kau mengetahui--"

"Jika Cahya yang ketiga, lalu siapa yang pertama, dan kedua?" Louis memotong ucapan Deyna kemudian memandang Adrea lekat.

"Aku dan Kinnas."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top