Bab 18 •Page Five•
“Jika kembali membahas hal yang sama, lebih baik kita sudahi saja.”
Savanna mengedar pandangan, melihat furnitur berwarna emas menghiasi ruang santai Istana Harlen. Terdapat piano di pojok kanan--jika dilihat dari pintu masuk, yang dulu sering ia mainkan bila tak bisa tidur hingga larut malam. Penyebab yang sama mengapa Savanna sering dimarahi oleh Raja ke-IX sebab mengganggu waktu istirahat saudaranya yang lain. Meskipun jarak antara ruang santai dan beberapa kamar sangat jauh--membuatnya tersenyum miris, mengingat sikap sang ayah begitu berbeda terhadap dirinya.
Sybl memainkan cincin yang melingkar di jari manisnya. “Apa tidak lebih baik kita hadirkan psikolog untuk, Lyana.”
“Anakku tidak gila! Jika kau lupa.” Sorot mata Savanna menajam, tidak peduli wanita di depannya merupakan seorang Ratu.
“Aku tidak mengatakan kalau Lyana gila, tapi pikirkan kondisi mentalnya, kau pasti sering melihatnya murung, bukan?”
“Dia seorang remaja, wajar jika bersedih sesekali karena masalah pertemanan ataupun asmara.”
“Tapi Lyana kehilangan Ayahnya. Sosok yang selalu menema--
“Lalu siapa diriku?! Aku Ibunya! Aku yang lebih mengerti tentang dirinya!”
Savanna mencengkram pinggiran sofa, sedangkan Sybl mengembuskan napas perlahan--berusaha tidak termakan emosi. Tangannya pun terangkat, menghentikan beberapa penjaga yang terlihat ingin menghampiri, karena mendengar nada tinggi Savanna begitu kurang ajar terhadap ia yang notabenenya pendamping Raja.
“Berliana Biru, Savanna. Aku takut jika Lyana mencoba ... mencurinya.” Sybl menatap Savanna yang kembali mengeraskan rahang.
“Luar biasa. Bahkan, Bibi dan Pamannya menuduh keponakannya sendiri.” Savanna menghidupkan gulungan tembakau, menghisapnya, lalu mengembuskan kepulan asap putih. “Dengar! Aku sudah menanyakannya pada Lyana beberapa hari yang lalu. Dan dia tidak tahu-menahu tentang berlian sialan itu,” lanjutnya kemudian beranjak pergi.
“Lyana belum bisa kehilangan Albert. Aku takut jika Lyana sampai mencoba membuat permo--”
“Cukup!” Savanna membalikkan tubuhnya, mengangkat telunjuk sebagai tanda diam untuk Sybl. “Kenapa tidak tanyakan pada dua Putramu yang sama-sama memiliki ambisi untuk menjadi Raja!”
“Baiklah.” Sybl berdiri dari duduknya. “Terlepas dari itu semua ... tidakkah kau memikirkan kondisi mental Lyana,” lanjutnya sendu.
Perkataan Sybl barusan mengakibatkan sedikit perbedaan di wajah memerah Savanna. Mengepalkan tangan kuat-kuat, Savanna memutuskan kembali berjalan meninggalkan Sybl. Membawa semua opini yang menurutnya benar. Namun, di ambang pintu Savanna harus bersisian dengan Andreas. Senyuman tipis sang kakak tak ayal membuatnya membalas hal sama. Melainkan tetap melanjutkan langkah, tanpa memberi hormat mengingat kedudukan Andreas lebih tinggi darinya.
“Apa yang terjadi--”
“Buku Hirawan Bulao tidak ada di perpustakaan Istana,” ungkap Sybl memotong kalimat Andreas.
•••
Adrea bersandar pada headboard kasur, membuka tiap lembar buku bersampul cokelat dengan tatapan serius. Tadi, saat pulang sekolah, Adrea memutuskan untuk kembali bertukar barang dengan Kinnas. Alhasil ia memegang buku Hirawan Bulao, dan Kinnas mendapatkan kalung Berliana Biru. Ide tersebut tercetus begitu saja, mengingat sebelumnya ia bisa kembali ke masa lalu setelah memegang buku usang itu.
“Kenapa kemarin Kinnas tidak bisa masuk ke dimensi waktu?” Tangannya membuka lembar kelima. “Cahayanya muncul, tapi menghilang ... bersamaan dengan tulisan yang sempat kutulis,” lanjut Adrea seraya menengadah ke atas.
Keningnya mengernyit dalam, tanda kalau Adrea sedang berpikir keras. Langit-langit kamar berwarna putih tulang menjadi pusat penglihatan Adrea, menyorot semakin dalam hingga pandangannya nyaris kabur. Gadis itu memejamkan mata, lekas kembali memposisikan kepalanya agar tidak lagi mendongak ke atas. Selanjutnya Adrea memutuskan untuk mengambil pulpen dari dalam laci--di samping tempat tidur, dan mulai menuliskan kalimat yang sama seperti kemarin malam.
Apa isi dari lembar kelima?
Adrea menyimpan pulpennya di tempat semula. Berdiam diri, menunggu hal ajaib apa yang akan terjadi. Detik demi detik telah berlalu, tetapi sesuatu yang ia harapkan belum juga didapatkan. Sempat putus asa dan ingin menutup buku Hirawan Bulao, tiba-tiba Adrea dikejutkan oleh setitik cahaya. Semakin bersinar dan melebar, menarik Adrea masuk ke dalamnya seperti saat di mobil waktu itu.
Di dalam ruangan, yang Adrea pikir merupakan sebuah kamar sebab terdapat kasur dan beberapa lemari besar. Berjalan dua langkah, Adrea berdecak kagum begitu menyadari beberapa ukiran kayu indah--menghiasi dinding kamar. Setelah menajamkan penglihatannya, Adrea pun melihat seorang perempuan berambut hitam lurus terduduk di pinggiran kasur, membelakangi dirinya. Perempuan sama seperti di rumah kaca, tatkala pertama kali Adrea melewati dimensi waktu.
Adrea menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Sosok perempuan yang Adrea duga adalah Aurora--pencipta batu Berliana Biru menurut legenda Raja Ratu Berlian, tengah membawa keranjang buah seraya menghampiri perempuan di atas kasur. Keduanya sama-sama memakai gaun merah maroon yang terdapat renda di bagian ujung lengan, tetapi kondisi perut Aurora yang terlihat membesar menyebabkan kening Adrea mengerut gamam.
“Bagaimana, Kak, tetap ingin berlanjut?” Aurora meletakkan keranjang buah di atas nakas.
“Tentu. Sudah sampai 'ritual kedua', tidak mungkin aku akan menyerah begitu saja.” Perempuan berambut hitam itu mengambil salah satu apel lalu memakannya.
Ritual kedua? Adrea menganga, menebak kalau ia datang di waktu yang tepat. Atau memang sudah diatur sedemikian rupa? Di mana Adrea membutuhkan jawaban tentang kalimat tersirat, seperti sebelumnya.
“Atur emosimu, Kak Azura, bagaimanapun juga kau akan menjadi Ratu Armalus. Setiap keputusan harus diselesaikan secara dingin.” Adrea mengangguk paham setelah mengetahui nama perempuan berambut hitam adalah Azura.
“Jadi, apa maksudnya?”
“Tahan amarahmu, dan berusahalah hingga bulan purnama kesebelas,” kata Aurora.
Adrea mengerjap pelan. Memahami kalimat Aurora yang masih terdengar membingungkan. Mungkinkah setelah ritual kedua dilakukan ia dan Kinnas tidak boleh marah? Dan harus berusaha untuk menggapai sesuatu yang mereka mau? Berbagai kemungkinan menyebabkan Adrea semakin bingung.
Azura menghentikan kunyahan apel dalam mulutnya. “Jika aku berhasil dikuasai oleh emosi, dada kiriku akan terasa sakit?”
“Benar. Dan yang bisa menghilangkan rasa sakitnya adalah kata ... maaf.”
Sontak Azura terkekeh geli. “Berlian itu membuatku menjadi perempuan yang lemah lembut--”
“Tapi itu hal bagus, bukan?” potong Aurora. Alisnya naik-turun menggoda Azura.
“Berhentilah!” Aurora tertawa pelan, melihat Azura yang berusaha menutupi seluruh wajahnya menggunakan bantal kecil.
Begitupun Adrea. Sudut bibirnya berkedut sedari tadi, memandang interaksi dua perempuan di depan sana. Adrea tidak mengerti mengapa Aurora menggoda Azura, bahkan ia juga tidak paham tentang pembicaraan keduanya--terkecuali tentang ritual kedua. Adrea hanya merasa menghangat. Suasana di sekitarnya semakin menghangat ketika Azura membisikkan sesuatu di telinga Aurora, berlanjut tertawa bersama. Di mata Adrea, perempuan bernama Azura itu terlihat seperti malu-malu. Entah benar atau salah, mengingat dirinya juga belum mengetahui siapa Azura sebenarnya.
Tadinya Adrea masih fokus menguping pembicaraan keduanya, sebelum setitik cahaya muncul tiba-tiba, yang semakin lama semakin bersinar dan membesar. Menarik napas perlahan, Adrea membiarkan tubuhnya di bawa oleh sekumpulan cahaya. Seolah mengembalikan gadis tersebut kembali ke kamarnya.
Tahan amarahmu selama 15 hari, dan berusahalah hingga bulan purnama kesebelas.
Kalimat di lembar kelima adalah hal pertama yang Adrea lihat. Merasa paham, lekas gadis itu teringat kejadian setelah ritual kedua dilakukan, mengenai dada kirinya yang terasa sakit akibat termakan emosi. Tangannya langsung mengambil ponsel dari atas meja untuk menelpon seseorang. Belum sempat Adrea menekan ikon bergambar telepon, suara ketukan pintu dilanjut panggilan dari Kelan membuat Adrea beranjak berdiri.
“Ada apa, Ayah?” Adrea memandang bingung ayahnya setelah membuka pintu. Sempat heran mengapa Kelan pulang kerja lebih awal dari biasanya.
“Mulai lusa kau akan berlatih ice skating bersama coach Jasmine di TX rink,” kata Kelan seraya menyerahkan sebuah kotak kepada Adrea.
Apa?! Mata Adrea membulat, beriringan dengan langkah kaki Kelan yang mulai menuruni anak tangga. Siapapun, tolong sadarkan Adrea sekarang juga, ia terlalu terkejut mengenai perkataan ayahnya yang terkesan tiba-tiba. Sambil berusaha menormalkan degup jantung yang berdetak tidak karuan, Adrea segera membuka kotak biru tua itu.
Seketika, Adrea terduduk lemas di ambang pintu, melihat sepasang sepatu ice skate yang terlihat begitu indah di matanya. Sisi-sisi tajam di bagian bawah tampak mengilap, membuat Adrea terpaku hingga nyaris linglung.
Hampir menangis, Adrea sontak meraba sepatu luncur dalam dekapannya, takut jika semua ini hanyalah khayalan semata. Sedetik kemudian, sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman teramat senang. Lekas Adrea memasukkan sepatu ice skate ke dalam kotak kemudian memeluknya erat. Kembali merasakan semangat menggebu-gebu setelah dua tahun lamanya.
Note :
*TX rink = TX rink merupakan area bermain ice skating yang terletak di Melawa Change Mall. TX rink sering digunakan sebagai tempat untuk kompetisi ice skating.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top