Bab 17 •Second Ritual•


Kinnas memasuki rumah lama Adrea dengan keadaan lesu. Bahkan bibi Anne di belakangnya kerap mengernyit bingung. Wanita dewasa itu terus menemani langkah kaki Kinnas sampai di tempat tujuan. Bukan berarti Kinnas lupa di mana letaknya, hanya saja bibi Anne sudah biasa melakukan hal demikian sebagai bentuk sopannya kepada tamu. Kinnas yang diperlakukan seperti ini turut tersenyum ramah, meski tak menutup kemungkinan kalau ia masih memikirkan keadaan ibunya yang sedang sakit.

“Apa sepenting itu, Kin?” Juan mengikat tali sepatunya seraya memandang Kinnas di ambang pintu.

“I-ini penting, Kak. B-besok aku ... evaluasi harian.” Kali ini Kinnas memberi alasan akan pergi ke salah satu toko buku.

Juan menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan. “Ibu sedang sakit, Kin.”

Kinnas menunduk, menyembunyikan raut bersalahnya dari tatapan Juan. “Aku hanya sebentar, aku janji,” katanya mencoba meyakinkan.

Juan membuang muka. “Entah kau jujur atau tidak. Ingatlah, Kin ... Ibu sedang sakit!”

Kalimat terakhir kakaknya sebelum melengos pergi. Meninggalkan apartemen beserta rasa bersalah Kinnas yang semakin menumpuk. Juan akan bekerja part time, karena itu tidak bisa menemani Hanna yang mendadak demam. Teruntuk Daran, membaringkan diri di atas kasur saja kesusahan, apalagi merawat orang sakit. Sedangkan Kinnas, Juan berharap kalau adiknya itu tetap di rumah untuk menjaga ibu, karena suhu tubuh Hanna tidak kunjung turun meskipun telah meminum obat. Namun, tak disangka jika Kinnas juga hendak pergi.

“Saya permisi dulu, Nona.”

Suara bibi Anne membuyarkan lamunan Kinnas. Setelah mendongak, tirai putih bersih menjadi satu-satunya objek penglihatan. Hingga secara perlahan Kinnas membuka pintu kaca, memperlihatkan suasana taman yang begitu akrab--baginya--lalu sosok Adrea di atas kursi yang sedang memakan buah anggur menggunakan kekuatannya.

“Akhirnya kau datang, Kin.” Adrea beranjak berdiri. Mengunyah buah segar setelah menjentikan jari.

“Kau sudah menunggu sejak tadi?”

“Tidak juga.” Adrea menyatukan kedua alisnya. “Apa ada yang terjadi? Kau tampak murung.”

Kinnas mendaratkan bokongnya di atas kursi. “Ibuku sakit. Kakakku sedang pergi part time, jadi tidak bisa menjaganya.”

Lekas Adrea meringis pilu. Ia sudah mengetahui tentang kondisi keluarga Kinnas, dan setelah mendengar ibu gadis itu sakit, Adrea ikut merasa khawatir. “Dengar, Kinnas. Percaya padaku bahwa Ibumu akan baik-baik saja. Malam ini kita selesaikan secepatnya.”

“Y-ya, kau benar, Adrea.” Kinnas mengangguk setuju.

“Ini semua demi masa depan kita, Kin.”

Sempat tersenyum kecil, Kinnas segera membantu Adrea untuk mengangkat meja bundar--meletakknya di tengah-tengah taman. Setelah itu Kinnas mengambil kertas HVS, kemudian menaruhnya di atas meja. Menyusul, Adrea pun turut membuka kotak bekas yang di dalamnya berisi kalung Berliana Biru.

“Kau memberinya rumah sekarang?”

Adrea tergelak tawa, tak ayal matanya memandang liontin berlian berwarna putih. Di bawah sinar rembulan, keduanya telah bersiap untuk melakukan ritual kedua. Rasa gugup mulai menyerang, mengakibatkan Adrea mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. Kinnas berdehem sesaat, mengatur napasnya yang terasa memberat. Atmosfer antara mereka pun turut menegang, tanpa diperintah. Sontak Adrea dan Kinnas berpegangan tangan, melingkar, mengelilingi Berliana Biru beserta kertas HVS yang masih kosong.

“Hirawan Bulao tunjukkan warnamu... Perempuan 'pemilik' membutuhkanmu...” Dua gadis itu bersuara.

“Hirawan Bulao tunjukkan warnamu... Perempuan 'pemilik' membutuhkanmu...”

Adrea dan Kinnas sempat terdiam, mereka berpikir jika setelah kedua kalinya Berliana Biru akan berubah warna--seperti saat ritual pertama. Namun, detik demi detik telah berlalu, tidak ada perubahan yang terjadi. Sama-sama mengangguk, keduanya menggenggam erat tangan satu sama lain.

“Hirawan Bulao tunjukkan warnamu... Perempuan 'pemilik' membutuhkanmu...”

Tepat. Sesudah ketiga kalinya mengatakan kalimat yang sama, Berliana Biru lekas berubah warna menjadi biru. Merasa sudah berpengalaman, Adrea dan Kinnas langsung memejamkan mata mereka, menghindari sinar berlian yang sangat terang--nyaris menembus tirai. Peluh ikut andil, membanjiri pelipis masing-masing. Bahkan jemari mereka terasa lembap karena keringat.

Lakukan yang terbaik ...

Tahan emosimu ...

Ritual kedua, bersiaplah ...

Tahan amarah dan berusahalah ...

Kening Adrea mengerut, memasang pendengaran baik-baik untuk menyimak suara yang entah berasal dari mana. Benaknya seolah memerintah, ia merasa kalau semua ini merupakan salah satu petunjuk selepas ritual kedua selesai. Tidak tahul hal ajaib apa yang akan mereka dapatkan, Adrea hanya terus memejamkan mata sekaligus menajamkan pendengeran. Sedikit berbeda, fokus Kinnas terbagi, ia masih memikirkan keadaan ibunya.

Lambat laun, Adrea merasa kalau sinar teramat terang Berliana Biru mulai meredup. Sama halnya dengan Kinnas. Suara yang tadi sempat menemani mereka pun turut hilang, tidak meninggalkan gema sebab lenyap begitu saja. Perlahan, keduanya membuka mata, menyesuaikan pencahayaan yang mulanya terang benderang menjadi remang-remang. Kinnas langsung mengelap peluh yang terasa lengket, sedangkan Adrea segera mengambil kertas HVS yang telah berisi sebuah kalimat.

Tahan amarahmu, berusahalah.

“Seperti yang wanita tadi katakan. Kau mengingatnya, Kin.” Adrea menghadap Kinnas.

“Maaf, Dre. Aku tidak begitu mendengarkan tadi.” Kinnas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Begitu. Kira-kira apa maksudnya--”

“Muncul lagi!”

Tahan amarahmu, dan berusahalah sampai bulan purnama kesebelas.

“Masih membingungkan,” ujar Adrea begitu membaca kalimat tambahan.

Apalagi Kinnas, otaknya sangat sulit memusatkan perhatian malam ini. Jika kata Cahya, ia sedang ngeblank. Namun, tubuhnya menegap tiba-tiba tatkala mengingat cerita Adrea mengenai lembar keempat. Sontak Kinnas mengambil buku Hirawan Bulao sebelum kembali mendekati Adrea.

“Kenapa?”

“Kembali ke masa lalu, Dre.” Kinnas bergegas membuka lembar kelima. “Kita akan menemukan jawabannya. Ingat tentang kejadian ajaib yang waktu itu kau ceritakan,” lanjutnya.

Adrea menjentikan jari. “Benar. Berarti kita harus kembali ke masa lalu untuk menemukan jawabannya. Tapi, siapa yang akan ke--kau saja, Kin!”

“Aku?” Kinnas menunjuk dirinya sendiri.

“Iya. Aku sudah pernah, jadi kali ini giliran kau. Jangan takut, mereka yang ada di sana tidak akan bisa melihatmu,” ujar Adrea meyakini.

Kinnas terlihat sedikit ragu, kemudian berkata, “Baiklah. Bagaimana caranya kembali ke masa lalu.”

“Sebentar, biar aku tuliskan sesuatu di sini.” Adrea mengambil pulpen dari kursi taman, menuliskan beberapa kata di lembar kelima.

Apa isi dari lembar kelima?

Sesudahnya, muncul setitik cahaya, tepat di kalimat yang telah Adrea tulis. Tidak membesar ataupun bersinar, tetapi malah meraup susunan kata tadi kemudian menghilang begitu saja. Kedua alis Adrea bertaut, ia lantas membolak-balikkan lembar kelima sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Kenapa menjadi--”

Perkataan Adrea terhenti ketika mendadak Kinnas berlari menghampiri ponselnya di dekat bangku. Ekspresi terkejut Kinnas membuat Adrea semakin bingung. Dengan keadaan berantakan akibat keringat, Adrea langsung menghampiri Kinnas yang kembali memakai hoodie abunya.

“Maaf, Dre. Aku harus pulang sekarang. Kak Juan tadi menelpon kalau Ibu muntah-muntah.”

Adrea tertegun. “Y-ya ... Hati-hati, Kin. Beri salam--semoga Ibumu baik-baik saja!” Lekas Adrea merutuki dirinya sendiri karena hampir salah berbicara. Menitip salam bukanlah kata yang tepat untuk seseorang yang sedang sakit--menurutnya.

Mengambil kertas HVS dari atas meja, Adrea berjalan pergi tanpa membenarkan posisi meja ke tempat semula. Langkah kakinya terlihat lunglai, ia merasa lemas dan letih seperti sehabis bekerja berat. Tenggorokannya terasa kering, begitupun perut yang kembali berbunyi sebab sedari siang Adrea hanya memakan sepotong roti. Sebenarnya sedikit tertolong dengan beberapa buah anggur sebelum melakukan ritual kedua tadi.

Pulang sekarang, Adrea. Jaga kesehatanmu, pola tidurmu. Besok kau sekolah, bukan? Jadi, cepat pulang!

Adrea berdecak selepas membaca pesan masuk dari Kelan. Kendati beberapa Minggu terakhir ayahnya jarang marah, sifat overprotektif Kelan selalu membuatnya teramat kesal. Jujur saja kini Kelan tidak lagi melarang Adrea pergi ke skyrink Allison Mall, tetapi sikap dan semua peraturan mengakibatkan Adrea terasa di penjara. Bermain ice skating, jangan melompat, jangan berputar, perkataan konyol Kelan kemarin sore.

Suasana hati menjadi memburuk, Adrea sontak mengentak-entak lantai sambil meremas ponsel untuk melampiaskan emosinya akibat perintah dari ayahnya. Gagal melewati dimensi waktu, perut keroncongan, lengkap sudah alasan  Adrea yang menjadikannya naik darah. Terus dikuasi oleh amarah, tiba-tiba Adrea terkejut kala merasakan sakit di bagian dada kiri.

“Astaga! Kenapa sakit sekali!”

Adrea sedikit berteriak, menyebabkan bibi Anne berlari tergopoh-gopoh untuk menghampiri nona-nya yang kesakitan. Adrea mengerang, merasakan dada kiri seperti di tusuk-tusuk menggunakan jarum kecil. Hingga saat Adrea berniat duduk di atas sofa ruang keluarga, tanpa sengaja tangannya menyikut wajah bibi Anne yang sedang membantunya.

“M-maaf, Bibi, aku tidak--”

Termenung, Adrea mengerjap pelan. Meraba dada kiri yang tidak lagi terasa sakit. Seolah hilang begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top