Bab 16 •Grandma•
Akhir bulan September, tidak banyak perubahan untuk menyambut bulan baru. Selain kekuatan--atau bisa di bilang sihir, sejak Adrea dan Kinnas memutuskan menjadi perempuan 'pemilik'. Selama hampir tigapuluh hari, Adrea menikmati. Sedikit membuatnya terbantu acapkali menggerakkan sesuatu. Namun, Adrea hampir lupa kalau sampai detik ini, ayahnya belum juga menunjukkan tanda-tanda persetujuan atas keputusan sepihaknya. Yang aneh, Kelan lebih banyak diam bila mengetahui Adrea kembali pergi ke skyrink. Atau mungkin saja Kelan sedang sibuk dengan kampanye pencalonan Perdana Menteri periode kedua.
Turun dari mobil, suasana asri halaman depan rumah langsung menyambutnya. Ada banyak sekali jenis bunga, hingga Adrea turut bingung jika menyebutkan satu-persatu. Sampai di bagian teras, Adrea melihat beberapa tanaman gantung hias. Menghitung sejenak, Adrea tersenyum kecil kala menyadari satu tambahan bunga lobelia di dekat pintu. Rutinitas sang nenek membuat bangunan lantai satu ini terlihat seperti taman bunga.
"Adreanna Kaeswary telah tiba." Suara Mia menggelegar di seluruh sudut ruangan keluarga.
"Berisik sekali calon Ratu ini." Adrea melengos, meninggalkan Mia yang mulai mendelik marah.
Sedangkan wanita tua dengan setelan hijau muda, langsung menghampiri Mia ketika mendengar gadis itu menyebutkan nama dari cucu termudanya. "Adrea, akhirnya kau datang."
Lekas Adrea tersenyum geli tatkala Maia mendekapnya erat. "Jangan lagi meneror Ayah, Nenek. Aku sudah di sini, lihat."
"Jika tidak begitu, maka kau tidak akan berkunjung ke rumah Nenek. Oh, bahkan kau belum mengganti seragam sekolahmu, Adrea." Maia mendesah pelan, melihat penampilan Adrea dari atas rambut sampai ujung kaki.
"Ini semua demi, Nenek, tahu ... agar, Nenek, tidak terlalu lama menunggu kedatangan cucunya yang cantik ini," ujar Adrea percaya diri.
"Sudah-sudah, intinya sekarang cucu Nenek sudah berkumpul. Kalau begitu Nenek pergi ke kamar dulu untuk mengambil DVD." Maia berjalan ke sisi barat ruangan, menyisakan Adrea dan Mia yang kini saling tatap. Menarik napas perlahan, keduanya lantas terduduk di atas sofa. Memikirkan kebiasaan sang Nenek yang selalu menyuruh para cucu untuk menemaninya menonton film.
"Bagaimana Ayahmu, Dre? Tidak terjadi keributan, bukan?" Mia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan, "Beritamu yang terjatuh di area skyrink."
"Aku sempat berbicara dengan Ayah, dan aku memutuskan untuk mengikuti TFSC tahun ini--"
"Kau gila!" potong Mia tersentak. "Ayahmu mengijinkannya?" tanyanya lagi.
"Tidak. Mungkin saja belum. Aku merindukan area TX rink di Melawa Change Mall"
Mia yang mulanya terdiam kini terkekeh. Apapun yang terjadi, Adrea berusaha agar tetap berpikir positif. Adrea sudah bertekad, tidak dengan adanya persetujuan Kelan, ia akan tetap mengikuti Tora Figure Skating Champion tahun ini.
"Bagaimana tentang 'lamarannya', Kak." Adrea menaik-turunkan alisnya, tersenyum menggoda.
"Semalam, Martin melamarku. Dan bulan depan kami akan melangsungkan acara pernikahan." Mia mengambil biskuit cokelat dari atas piring, lalu memakannya tanpa peduli Adrea yang telah terlonjak kaget.
"Secepat itu?!"
"Benar."
Adrea tidak menjawab. Suara renyah dari panganan kering yang Mia kunyah menjadi satu-satunya atensi pendengaran. Perlahan, tangannya membuka benda pipih yang sudah ia genggam sejak tadi. Tanpa menghilangkan rasa terkejutnya, Adrea berniat melihat kembali akun bercentang biru dari aplikasi ber-logo kamera.
Putra Mahkota Martin telah melamar Putri Mia pada makan malam pribadi, di Istana Harlen.
"Kenapa tidak langsung tinggal bersama saja, Kak?"
"Kau ini!"
Lantas Adrea tergelak, beranjak berdiri untuk menghindari jemari Mia yang siap mencubitnya. Ruangan yang tadinya terasa sunyi kini telah ribut oleh suara tawa keduanya. Adrea seperti kembali ke masa lalu, di mana Mia selalu menjadi teman bermainnya meskipun umur mereka berjarak lumayan jauh.
"Ya ampun! Duduk-duduk! Sudah besar tapi masih suka berlarian. Dan ... Adrea, turun dari atas sofa sekarang!" Maia meletakkan DVD di atas meja, kemudian mendekati Adrea yang telah berdiri diam di samping Mia.
"Dia yang memulai, Nek."
"Astaga! Sadar umur, Mia, kau akan segera menikah." Maia menggelengkan kepala begitu melihat ekspresi Mia seperti bocah berusia lima tahun. "Kali ini, kita tidak menonton film, tapi teater ... Raja Ratu Berlian," lanjutnya setelah selesai memasukkan DVD ke DVD player.
"K-kenapa tidak menonton film saja, Nek?" tanya Adrea mulai gusar. Ia tidak mau peristiwa saat gladi resik kembali terulang.
Maia tersenyum lembut, sebelum mendaratkan bokongnya di atas sofa. "Sesekali kita menonton teater, Adrea. Nenek juga akan menceritakan hal menarik setelah teater selesai."
Memijit kening sesaat, Adrea memutuskan untuk menyetujui sang nenek. Terasa aneh jika ia terus memaksa agar menonton film saja. Membuka playlist musiknya lalu memasangkan earphone tanpa kabel di telinga, lekas Adrea menambah volume setelah menyetel salah satu lagu. Belum lengkap, Adrea mengambil sepiring makarun, menaruh di atas paha untuk memakannya satu-persatu. Menghalau pendengaran dan penglihatannya selama teater berlangsung.
Sikap Adrea sempat membuat Mia mengernyit heran, tetapi instruksi dari Maia yang seolah menyuruhnya untuk membiarkan, seketika membuat Mia kembali fokus menonton teater. Maia sudah terlalu akrab perihal Adrea, karena tiap kali ia meminta ditemani, gadis itu selalu menyetujuinya. Meskipun hanya sekedar menemani tanpa perlu ikut menonton, seperti halnya hari ini.
Adrea cukup menikmati alunan musik yang memenuhi pendengarannya. Ia bahkan benar-benar teralihkan dari penampilan teater yang mulai menunjukkan sesi peperangan. Adrea berpikir kalau hal ini sangat membantu, terbukti sebab ia tidak lagi berkhayal seperti ketika gladi resik beberapa Minggu lalu.
"Berliana Biru hanya bisa digunakan oleh perempuan yang sudah memasuki usia tujuhbelas tahun. Dan maksimal tiga orang perempuan, dalam satu waktu."
Mia menyenggol lengan Adrea, menyadarkan gadis tersebut agar turut mendengarkan apa yang Nenek mereka katakan. Mendongeng, seperti biasanya. Sedikit teburu, Adrea lekas melepas earphone--menyadari bila teater Raja Ratu Berlian telah selesai ditampilkan.
"Dari mana Nenek tahu hal itu?" Mia bertanya.
"Buyutmu." Maia beralih menatap Adrea. "Beliau begitu mengagumi sosok Ratu Valerie, begitu juga Nenek. Kecantikannya, kebaikannya. Alasan mengapa Nenek meminta Ibumu untuk menyelipkan nama 'Valerie' di nama panjangmu, Adrea. Agar kau bijak dalam memihak ataupun memilih sesuatu." Mia tersenyum lembut di akhir kalimatnya.
Berbeda, Adrea malah memilin ujung lengan almamater. Melampiaskan rasa gusar yang melanda tiba-tiba. Perkataan sang nenek seperti menamparnya, menyadarkan Adrea kalau ia telah menggunakan batu Berliana Biru tanpa ijin si pemilik. Anggota inti Kerajaan.
"Dengarkan, Adrea! Jadilah anak baik." Mia terkikik geli, menggoda sepupunya yang membuang muka ke arah lain.
"Kali ini Nenek akan menceritakan perempuan 'pemilik'." Serempak, Adrea dan Mia langsung memandang Maia dengan saksama. "Perempuan 'pemilik' itu terikat sihir. Menjadikan mereka lebih sensitif apabila mendengar atau melihat apapun yang berkaitan dengan Berliana Biru. Seperti mendengar suara seorang wanita ... atau juga bayangan yang terasa nyata."
Sontak Adrea mengingat kejadian tatkala menonton gladi resik klub teater. Pantas saja ia dan Kinnas berkhayal kalau kalung berlian tiruan tersebut seperti bersinar layaknya Berliana Biru yang asli. Ternyata ada maksud dari peristiwa yang terjadi. Di tambah kalimat terakhir sang nenek, memori Adrea kembali berputar ketika Kinnas menabraknya di lorong dekat kamar mandi dulu. Mengenai Kinnas yang mendengar suara seorang wanita, Adrea merasa kalau hal ini juga ada kaitannya.
"Nenek, bagaimana cara menjadi perempuan 'pemilik'?" Kali ini Adrea yang bertanya. Penasaran, seberapa luas neneknya mengetahui tentang Berliana Biru.
Maia menatap cucunya, lekat. "Saat Berliana Biru bersinar ... dan sebuah buku menampilkan sederet kalimat," katanya sambil menautkan alis.
"Buku, buku apa?"
"Nenek lupa, Mia. Sudah lama sekali."
Lekas Mia mendengkus, sedangkan Adrea mengangguk paham. Satu lagi, ia mendapatkan pencerahan hari ini. Untung saja tadi kala sopirnya menjalankan mobil menuju perumahan nenek, Adrea tidak menolaknya.
"Jadi, apa, Nenek, percaya tentang keberadaan Berliana Biru?" Adrea meraba saku almamater, beralih membalas tatapan Maia yang terasa berbeda.
"Sesuatu akan menjadi nyata jika kau memercayainya, Adrea."
Adrea memang memercayainya, Nenek. Adrea menunduk, menghindari sorot mata Maia yang masih menatapnya lekat. Pikirannya kali ini berkecamuk, semua hal terasa ingin ditanyakan, tetapi Adrea tidak mau menimbulkan rasa heran. Mengenyahkan semua pertanyaan yang menyergap pikirannya, Adrea teringat tentang ritual kedua yang akan dilakukan sebentar lagi.
"Dan satu lagi. Jangan pernah berurusan dengan hal sihir, sesusah apapun hidupmu."
Kata-kata terakhir Maia, sebelum Mia memutuskan untuk pulang karena ada kepentingan mendesak. Menyisakan Adrea dan neneknya yang kini ditemani sepiring biskuit cokelat beserta makarun satu toples. Dalam diam, Adrea memikirkan kalimat Maia. Tidak bisa teralihkan hingga muncul kerutan samar di kening gadis berambut ikal itu.
Terlambat, Nek. Adrea telah menjadi perempuan 'pemilik'.
Note :
*Melawa Change Mall = Mal terbesar di Tora.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top