Bab 15 •School Anniversary•

Acara school anniversary tahun ini terlihat lebih meriah daripada dua tahun sebelumnya. Semua murid Snasa pun turut sibuk mempersiapkan ini dan itu. Tak terkecuali Adrea, tangannya sedari tadi fokus merapihkan lukisan di tembok bagian pojok ruangan. Di lapangan utama, tampak karpet merah terhampar panjang yang akan dilalui para tamu untuk sampai ke aula, tempat acara akan dilaksanakan.

"Ya ampun! Semuanya sangat indah, Dre." Deyna berdecak kagum, pandangannya kemudian tersorot pada salah satu lukisan bergambar Putri Selena.

"Itu buatan siswa tahun pertama," ujar Adrea begitu melihat Deyna menyentuh bingkai lukisan berwarna biru.

Deyna manggut-manggut. "Sangat mirip." Kakinya mundur beberapa langkah agar bersisian dengan Adrea. "Kau tahu, Dre? Jantungku terus berdebar sejak tadi."

Adrea lekas tertawa. "Tidak biasanya kau segugup ini, Na. Santai, percayalah semuanya akan berjalan lancar."

"Ya, semoga saja. Bagaimana penampilanku hari ini?" Deyna memutar tubuhnya lalu berpose secantik mungkin.

Si lawan bicara berpikir sejenak, memindai kostum cheerleader berwarna biru dengan sedikit hiasan berwarna kuning. "Perfect. Aku paling suka rambutmu, Na," jawab Adrea begitu melihat surai panjang Deyna diikat rapih.

"Of course. Jangan bilang siapa-siapa, Dre, ini Ibuku yang mengikatnya," ujar Deyna sedikit berbisik.

Adrea menggelengkan kepala. "Spoiled baby."

Tadinya Deyna hendak membalas, tetapi diurungkan saat terdengar bunyi dengung dari microphone wireless yang berfrekuensi terlalu tinggi. Louis yang menjadi satu-satunya orang di atas panggung sontak menjadi pusat perhatian. Cengiran di wajah tampannya pun terlihat, seolah mengatakan, maaf, ada sedikit kesalahan teknis.

"Ternyata Louis. Oh, lihatlah, Dre, jas yang Louis pakai sangat keren." Deyna bersedekap sambil melirik gadis di sampingnya.

Adrea tidak menjawab, matanya lebih dulu fokus memandang Louis yang terlihat berbeda hari ini. Tatanan rambut yang biasanya menutupi dahi, kini di sisir rapih hingga memperlihatkan keningnya. Jas formal lengkap dengan dasi, membuat penampilan Louis semakin mempesona. Sedikit tercengang, Adrea teralihkan oleh kesulitan pemuda itu dalam memasangkan mic di atas mimbar.

Terpasang, katanya dalam hati, berlanjut menjentikan jari. Lantas Adrea terkekeh geli ketika melihat reaksi terkejut Louis. Sesuai dugaan, mic itu langsung terpasang dengan bantuan kekuatan Adrea. Namun, wajah bingung Louis seraya menggaruk kepala membuat Adrea tidak bisa berhenti tertawa.

Suasana semakin ramai. Bagian lapangan, koridor, termasuk ruangan aula. Dekat pintu masuk, terdapat Kinnas tengah berdiri gusar sambil terus membaca kumpulan pertanyaan di sebuah kertas. Tangannya tidak berhenti memainkan ujung bolpoin, berjalan ke sana kemari dengan kening mengernyit dalam. Dalam benak, Kinnas sedikit merasa kesal tatkala mengingat kejadian semalam.

Saat selesai makan malam, Kinnas melihat grub chat klub melukis yang tampak ramai, suara notifikasi muncul berkali-kali. Saat membukanya, Kinnas terkejut ketika ia ditunjuk sebagai orang yang akan melakukan sesi wawancara bersama Selena dan Martin, karena anggota yang bersangkutan masih dalam keadaan sakit. Mau tak mau, Kinnas pun menyetujuinya. Ia memang sudah pernah mendapatkan tugas serupa, tetapi tidak sampai mewawancarai keluarga Kerajaan.

"Kin, Kinnas!" panggil Cahya sembari bersenandung kecil. Gadis memakai gaun merah tua itu terlihat begitu ceria, meskipun wig belum terpasang di atas kepalanya.

"Pergilah, jangan menggangguku!" Kinnas mengibas-ngibaskan tangannya.

"Ya, ampun, tega sekali kau ini." Cahya berdecak kesal. "Di hari yang cerah, kenapa seorang kinnas tampak murung? Kau bahkan tidak mendapatkan tugas berat," lanjutnya membuat Kinnas mendelik marah.

"Apa-apaan! Asal kau tahu kalau aku baru saja mendapatkan tugas sangat berat."

"Apa?"

"Ini!" Kinnas menunjukkan selembar kertas yang menampilkan judul berupa 'Kumpulan Pertanyaan Wawancara, Putri Selena dan Pangeran Martin' kepada Cahya.

"Apa?! Putri Selena dan Pangeran Martin menjadi salah satu tamu hari ini?" tanya Cahya sambil menggeleng tidak percaya.

"Benar. Jadi, jangan lagi meng-gang-gu-ku." Kinnas sengaja menekankan kata terakhir yang ia ucapkan.

Cahya melangkah kecil, kemudian mendongakkan kepalanya untuk melihat gerbang sekolah Snasa, dari pintu masuk aula. "Pantas saja banyak wartawan yang datang."

"Yup. Kalau begitu pergilah, Cahya, pasang dulu wig-mu itu." Kinnas membalikkan tubuhnya, membelakangi Cahya yang lagi-lagi melirik kesal.

"Tega sekali kau mengusir sahabatmu sendiri," celoteh Cahya. "Emm, bisakah kau meminta tanda tangan Pangeran Martin. Aku penggemar beratnya, dia sangat tam--"

"Cukup!" Kinnas membekap mulut Cahya. "Yang ada dipikiranmu hanya lelaki tampan. Pergi sana, aku menjadi tidak fokus karena dirimu," lanjutnya.

Cahya mengerucutnya bibir, bersedekap lalu bersandar pada pinggiran pintu masuk. Sedangkan Kinnas, gadis itu sempat menghela napas sejenak, terlalu banyak heran mengenai tingkah Cahya yang membuatnya termakan emosi. Membaca kembali lembaran tadi, Kinnas mencoba berlatih. Dari cara tersenyum, nada bicara, bagaimanapun juga ia akan duduk berhadapan dengan anggota Kerajaan. Memikirkannya saja membuat Kinnas panas-dingin tak karuan.

"Hai, Kin." Adrea datang menghampiri. "Hai ... Cahya," sapanya lagi kala mendapati Cahya di samping Kinnas.

"H-hai, juga, Adrea." Cahya membalas, sedikit gugup. Jujur saja ia masih belum terbiasa, meskipun Kinnas dan Adrea lebih sering bertemu minggu-minggu terakhir ini. Cahya masih terlalu terkejut saat tahu Kinnas berteman baik dengan Adrea. Keterkejutannya sampai mengakibatkan Cahya merasa sedikit aneh.

Kinnas tersenyum kecil. "Bagaimana klub lukis, Dre?"

"Sudah siap. Semua dari kami berangkat sangat pagi tadi," jawab Adrea. "Cahya, di mana wig-mu?" tanyanya setelah menyadari Cahya tidak memakai rambut palsu seperti gladi resik selumbari.

Lantas Cahya terkekeh kecil, sempat mengaruk belakang lehernya yang tidak gatal. "Masih di belakang panggung."

"Oh, begitu." Adrea mengangguk paham.

"Emm, k-kalau begitu aku pergi dulu, ya. Kinnas, Adrea, sampai jumpa." Cahya melambaikan tangannya berlanjut melangkah pergi, hingga menyisakan Adrea dan Kinnas.

"Kertas apa yang kau baca, Kin?" tanya Adrea sembari menghampiri Kinnas.

"Pertanyaan untuk wawancara nanti."

Sontak Adrea mendelik kaget. "Kau yang akan melakukan sesi wawancara bersama Putri Selena dan Pangeran Martin?"

"Benar sekali. Aku menggantikan orang sebelumnya karena masih sakit." Kinnas dan Adrea berjalan ke luar dari ruangan aula, menghampiri salah satu kursi panjang kemudian duduk di atasnya. "Karena itu aku ingin bertanya, bagaimana Putri Selena itu ... maksudku kepribadiannya. Selama ini aku hanya melihat Putri dari televisi ataupun jarak jauh," lanjutnya saat mengingat Adrea pernah berinteraksi dengan dua anak dari Raja Andreas tersebut. Bahkan, Adrea berteman dekat dengan Selena.

Adrea mengedar pandangan, berpikir sejenak. "Putri orang yang ramah, dan lucu. Dia juga baik, Kin, jadi kau jangan segugup itu. Santai saja."

"Tapi ini pertama kalinya, Dre. Aku bahkan tidak bisa menormalkan degup jantungku," kata Kinnas mengakibatkan Adrea tertawa. "Lalu, Pangeran Martin?" tanyanya lagi.

"Jujur saja, aku jarang bertemu dengan Pangeran. Tapi, dia orang yang baik, dan sedikit pendiam. Tenang saja, Kinnas, lagipula mereka tidak mungkin membentakmu." Kinnas langsung terkekeh begitu mendengar kalimat terakhir Adrea.

Setelah itu sunyi, mereka tidak lagi membuka pembicaraan. Kinnas masih terus membaca beberapa pertanyaan di lembar kertas yang ia pegang sejak tadi. Mencoba santai seperti saran Adrea barusan. Berbeda dengan gadis di sampingnya, Adrea masih memikirkan kejadian kemarin dulu. Saat gladi resik di ruangan aula, ketika kalung berlian tiruan bersinar terang seperti Berliana Biru yang asli. Ia pun berhasil menelpon Kinnas kala malam tiba. Kejadian sama yang mereka rasakan, tanpa asal-usul yang jelas, membuat Adrea tidak bisa berhenti merasa heran.

"Saat gladi resik, kira-kira kenapa kita sampai berkhayal seperti itu."

Kinnas mendongak, menatap Adrea yang tidak membalas tatapannya. "Akupun tidak tahu, Dre. Terlalu banyak teka-teki."

Adrea manggut-manggut setuju. Memandangi lapangan utama Snasa seraya menikmati semilir angin yang berhembus pelan. Namun, kedua alisnya langsung bertaut bingung ketika melihat mobil mewah Genesis yang dihiasi Bendera Tora kecil di bagian kap-nya. Semuanya terasa jelas, tak ayal para wartawan mulai memasuki lapangan Snasa, mengikuti mobil tersebut, tetapi tetap memberi jalan.

Setelah paham kalau mobil yang telah terparkir membawa Selena dan Martin, kedua gadis itu langsung beranjak pergi untuk memasuki ruangan aula. Di bagian sisi kanan, ramai murid Snasa berkumpul untuk menyambut anggota Kerajaan. Begitupun Deyna, Cahya, Louis, dan juga Arsen. Mereka tampak berdiri di jarak yang lumayan dekat. Tanpa ba-bi-bu lekas keduanya ikut bergabung dalam rombongan.

Selena memakai setelan rok berwarna biru tua, di mana bagian atasnya dilengkapi dengan blazer. Tak lupa hiasan di rambut terurainya berupa jepit yang menyerupai topi kecil. Sementara Martin, penampilannya begitu sederhana. Kemeja biru muda bercampur celana dasar hitam. Aura keduanya begitu memikat hingga banyak seruan takjub dari murid-murid Snasa.

"Putri Selena sangat cantik. Dia seperti bidadari," celetuk Arsen. Kalimatnya ikut berbaur dengan para siswa yang juga terpana akan kecantikan Putri mereka.

"Ya ampun, ya ampun, Pangeran Martin sangat tampan! Dia tampan sekaligus se--"

"Suaramu membuat gendang telingaku rusak, Cahya!" potong Kinnas sambil menutup telinga, lalu melirik Cahya dengan ekspresi tidak bersahabat.

Setelah disibukkan dengan decakan kagum para murid Snasa terhadap Selena dan Martin, acara school anniversary pun dimulai. Louis dan salah satu siswi tahun terakhir, berdiri di atas panggung sebagai pembawa acara. Mengucapkan salam, terima kasih pada para tamu yang telah hadir--terutama dua anggota Kerajaan, dan mempersilahkan Kepala Sekolah Snasa untuk memberi sedikit kata sambutan.

Berlanjut, tiba saatnya Lyana tampil. Gadis berambut pirang itu mengambil banyak atensi, terutama murid lelaki. Setiap kata yang diucapkan seolah menghipnotis para tamu. Intonasi dan ekspresi wajah menjadi pelengkap yang sempurna, seiring suara tepuk tangan bergema begitu Lyana menyelesaikan kalimatnya. Hingga, band kebanggaan Snasa pun hadir, lima orang anggota pemuda yang menyatukan aliran musik. Liam menjadi pusat perhatian, termasuk Sheren yang masih menyimpan rasa.

"Izin sebentar. Lagu ini teruntuk Tuan Putri kami yang sangat cantik, Putri Selena."

Lagi-lagi isi perut Kinnas langsung bergejolak, terasa ingin dimuntahkan. Sikap Liam yang penggoda membuat Kinnas tidak tahan untuk menamparnya menggunakan ransel besar miliknya. Namun, sekali lagi Kinnas masih memiliki etika.

"Teater, Kin," bisik Adrea pada gadis di sampingnya, begitu Louis mengatakan 'Raja Ratu Berlian'.

Kinnas sedikit merapatkan tubuhnya pada Adrea. "Apa sebaiknya kita pergi, aku tidak mau kalau kejadian itu kembali terulang." Sorot matanya memindai awas dari kursi paling belakang, yang hanya berisi ia dan Adrea.

"Sepertinya, ayo pergi--"

"Tunggu dulu." Kinnas menahan langkah Adrea, irisnya memandang mahkota Arsen di atas panggung yang tampak ingin jatuh.

Posisi sempurna, kata Kinnas dalam hati, kemudian menjentikan jari.

Dan, berhasil. Arsen yang mungkin merasakan ada pergerakan kecil di kepalanya langsung mengernyit sebentar, tak ayal kembali tersadar sebab ia saat ini sedang tampil. Sementara Adrea tersenyum, lekas menarik tangan Kinnas untuk keluar dari ruangan aula. Tanpa tahu, kalau ada seorang gadis memperhatikan mereka sejak tadi.

Cukup lama keduanya duduk di atas kursi koridor, cukup lama juga untuk menunggu acara selesai. Ucapan terima kasih Louis dan gadis di sampingnya, setelah itu beberapa tamu penting dipersilahkan melihat-lihat pameran lukisan yang diadakan klub melukis. Adrea, sebagai salah satu senior ikut menemani Selena dan Martin, sekaligus menjelaskan filosofi lukisan yang menarik perhatian dua anak Raja Andreas tersebut.

"Santai, Kin. Mereka tidak akan menggigitmu." Adrea menghampiri Kinnas yang terlihat mondar-mandir di sudut kanan gedung aula, tempat sesi wawancara akan dilaksanakan.

"Rasakan, Dre. Tanganku tidak berhenti berkeringat." Kinnas mengarahkan tangannya di depan wajah Adrea.

"Astaga--"

"Kinnas, Kinnas, bersiaplah. Wawancara akan dimulai sebentar lagi." Seorang wanita yang bertugas sebagai pembimbing klub melukis mengarahkan Kinnas untuk duduk di salah satu kursi.

Sedangkan Adrea melambaikan tangannya pada Kinnas, sempat mengucapkan kata semangat tanpa suara sebelum benar-benar pergi keluar ruangan. Jangan tanya bagaimana Kinnas, ia berusaha menormalkan degup jantungnya yang tidak bisa diajak kerja sama. Kinnas memainkan ujung cue card yang ia pegang menggunakan ibu jari. Kendati menghalau rasa gugup yang tidak juga mereda.

Hingga, dua muda-mudi yang membuatnya resah sejak tadi terlihat mendekati. Lekas Kinnas berdiri, tersenyum kecil sambil menautkan dua tangannya di depan perut. Lambat laun, Selena yang melangkah lebih dulu membalas senyuman Kinnas. Dan saat itu juga, Kinnas bisa melihat dengan jelas penampilan Selena dari atas rambut sampai ujung kaki, termasuk kalung perak berliontin bintang yang terukir dua huruf di atasnya.

"J ... U?" gumam Kinnas sambil mengingat sesuatu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top