Bab 11 •Page Four•
Skyrink Allison Mall, tempat yang dulu hanya bisa Kinnas lihat dari lantai atas tiap kali mengunjungi mal tersebut. Tidak ada alasan khusus yang membuatnya harus berada di gelanggang es buatan. Kinnas, keluarganya, bahkan Cahya sekalipun tidak pernah tertarik untuk sekedar mencoba berseluncur di atas es. Namun, kali ini teman barunya berbeda. Oh, apakah Kinnas boleh menyebut Adrea sebagai temannya?
“Ternyata dia sekeren itu.” Kinnas memandang kagum Adrea yang tengah memutar tubuhnya. Entah gerakan apa, gadis berkepang itu hanya terus menganga takjub.
Adrea masih memakai seragam sekolah--tambahan topi baret beserta celana legging, begitupun Kinnas. Pesan ajakan dari Adrea yang sempat Kinnas terima ketika menginjak trotoar halte, membuatnya berakhir di sini. Kinnas tak sempat membalas apalagi mengelak, karena Adrea lebih dulu menarik tangannya untuk memasuki taxi online yang telah dipesan. Menghindari sopir baru Adrea yang teramat patuh.
Sempat menarik napas dalam-dalam, Adrea kembali memutar tubuhnya dengan posisi spiral, melakukan putaran unta. Lalu sit spin, di mana Adrea harus menekuk lututnya ketika berputar. Sebagai penutup, kedua kaki gadis berambut ikal itu bersilangan di atas kaki skating, berputar begitu cepat hingga Adrea tampak hampir kabur. Tanpa sadar, Kinnas bertepuk tangan sangking terpananya, bahkan beberapa pengunjung skyrink mulai menyorot Adrea bak bintang utama.
Tidak dapat dipungkiri, Adrea merasa senang. Matanya memandang Kinnas yang tersenyum begitu lebar sambil mengacungkan ibu jari.
Kembali melanjutkan aksinya, Adrea berseluncur ke depan dan mulai menambah kecepatan. Sambil mencoba mengenyahkan bayang-bayang yang mulai hadir satu-persatu, Adrea mengangkat lutut kanan sekaligus mendorong kaki kiri untuk meluncurkan diri dari atas es. Begitu cepat dan kuat. Di udara, Adrea berusaha berputar 1,5 kali--
Putri dari Perdana Menteri Tora, Adrea, gagal melakukan lompatan axel di kompetisi Tora Figure Skating Champion.
Adrea, atlet ice skating muda mengalami cidera pada pergelangan kaki kanan.
Karena cidera pada kaki kanan, Adrea, seorang atlet ice skating memutuskan untuk berhenti--
Adrea merasakan dadanya bergemuruh, berita dari beberapa saluran televisi dua tahun lalu seperti menghardiknya dengan amat jelas. Berusaha fokus untuk menyelesaikan putaran, Adrea berniat mendarat dengan skate kiri setelah itu meluncur ke belakang. Namun, lagi-lagi rasa ragu menggagalkan semuanya.
Adrea terjatuh.
Sontak Kinnas membulatkan matanya. Melangkah cepat untuk menghampiri area skyrink, tetapi dihentikan sebab Kinnas tidak memakai sepatu luncur. Hanya bisa berdiam diri sambil menatap was-was Adrea yang telah dibantu oleh beberapa staf. Topi baret-nya terlepas, membuat beberapa pasang mata bisa melihat wajah memerah Adrea dengan amat jelas.
“Astaga! Bukankah itu, Adrea?”
“Adrea, anak dari Perdana Menteri Kelan.”
“Dia kembali bermain ice skating? Tapi kenapa dia sendirian?”
“Bawa aku pergi dari sini,” pinta Adrea begitu Kinnas menghampirinya dari balik railing.
Tidak perlu menunggu lama, lekas Kinnas merangkul gadis tersebut lalu kembali memasangkan topi baret-nya. Menuntun Adrea untuk keluar dari area skyrink. Kinnas sempat meringis, melihat kedua mata Adrea yang berkaca bukanlah suatu yang biasa baginya. Dan untuk kedua kalinya, Kinnas merasa iba.
Berjalan lumayan jauh, akhirnya Kinnas membawa Adrea untuk memasuki restoran makanan Jepang--masih di kawasan Allison Mall. Memilih kursi paling belakang, keduanya duduk dengan perlahan. Kinnas semakin khawatir sebab Adrea terus menunduk diam sambil memilin ujung rambutnya. Melirik sekilas ke arah bawah, tidak ada noda darah di bagian kaki Adrea, membuat Kinnas sedikit merasa lega.
“Apa ada yang sakit? Terkilir atau--”
“Aku tidak apa-apa.” Akhirnya Adrea mendongak, mencoba tersenyum pada Kinnas yang menatapnya pilu. “Aku hanya melakukan putaran 1,5 ... tapi tetap gagal. Dasar payah.”
Kinnas meneguk ludah kasar, Adrea kali ini terlihat jauh lebih menyedihkan ketimbang Adrea di pertemuan kedua. “Tapi, kau benar tidak apa-apa, bukan? Aku mohon katakan sesuatu jika kau merasa sakit.”
“Bagian paha, hanya sedikit nyeri. Jangan khawatir, Kin,” ujar Adrea kembali meyakinkan.
Seorang pelayan datang menghampiri, lekas Kinnas memesan dua porsi chicken katsu sesuai persetujuan Adrea. Kendati sedang bersuasana sedih, mengisi perut merupakan hal utama saat ini. Sebab itu ketika pesanan datang mereka langsung memakannya dengan amat lahap. Lebih tepatnya Kinnas seorang.
Melirik Adrea melalui ekor matanya, Kinnas melihat satu tetes air mata jatuh, membasahi pipi gadis itu yang sedang menyuap potongan chicken katsu ke dalam mulutnya. Kinnas terperangah, lalu berpikir kuat untuk memulai obrolan lain agar Adrea tidak terus berlarut dalam kesedihan.
“Sepertinya kekuatan kita tidak bisa digunakan untuk makhluk hidup.”
Kening Adrea langsung mengernyit gamam. “Kekuatan? Oh, katakan dalam hati dan jentikan?” Kinnas mengangguk sebagai jawaban. “Selama ini aku memang tidak pernah menggunakannya untuk makhluk hidup,” lanjut Adrea.
“Semalam aku mencobanya, Dre. Aku mencoba untuk mengusir tikus di apartemen, tetapi gagal. Awalnya aku pikir kalau hal itu sudah tidak berlaku lagi. Namun, saat aku menggunakannya di lampu tidur ... berhasil seperti biasa.” Kinnas menjelaskan dengan begitu serius.
Adrea sempat terdiam sesaat, lantas mengamati seorang pria berbadan tambun yang baru saja memasuki restoran dengan mata menyipit seperti menahan kantuk. Tidur, katanya dalam hati, kemudian menjentikan jari. Anehnya, tidak terjadi apa-apa.
“Benar, bukan? Tidak berlaku untuk makhluk hidup,” bisik Kinnas begitu melihat Adrea mengadu jari telunjuk dengan ibu jarinya.
“Tapi, kalimatnya berupa, 'semua hal akan terjadi susuai keinginanmu, terkecuali hal buruk dan kematian'. Bukankah seharusnya untuk semua hal?” Adrea mengetuk meja restoran sambil mengernyit heran.
Cukup lama berkutat pada pikiran masing-masing, alhasil Kinnas mengeluarkan buku Hirawan Bulao dari dalam tasnya. Kemudian membuka lembar keempat. “Aku penasaran kenapa lembar keempat dan seterusnya kosong. Bagaimana menurutmu, Dre?”
“Membingungkan. Sepertinya buku ini masih menyimpan banyak rahasia yang belum kita ketahui, Kin.”
“Itulah, Dre. Hal ini membingungkan sekaligus ... membuat penasaran.”
Adrea bersandar pada kursi restoran, melihat dari balik kaca transparan yang menampilkan banyak orang berlalu lalang. Satu di antaranya mengambil alih perhatian Adrea, pria berbadan kekar sekaligus bermuka sangar, lengkap dengan tampilan jas formal serba hitam. Merasa tahu, akhirnya Adrea memutuskan untuk berdiri.
“Kin, bagaimana jika kita bertukar barang?” Adrea mengeluarkan kalung Berliana Biru dari dalam saku almamater. Tidak ada maksud tertentu, Adrea hanya ingin sekedar membaca buku itu lebih teliti.
Kinnas mengerjap pelan. “Tentu, boleh.” Tangannya menyerahkan buku Hirawan Bulao pada Adrea.
“Sepertinya aku harus pulang sekarang. Kau ikut mobilku, kan?”
Bola mata Kinnas melirik ragu. “Emm, sepertinya aku naik bus saja.” Kinnas merasa tidak enak jika harus kembali menebeng, mengingat dua porsi chicken katsu tadi, Adrea semua yang membayar.
Adrea memandang bingung. “Kenapa?”
“Tidak apa-apa, aku hanya--
“Kalau begitu aku pesankan taxi online.” Adrea mulai mengotak-atik ponselnya.
Sontak Kinnas mendelik kaget. “Tidak. Jangan merepotkan, Adrea.”
“Ssst, taxi-nya akan segera sampai, jadi bersiaplah.” Adrea tersenyum, kemudian menarik langkah keluar restoran.
“Adrea--”
Sang empunya nama menoleh. “Satu lagi, Kin. Terima kasih sudah menemaniku hari ini ... 'teman',” potong Adrea, meninggalkan Kinnas yang termangu sekaligus menghangat tatkala mendengar Adrea menyebutnya sebagai teman.
Setelah menghampiri sopir barunya yang tampak celingak-celinguk di sekitaran mal, lekas keduanya berjalan menuju area parkir. Adrea sempat mendapatkan sederet pertanyaan dari pria paruh baya di depan sana, menimbulkan rasa jengah sebab pria ini terlihat overprotektif seperti ayahnya. Entah di mana Kelan menemukan sopir barunya yang teramat menjengkelkan tersebut.
Terus memusatkan atensinya pada gedung-gedung pencakar langit dari balik jendela mobil, Adrea teringat pembicaraannya dengan Kinnas tadi. Jika memang tidak bisa dilakukan untuk makhluk hidup, mengapa tertulis semua hal. Semua itu sangat membingungkan hingga Adrea mengambil buku Hirawan Bulao yang sempat ia letakkan di seatback pocket.
“Sebenarnya apa isi dari lembar keempat.” Adrea bertanya-tanya.
Merasa putus asa, Adrea memutuskan untuk menulis beberapa kata di lembar kempat menggunakan pulpen hitam yang ia ambil dari dalam tas. Tidak berniat apa-apa, hanya saja rasa bosan seolah memerintah Adrea agar melakukan hal demikian.
Apa isi dari lembar keempat?
“Tulisanku menjadi bagus jika--”
Mendadak Adrea membekap mulutnya sendiri, melihat kaget lembar keempat ketika setitik cahaya muncul tiba-tiba. Sempat membuat gadis berambut ikal itu deja vu, mengingat 'peristiwa' dipertemuan keduanya bersama Kinnas. Namun, cahaya yang timbul kali ini lebih terang dari sebelumnya. Begitu terang seolah-olah menarik Adrea untuk masuk ke dalamnya.
Dan ternyata itu semua bukan sekedar bualan semata, karena Adrea benar-benar masuk ke dalam buku. Mengakibatkannya berdiri di atas rerumputan luas yang bersebelahan dengan bangunan megah bergaya klasik.
“Di mana ini?” Adrea berputar, memandang tubuhnya sendiri yang masih berpakaian seragam sekolah, kemudian mengamati sekeliling.
Taman ini begitu luas, bahkan luasnya hampir menyaingi pelataran depan Istana Harlen. Terdapat banyak bunga Petunia dan bunga Pentas yang tumbuh subur, mewarnai hamparan rumput dengan keelokannya. Di pertengahan taman, ada pancuran tiga tingkat yang di bagian kolamnya menyimpan air teramat jernih. Dan satu lagi, bagian ujung taman tampak berdiri rumah kaca yang dihiasi tanaman rambat di sekitarnya. Tanpa berpikir panjang, lekas Adrea melangkah ke sana.
Berjalan semakin dekat, ternyata ada dua sosok sedang berbincang di dalamnya. Melihat gaya pakaian keduanya, Adrea berpikir kalau tempat ini bukanlah masa yang sama dengannya. Tanpa mau ketahuan, sontak Adrea bersembunyi dari balik pilar batu alam. Memasang pendengaran betul-betul untuk menguping pembicaraan dua perempuan tersebut.
“Aku masih merasa bingung mengenai kalimat itu, Aurora.” Salah satu perempuan berambut hitam lurus menuang teh ke dalam cangkir. Gaun putih tulang yang banyak dihiasi manik-manik berkilauan sempat membuat Adrea terpana.
Kali ini perempuan berambut cokelat bergelombang mengambil alih perhatian Adrea. “Semua itu hanya teka-teki, Kak. Perihal maksud yang utama bukanlah kalimat pertama,” kata Aurora.
Kedua alis Adrea menukik bingung, menelaah maksud dari pembicaraan keduanya. Namun, saat mendengar nama Aurora, Adrea kembali dibuat terkejut tatkala mengingat legenda Raja Ratu Berlian.
“Jadi, maksudmu semua itu hanyalah tipuan?” Air muka perempuan berambut hitam mulai berubah masam.
“Tidak, Kak, maksudnya bukan begitu.”
“Lalu apa maksud dari ritual pertama, Aurora? Maksud dari kalimat yang tertulis.”
Entah untuk ke berapa kalinya Adrea dibuat terperangah. Ritual pertama? Kalimat? Mengapa ia merasa akan mendapatkan titik terang sebentar lagi.
“Semua benda akan bergerak sesuai keinginanmu, terkecuali untuk hal buruk dan kematian.”
Adrea terkejut, bukan hanya ucapan sosok bernama Aurora yang menjadi penyebabnya, tetapi juga suara tapak kaki beberapa perempuan berpakaian maid dari dalam bangunan megah di sana. Mereka mengarah ke sini, ke rumah kaca yang otomatis melewati Adrea yang masih berusaha bersembunyi. Bagian warasnya memerintah demikian, karena Adrea tidak mau ditodong sebagai seorang penyusup, mengingat tempat yang kini ia pijak sepertinya sebuah Kerajaan.
Namun, para maid itu terus berjalan tanpa memperdulikan Adrea yang kelimpungan. Melewatinya begitu saja, sampai masuk ke dalam rumah kaca. Adrea memandang tubuhnya sendiri, menyentuh wajah dan tangannya sambil meringis bingung. Mendongak ke atas, melihat langit yang berawan, lalu kembali mematri ke bawah, ke sekitaran rumput yang tidak menampilkan bayangannya sendiri.
“J-jadi mereka tidak bisa melihatku. Lalu, kenapa aku tidak memiliki--”
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Adrea kembali melihat setitik cahaya muncul di depan wajahnya. Seperti halnya tadi, kilauannya semakin terang dan membesar. Reflek Adrea memejamkan mata sambil mengangkat tangan menutupi wajah. Tetap berdiam diri ketika merasakan cahaya besar itu menarik tubuhnya, membawanya ke tempat semula--di mana Adrea tengah duduk di atas kursi penumpang mobil sambil memegang erat buku Hirawan Bulao.
Cukup lama Adrea termenung, memandang sekitar kalau ia benar-benar kembali ke tempat asalnya. Sopir di depan sana tetap fokus mengemudi, tidak merasa heran ataupun bertanya karena kemunculan Adrea yang sempat menghilang tiba-tiba. Benar, bukan? Adrea menghilang karena kembali ke masa lalu. Namun, mengapa pria itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
“Sepertinya Paman tidak menyadarinya,” gumam Adrea.
Menunduk ke bawah, Adrea menatap buku Hirawan Bulao yang masih terbuka lebar, menampilkan lembar keempat yang tidak lagi berupa lembaran kosong. Membaca susunan kata yang timbul secara mendadak, sontak Adrea tersenyum senang. Ia langsung merasa tidak sabar untuk menunggu hari esok. Menceritakan semua peristiwa hari ini kepada Kinnas.
Contoh lompatan Axel.
Jalan-jalan sambil makan remis
Pulangnya beli kedondong
Hey kamu adik manis
Vote-nya dong
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top