Bab 08 •First Ritual•
Rapat selesai. Keputusannya, klub melukis akan menjadikan beberapa karya dari para anggotanya untuk ajang pameran ketika acara school anniversary nanti. Sebagai salah satu senior di klub tersebut, Adrea memiliki poin lebih untuk memamerkan hasil lukisannya ke para penghuni Snasa. Sempat bingung tatkala memilih mana yang terbaik, tiba-tiba pikirannya berpusat pada lukisan bergambar taman pusat kota Melawa--yang menampilkan dua sosok perempuan berbeda usia di dalamnya.
Sontak Adrea bersemangat, hendak pergi ke rumah lama guna mengambil lukisan yang akan ditampilkan, sekaligus melakukan hal penting ketika malam tiba (sesuai perjanjian). Sambil mengedar pandangan ke sekeliling taman belakang--yang kebetulan bersebelahan dengan gedung ekstrakulikuler, Adrea melangkah pelan, menikmati kesunyiannya karena tempat ini tampak sepi.
"Kak Adrea!"
Lantas Adrea menoleh, melihat sosok yang baru saja keluar dari ruangan ekskul balet--memanggil namanya. Merasa dugaannya benar, embusan napas kasar terdengar. Menghancurkan kesenangan sejenaknya karena kedatangan seseorang yang sangat ia hindari. Bahkan ketika di rumah sekalipun.
"Aku pikir, Kakak sudah berada di mobil," kata Sheren cengengesan, belum menyadari Adrea yang kini menatapnya malas.
"Lalu?" Adrea menaikkan satu alisnya.
Siswi tahun pertama itu tersenyum lebar. "Ayo pergi ke mobil bersama-sama, Kak!" ajaknya bersemangat.
"Tidak!"
Kaki jenjangnya kembali melangkah, hendak pergi meninggalkan Sheren yang tertegun. Tentu, semenjak satu tahun kenal sebagai saudara sambung, baru kali ini Adrea membentaknya secara terang-terangan.
"Kak Adrea marah padaku?" tanya Sheren sendu, menggenggam pergelangan tangan Adrea.
"Lepaskan! Aku tidak akan pulang ke Houses Room!" tegas Adrea melepas paksa cekalan Sheren. Melihat binar kebahagiaan gadis di depannya kembali mengingatkan kejadian Minggu malam.
Dan sebagai seorang anak yang mendapatkan perlakuan berbeda, Adrea membenci hal itu.
"Tapi kenapa, Kak?"
"Kau tidak perlu tahu!"
Wajah Sheren memerah, menahan tangis. "Ayah akan semakin marah bila Kakak pulang ke rumah lama."
Sekonyong-konyong Adrea membalikkan tubuhnya, tangannya lekas menarik lengan Sheren untuk membawanya ke pojok kanan taman belakang. Tempat yang jarang dikunjungi anak-anak Snasa, dekat pancuran bambu.
"Dengar! Aku tidak peduli lagi jikalaupun Ayah akan marah." Adrea menatap tajam manik Sheren yang mulai berkaca. "Dan kau! Jangan bersikap seolah-olah kita sedekat itu!" lanjutnya tegas. Melepas cekalan tangannya pada Sheren, lalu melenggang pergi.
•••
Jantungnya berdegup kencang, itulah yang Kinnas rasakan. Sambil mengelap telapak tangan yang berkeringat ke atas celana levis yang ia pakai, Kinnas menyenderkan kepalanya pada jendela bus. Memindai lekat-lekat suasana kota Melawa di malam hari. Lampu jalan bersinar terang, menyinari jalanan aspal yang banyak dilalui berbagai macam kendaraan. Kembali melihat jam tangan, menandakan bahwa sekitar sepuluh menit lagi Kinnas akan sampai di tempat tujuan.
Perasaan bersalah tidak luntur begitu saja. Ya, Kinnas terpaksa harus berbohong kepada orangtuanya persoalan tempat yang akan ia tuju. Mengingat bus yang membawanya malam ini mengarah ke rumah lama Adrea, lokasi yang telah ditentukan untuk melakukan hal penting.
Tatkala kembali ditelaah, membuat suatu permohonan ternyata tidak semudah yang mereka kira. Ada tiga tahapan wajib, dan hanya bisa dilakukan ketika malam hari. Saat sinar rembulan bersinar terang, tanpa tertutup awan.
Untung saja, malam ini wulan sedang berbaik hati. Tidak mendung, tidak hujan, membuat sinar pemilik malam begitu benderang bersama bintang-bintang di sekitarnya. Kinnas langsung mendesah lega, tak ayal benaknya selalu berharap agar melancarkan aksinya bersama Adrea nanti. Tanpa ada halangan, tanpa ketahuan. Kendati menggunakan sebuah benda keramat tanpa ijin si pemilik merupakan hal tabu, Kinnas dan Adrea telah tertutupi oleh perasaan ingin tahu.
Akhirnya, Kinnas sampai di halte bus dekat perumahan mewah. Dengan segera gadis berkepang satu itu mengayunkan kaki jenjangnya menuju gerbang masuk perumahan. Rumah Adrea berada di nomor dua, sebelah kanan jalan. Sembari memandang bangunan-bangunan megah di sekitarnya, tak terasa Kinnas sudah sampai di bangunan lantai dua bergaya Mediterania. Gadis itu sontak mengambil ponsel dari dalam saku hoodie miliknya, berniat mengabari Adrea kalau ia telah sampai di depan gerbang.
Aku sudah sampai di depan rumahmu.
Kinnas menekan bel, memberitahu seorang penjaga tentang keberadaan dirinya yang menunggu.
Baiklah, Bibi Anne akan mengantarmu ke taman belakang.
Beriringan dengan pesan masuk dari Adrea, gerbang besi menjulang tinggi juga terbuka, menampilkan sosok wanita berpakaian maid yang tersenyum manis padanya.
"Mari, Nona. Saya antar ke taman belakang," ajak bibi Anne ramah.
Sempat tersenyum sebentar, Kinnas lekas mengikuti langkah wanita di depannya. Membuka pintu utama, lalu menuju ruang tamu yang banyak dihiasi foto-foto Adrea dan mendiang ibunya.
"Nona Adrea sudah menunggu di taman. Kalau begitu saya permisi dulu, Nona." Bibi Anne membungkukkan badannya sebelum melenggang pergi ke arah dapur.
Kinnas mengernyit bingung, melihat pintu kaca aluminium yang kini dihiasi tirai berwarna putih, tidak seperti ketika ia pertama kali ke sini. Membuat siapapun tak bisa melihat taman belakang jika tidak benar-benar membuka pintu. Merasa paham, Kinnas pun terkekeh. Ternyata Adrea sudah menyiapkan semuanya secara matang.
"Hai! Bagaimana perjalanan malam di Bus?" Adrea menyapa sekaligus bertanya. Keduanya sudah lumayan akrab.
Kinnas mendudukkan bokongnya di atas kursi taman, perlahan. "Ya, seperti biasa. Bedanya kalau malam lebih dingin.”
Adrea mengangguk paham. "Lalu, apa yang kau katakan pada orangtuamu?"
"Aku berbohong. Aku mengatakan pada mereka hendak pergi ke rumah Cahya." Kinnas tersenyum paksa.
"Emm ... maaf," kata Adrea, lirih. Kepalanya pun menunduk, memandang kalung Berliana Biru yang sudah ia genggam sejak tadi. Adrea merasa bersalah sebab menanyakan hal demikian.
Sontak Kinnas tertawa pelan, mencairkan suasana yang mulai terasa mendung. "Lebih baik kita mulai sekarang, Dre," katanya, tidak mau membuang-buang waktu.
Adrea tersenyum penuh makna. "Baiklah, ayo kita mulai!"
Bermula dari Kinnas, gadis itu mengeluarkan buku Hirawan Bulao dari dalam saku hoodie, kemudian meletakkannya di atas meja. Entah suatu kebetulan atau bukan, tulisan timbul berwarna emas tampak lebih bersinar ketimbang biasanya. Begitu pun Adrea yang menaruh kalung Berliana Biru di atas meja yang sama, atensinya langsung teralihkan pada buku Hirawan Bulao, hingga gadis berambut ikal itu mengulurkan tangannya untuk langsung membuka lembar ketiga.
"Siapkan selembar kertas kosong." Adrea membaca langkah pertama, membuat Kinnas langsung mengeluarkan kertas HVS yang telah digulung dari dalam saku hoodie miliknya. "Letakkan didekat Hirawan Bulao, di bawah sinar rembulan." Secepat kilat Kinnas mengambil buku Hirawan Bulao setelah mendengar kalimat selanjutnya.
Serentak, keduanya mengangkat meja bundar itu untuk memindahkannya di tengah-tengah taman, tempat yang tepat sebab bulan bersinar indah di atasnya. Merasa posisinya sudah pas, Adrea dan Kinnas secara perlahan menempatkan meja tadi di atas rerumputan. Akhirnya, dua gadis itu terengah, merasakan keringat yang mengalir di pelipis masing-masing.
Sempat tertawa, Adrea kembali menatap Kinnas lekat-lekat. "Kau yakin?" tanyanya.
Pertanyaan Adrea mengudara, belum juga mendapatkan jawaban karena Kinnas masih sibuk menggigit bibirnya, melampiaskan rasa gugupnya akan hal sakral yang akan ia lakukan. "Aku yakin, benar-benar yakin. Bagaimana denganmu?"
"Sangat yakin!" tutur Adrea bersemangat.
Demi menjadi tiga besar di Snasa Yours Evaluasi.
Demi menjadi pemenang di Tora Figure Skating Champion.
Keduanya sama-sama berseru dalam hati.
Seperti telah ditata sedemikian rupa, mereka mengambil posisi, saling berhadapan dengan Berliana Biru yang tampak lebih indah malam ini. Dengan penuh keyakinan, kedua tangan keduanya bertaut, mengelilingi meja bundar sambil memandang wajah satu sama lain yang terlihat sama gugupnya. Kembali mengangguk, serentak dua gadis itu mengalihkan pandangan untuk menatap Berliana Biru yang mengilap.
"Hirawan Bulao tunjukkan warnamu... Perempuan 'pemilik' membutuhkanmu..." Lantang, Adrea dan Kinnas berseru.
"Hirawan Bulao tunjukkan warnamu... Perempuan 'pemilik' membutuhkanmu..."
Setelah kedua kalinya mengatakan kalimat yang sama, mendadak Berliana Biru berubah warna menjadi biru. Bersinar terang, bahkan sangat terang, sampai-sampai Adrea dan Kinnas harus memejamkan matanya untuk menghindari kilauan berlian yang begitu menyilaukan mata. Tidak dapat dipungkiri, kalau jantung keduanya juga berdegup kencang, melampiaskan semua perasaan--antara takut dan terkejut.
Benda keramat itu masih terus menunjukkan kekuatannya, menyinari taman belakang dengan cahaya biru hingga nyaris menembus tirai. Rembulan di atas sana juga turut andil, seolah menjadi saksi atas ritual pertama Berliana Biru yang kembali dilakukan setelah ratusan tahun lamanya. Adrea dan Kinnas, dua gadis yang masih bertahan di posisinya meskipun kening mereka telah basah oleh keringat.
Katakan apa yang kau mau ...
Jentikan jarimu ...
Sayup-sayup, keduanya mendengar suara seorang wanita. Namun, bagi Kinnas, suara ini sama persis seperti suara Hirawan Bulao yang memanggilnya menuju Adrea di toilet Snasa waktu itu. Gadis tersebut merasa deja vu, berbanding terbalik dengan Adrea yang mengernyit bingung tatkala mendengar suara tiba-tiba. Bahkan tidak ada siapapun selain mereka berdua di sini, lalu dari mana suara itu berasal?
Ritual pertama telah dilakukan ...
Katakan dalam hati ...
Lagi, suaranya kembali terdengar, tetapi kali ini kalimat yang diucapkan berbeda dari sebelumnya. Sama-sama menukikkan alis, Adrea dan Kinnas benar-benar tidak tahu makna dari ucapan yang terus berdengung di telinga. Mencoba didengarkan sekali lagi, secara teliti, tetapi keduanya tidak memahami apa yang terdengar.
Sambil terus terpejam, cahaya biru yang seolah menerebos kelopak mata perlahan menghilang. Kilauan yang tadi sempat membuat pusing juga ikut sirna. Dengan penuh hati-hati, Adrea dan Kinnas membuka mata, menyesuaikan pencahayaan yang mulanya terang benderang tiba-tiba beralih remang-remang. Mereka melihat ke sekeliling, tidak ada yang berubah. Terkecuali, kertas kosong yang saat ini tidak lagi kosong.
"Katakan dalam hati ... dan jentikan." Kinnas membaca tulisan itu seraya menghirup rakus-rakus pasokan oksigen di sekitarnya. Demi apapun, ritual yang hanya berdiam diri tadi mampu membuat napasnya ngos-ngosan seperti habis berlari maraton.
Alis Adrea menukik bingung. "Apa maksudnya?" tanyanya pada Kinnas.
"Aku tidak mengerti, di buku tidak menjelaskan apa-apa." Kinnas terduduk lemas di atas rerumputan, tidak peduli celananya akan kotor ataupun basah akibat embun.
Sedangkan Adrea mengambil kertas itu, mencoba menelaah maksud dari kalimatnya. Namun, tetap saja ia juga tidak paham, Adrea tidak handal dalam membaca pesan tersirat. Apalagi susunan kata ini--yang sukses membingungkan seorang figure skater, bahkan salah satu murid pintar di Snasa. Ternyata, ilmu gaib memang lebih berbelit ketimbang Matematika.
Dengan lemas, Adrea meletakkan kembali kertas itu di atas meja, sebelum sinar tidak terlalu terang tiba-tiba mengecoh atensinya. "Astaga!"
Kinnas beranjak ketika mendengar suara teriakan Adrea, gadis itu lantas menghampiri sosok yang belum lama ia kenal dengan tergesa-gesa. Seketika, bola matanya membola, bersamaan dengan Adrea yang masih membuka mulutnya selebar koin satu utra. Membaca kalimat tambahan di atas kertas HVS tadi--yang sayangnya masih membingungkan untuk dipahami.
Semua hal akan terjadi sesuai keinginanmu, terkecuali hal buruk dan kematian.
Note :
*Koin 1 utra = uang logam Tora (ukurannya sama seperti koin 1000 rupiah Indonesia)
Udah nyampe ritual pertama aja, nih. Gimana, masih betah, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top