Bab 06 •Crazy Decision•


Hari Minggu, Kinnas memanfaatkan waktu luangnya untuk membantu ibu berjualan kue kering di pasar. Kedai kecil yang hanya berukuran 3x4 itu terlihat begitu sederhana, tanaman hias yang sengaja digantung di beberapa sisi juga memberi kesan asri. Ada tiga bangku yang sengaja di taruh di depan kedai--untuk para pelanggan duduk ketika menunggu pesanan.

"Berapa harganya, Nona?" tanya seorang pria paruh baya sambil menunjuk biskuit spekulatius dari luar etalase.

Kinnas yang sedang meletakkan satu kotak biskuit kacang amandel ke dalam keranjang pun mendongak. "20 utra, Paman."

"Pesan dua."

"Baik."

Tangan Kinnas begitu cekatan menyusun beberapa kotak biskuit ke dalam keranjang--milik wanita muda di sebelah kanan. Topi hitam serta masker menutupi sebagian wajahnya, penampilannya juga sedikit berbeda dengan para penghuni pasar lainnya, sebab sepatu Christian Dior yang ia kenakan sempat membuat Kinnas melirik dua kali.

"Ini pesanannya, Nona," ucap Kinnas sopan.

"Terima kasih, kembaliannya ambil saja."

"Tapi--Nona, tunggu!" teriak Kinnas memanggil perempuan tadi yang malah melenggang pergi, meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja.

"Terima saja, itu adalah bonus untuk kerja kerasmu hari ini, Nona," ujar pria bertopi boater seraya mengambil plastik berisi biskuit spekulatius.

Kinnas yang mendengar hal itu lantas tersenyum hangat. Sempat membungkukkan tubuhnya lalu mengucapkan terima kasih pada pelanggan terakhir di sana. Setelah membereskan etalase yang belum tertutup rapat, Kinnas langsung menghampiri ibunya yang sedang mencuci nampan kue di bagian belakang kedai.

"Ibu! Lihat! Aku mendapatkan uang le--" Kinnas menghentikan langkahnya ketika melihat Hanna duduk di depan toko tutup bersama seseorang yang ia kenali. Sepertinya, mereka berdua sedang membicarakan sesuatu.

"Aku sudah memberimu waktu tiga bulan, Hanna. Sebenarnya kau ingin memperpanjang sertifikasi-mu atau tidak?" Wanita berambut cokelat tua itu menghembuskan napas kasar.

Hanna memegang telapak tangan wanita di depannya. "Saya mohon, Nyonya, beri kami waktu sebentar lagi. Saya akan kerja tambahan untuk bisa--"

"Hal itu juga sudah kau katakan Minggu lalu, lalu hari ini kau mengatakannya lagi? Aku mohon kerja samamu, Hanna. Rumah susun itu satu-satunya mata pencaharianku setelah suamiku meninggal, kau tahu?" Bibirnya yang berpoles lipstik merah tua mendengkus kesal.

"Tapi kali ini saya akan bekerja tambahan, Nyonya. Saya sudah mendapatkan pekerjaannya, dan hari ini Saya sudah mulai bekerja," ucap Hanna memohon. "Satu bulan lagi. Saya janji bulan depan akan menembus sertifikat-nya," lanjutnya mencoba meyakinkan.

"Baiklah, Hanna. Tapi ingat, hanya satu bulan." Wanita berumur 50an itu beranjak pergi, meninggalkan Hanna yang terus-menerus mengucapkan terima kasih.

Sementara itu, Kinnas yang melihat kejadian menyedihkan tadi masih berdiam diri dari balik pagar besi. Kepalanya menengadah, membayangkan hidupnya yang lumayan lebih baik dibandingkan tiga bulan terakhir ini. Andai saja waktu itu ia melarang ayahnya pergi bekerja di tengah derasnya hujan, pasti kondisi mereka tidak sesusah sekarang.

"Kin, kenapa kau di sini?" tanya Hanna ketika melihat putrinya duduk bersimpuh di atas tanah.

Sontak Kinnas berdiri, menatap ibunya iba. "Apa, Ibu, akan bekerja?"

"Kin--"

"Bu."

"Ibu sudah memikirkan ini sejak jauh-jauh hari, Nak. Agar kita bisa tetap tinggal di apartemen itu." Hanna mengelap kening Kinnas yang berkeringat.

"Tapi, tidak dengan bekerja tambahan, Bu. Ibu bisa sakit jika terlalu banyak bekerja," sanggah Kinnas dengan raut wajah khawatir.

Hanna tidak menjawab, wanita memakai celemek itu memilih berjalan memasuki kedai, meninggalkan Kinnas yang termenung. Kondisi kesehatannya bukanlah yang terpenting sekarang, ia hanya berharap bisa tetap memiliki tempat tinggal untuk suami dan anak-anaknya.

"Biar aku saja yang bekerja! Kinnas akan bekerja paruh waktu seperti Kak Juan."

Mendengar perkataan Kinnas, lantas Hanna mendongak. "Ibu sudah bilang, Kin, tugasmu hanya sekolah dan belajar. Jangan aneh-aneh!"

"Tapi Kak Juan saja boleh bekerja, kenapa aku tidak, Bu?" tanya Kinnas.

"Kin--"

"Izinkan aku membantu, Ibu." Kinnas memegang kedua pundak Hanna, mencoba meyakinkan ibunya untuk mengizinkannya bekerja.

"Kau tahu, Kinnas? Ibu dan Ayah tidak pernah menginginkan Kakakmu bekerja, karena biaya kuliahnya adalah tanggung jawab Ibu dan juga Ayah," ujar Hanna sambil memandang putrinya sendu. "Karena itu, fokuslah bersekolah, Kin. Raihlah cita-citamu, persoalan biaya itu sudah menjadi urusan Ibu dan Ayah." Hanna mengecup singkat kening Kinnas lalu memeluknya--mencurahkan rasa sayangnya kepada putrinya.

Dalam dekapan Hanna, mata Kinnas berkaca-kaca, bahkan satu tetes bulir bening berhasil lolos--membasahi pipinya. Ia tahu, bagaimanapun juga, para orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, begitupun dengan ibunya.

Menyudahi suasana haru keduanya, akhirnya Kinnas dan Hanna menutup kedai yang sudah buka sejak pagi. Hanna memasukkan beberapa biskuit sisa ke dalam kotak--untuk di bawa pulang, sedangkan Kinnas menyerahkan dompet jadul berisi beberapa lembar uang--hasil berjualan hari ini kepada ibunya.

"Dompetnya kau saja yang bawa, Kin, beserta sisa kue ini." Hanna memberikan satu plastik ukuran sedang kepada Kinnas.

"Apa Ibu tidak pulang dulu? Apa Ayah sudah tahu kalau Ibu bekerja tambahan?" Kinnas memborbardir Hanna dengan sederet pertanyaan, ekspresi khawatir masih terpasang di wajahnya.

Hanna tersenyum lembut. "Pulang saja, Kin," jawabnya singkat.

Tadinya Kinnas hendak membuka mulutnya, tetapi Hanna buru-buru menyerahkan satu kantong plastik berisi kue sisa beserta tas jinjing milik gadis tersebut, lalu mendorong pelan tubuh putrinya untuk pergi ke halte bus terdekat. Mau tak mau, Kinnas pun menurut, meninggalkan Hanna yang hendak pergi bekerja di salah satu restoran.

Ke luar dari gang sempit akses pintu masuk pasar, Kinnas berjalan lunglai, tak ayal menutupi kepalanya akibat cuaca Melawa yang begitu terik. Di sebrang jalan, ada sebuah taman yang lumayan ramai, dan di dekat pagar tembok--terdapat beberapa pedagang pinggir jalan yang menjual berbagai macam makanan ringang. Kinnas pernah membeli salah satunya, corndog manis yang di jual pedagang paling ujung.

Tak lama setelah sampai di halte bus, kendaraan angkutan umum itupun tiba, dengan segera Kinnas melangkah memasuki bus berwarna hijau--yang dikhususkan untuk menempuh jarak lebih dekat. Kinnas memindai barcode pada kartu transportasi di mesin pembayaran, setelah notifikasi berhasil muncul, barulah Kinnas menduduki kursi nomor tiga, dekat jendela yang terbuka. Masyarakat Tora memang lebih memilih kendaraan umum dibandingkan sepeda ataupun motor listrik--karena di nilai kurang aman untuk keselamatan, terkecuali kalangan atas yang sanggup membeli kendaraan sendiri seperti mobil.

Kinnas menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya, sambil terus memeluk tas jinjing yang berisi kue sisa, dompet, serta buku Hirawan Bulao. Kejadian tadi, ketika ibunya memohon pada pemilik apartemen kembali memenuhi pikirannya. Bukan tanpa alasan mengapa mereka lebih memilih menyewa apartemen, tentu saja karena harga rumah ataupun tanah di Tora jauh lebih mahal. Bahkan, rumah susun unit sederhana yang saat ini Kinnas tinggali, bayarannya bisa menyampai 5.000 utra dalam sebulan.

"Menyedihkan sekali menjadi orang miskin," keluh Kinnas sambil membuka buku Hirawan Bulao, memikirkan sesuatu.

•••

"Kenapa Ayah pulang lebih awal?" Adrea melepas celana legging-nya dengan begitu tergesa-gesa, hingga menyisakan rok flare di atas lutut sebagai bawahan.

"Saya kurang tahu, Nona," jawab sopir di depan sana.

Adrea mendengkus kesal. "Lalu, apa Paman mengatakan kalau aku berkunjung ke tempat Nenek?"

"Tentu saja. Sesuai perintah, Nona."

"Bagus." Tangannya menyentuh lututnya yang lebam--akibat terjatuh ketika melakukan lompatan axel tadi.

Adrea memilin ujung rambutnya dengan perasaan gusar. Tak dapat dipungkiri kalau Kelan tidak mudah terkecoh dengan alasan klasik, mengatakan dirinya belum pulang di hari yang hampir malam karena berkunjung ke rumah nenek merupakan hal konyol. Adrea tahu ayahnya tidak sebodoh itu, tetapi berbicara jujur hanya akan membuatnya memasuki kandang singa lebih cepat. Ya, Kelan pasti akan sangat marah bila mengetahui Adrea kembali bermain ice skating.

Dari balik jendela sedan hitam yang ia naiki, Adrea melihat beberapa bangunan pencakar langit menjulang tinggi. Mengembuskan napas kasar, gadis itu mencoba tenang jika memang nanti Kelan akan memarahinya. Tentu saja, di setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya bukan?

Gerbang besi terlihat jelas, menandakan Adrea telah sampai di Houses Room. Bangunan berlantai dua itu begitu megah dengan gaya Eropa klasik, warna putih pada dinding tampak mendominasi dengan beberapa lampu hias yang menempel di sisi kanan dan kiri pintu--beserta jendela. Ada sebuah taman yang menampilkan pancuran minimalis, beserta rerumputan luas yang membentang sampai belakang rumah. Setelah sampai di depan pintu utama, Adrea lekas memegang kenop pintu untuk membukanya.

"Balet, Yah. Sheren akan mengikuti ekstrakurikuler balet."

Langkah Adrea mendadak terhenti di lorong perbatasan ruang tamu. Sedikit menggeser tubuhnya untuk mendekati vas keramik setinggi pinggul orang dewasa. Adrea mengintip dari celah-celah dedaunan tanaman hias, dan melihat tiga orang sedang berbincang di atas sofa berbahan katun. Dari balik tembok--sekat ruang tamu dan ruang keluarga, Adrea menguping.

Kelan meletakkan potongan brownies lotus lalu menatap Sheren lekat-lekat. "Lakukan apa yang kau mau, Sheren. Ibu dan Ayah akan selalu mendukungmu."

"Lakukan apa yang kau mau," beo Adrea.

"Berhentilah bermain ice skating."

Dua kalimat yang sangat berbeda.

Sambil bersender pada dinding pembatas, lagi-lagi Adrea memilin ujung rambutnya dengan perasaan tak karuan. Sebegitu mudahnya kalimat itu meluncur dari mulut Kelan, berbeda dengan Adrea yang harus diam-diam pergi ke skyrink karena larangan konyol ayahnya.

Hampir menangis, Adrea lantas berjalan melewati ketiganya--yang langsung terkejut ketika dirinya muncul tiba-tiba. Tidak lagi merasa takut seperti di dalam mobil tadi, yang ada di pikiran Adrea saat ini hanyalah pergi ke kamarnya, lalu mencoret-coret kanvas untuk melampiaskan amarahnya.

"Adrea, dari mana kau?" tanya Kelan, memandang putrinya yang terlihat tidak peduli.

"Adrea ... ibu membawakanmu makarun, makanan kesukaanmu." Kali ini Belinda mengambil satu kotak makarun dari dalam plastik, berharap Adrea mau menghampiri mereka untuk menerima pemberiannya.

Gadis yang terus-menerus di sebut namanya terlihat tak acuh, tetap melanjutkan langkahnya untuk menaiki anak tangga. Sedangkan Kelan yang melihat hal itupun langsung mengeraskan rahangnya.

"Apa kau tidak punya sopan santun, Adreanna?!"

Adrea berhenti. Deru napasnya memburu, tenggorokannya terasa tercekat karena menahan tangis. "Kenapa?"

"Kenapa," beo Kelan.

Belinda menggenggam telapak tangan Kelan, mencoba menenangkan suaminya yang sudah dikuasai oleh emosi. Sedangkan Sheren terdiam dalam duduknya, berharap tidak terjadi keributan.

"Aku hanya ingin pergi ke kamarku, itu saja," kata Adrea. Singkat, padat, dan terdengar tidak sopan.

Sorot mata Kelan memandang bercak keuangan di lutut putrinya. Berpikir dugaannya tidak salah, tangannya pun kembali mengepal karena amarah. "Kau bermain ice skating lagi, Adrea?! Kenapa kau begitu keras kepala--"

"Apa salahnya dengan bermain ice skating, Ayah?!" potong Adrea, air matanya mulai luruh.

“Kau benar-benar keras kepala, Adrea!”

“Aku hanya melakukan sesuatu sesuai keinginan--”

"Tidak bisakah kau menuruti permintaan Ayah sekali saja?!"

Kedua alis Adrea menukik, sebelum sedetik kemudian terdengar suara tawa teramat miris memenuhi ruang keluarga.

"Kapan aku tidak pernah menuruti, Ayah?" Dengan keadaan yang sudah berantakan, Adrea kembali melanjutkan, "bahkan ketika Ayah menyuruhku untuk berhenti menjadi atlet ice skating, aku menurutinya. Lalu perjanjian berkuliah di Edinburgh ... semua mimpiku harus terhenti karena aku selalu menurutimu, Ayah!"

Mulut Kelan terasa kelu, perkataan Adrea seolah menamparnya. Kepalan tangan yang sebelumnya menguat terlihat merenggang, menyari pegangan pada pinggiran sofa seiring sorot matanya mengarah ke sana kemari. Tidak lagi menanggapi putrinya yang bahkan mulai melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam kamarnya.

Adrea melempar ransel biru muda ke atas kasur. Sambil meremat rambut ikalnya yang tergerai, Adrea mengambil alat lukis yang ia simpan di dekat meja belajar. Mengambil palet beserta cat air secara kasar, gadis itu lantas mencoret-coret asal media lukis di depannya dengan begitu emosi. Melampiaskan seluruh amarah yang sudah menumpuk sejak ia memasuki bangunan menyedihkan ini. Tidak sabar, Adrea akhirnya melemparkan kuas kayu tadi, lalu menendang kanvas di depannya seperti orang kesetanan.

Cukup lama Adrea mengatur napasnya yang memburu akibat amarah. Hanya diam berdiri sambil menatap nanar kanvas beserta ala lukisnya yang sudah hancur berantakan.

Mencoba tenang, Adrea memandang foto berukuran 5r yang ia letakkan di samping rak sepatu. Matanya menyorot lebih dalam ketika kilauan kalung berlian--di samping bingkai foto, mengambil alih atensinya. Mendadak, perasaan itu muncul begitu saja. Perasaan nekat yang mungkin saja mengubah alur hidupnya. Perasaan yang membawanya mengambil ponsel dari dalam tas, berniat menelpon seseorang.

"Aku tahu ini terdengar gila, tetapi ... mari gunakan Berliana Biru bersama-sama," ungkap Adrea pada Kinnas di sebrang sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top