Bab 05 •Let's Talk!•
"Kau mengenalnya, Dre?"
Adrea menggeleng, lipatan keningnya begitu terlihat jelas sedang memikirkan sesuatu. Rasa sakit yang sempat menjalar di pinggul bawah mulai mereda, lain halnya dengan perasaan bingung yang masih mengitari Adrea hingga menit ini. Pandangan gadis itu masih tersimpan jelas dalam memorinya, apalagi ketika sorot matanya mengarah pada kalung Berliana Biru yang berada dalam saku outer miliknya.
"Tidak."
Ketiganya mengangguk. Deyna dan Arsen menopang tubuh mereka pada tembok pembatas--koridor kelas tiga, memandang lapangan luas dari balik jendela lantai tiga. Berbeda dengan Louis, pemuda itu mengamati Adrea yang terus-menerus memegang saku pakaian luarnya--seolah takut kehilangan sesuatu.
"Ada yang menggangu pikiranmu, Dre?" tanya Louis membuat Deyna dan Arsen menoleh.
Adrea tersentak, sempat mengembuskan napas perlahan lalu menjawab, "T-tidak. Aku tidak memikirkan apapun."
Louis mengangguk paham. "Kinnas, yang menabrakmu tadi bernama Kinnas."
Pemuda itu sedikit tahu mengenai gadis yang dibicarakan, karena ia merupakan murid penerima beasiswa yang namanya sempat Louis baca di salah satu formulir klub jurnalistik.
"Kinnas? Namanya unik sekali," sahut Arsen cengar-cengir.
"Tapi, kenapa pandangan matanya seperti itu?" Louis menatap Adrea lekat-lekat. "Kenapa raut wajahnya tadi seolah ada ... sesuatu antara dirimu dan dia, Adrea," lanjut Louis.
Adrea memilin ujung lengan almamater-nya, gusar. "Aku tidak mengenalnya. Demi apapun aku tidak mengenalnya."
Benar, ia memang tidak mengenal gadis bernama Kinnas. Pertemuan pertama mereka juga sebatas tak sengaja bertubrukan di koridor dekat perpustakaan. Setelahnya, berjalan normal--tidak ada kejadian baku hantam sampai mengharuskan Kinnas menaruh rasa benci kepadanya. Mungkin hanya kejadian tadi yang bisa di bilang lebih parah daripada kejadian sebelumnya. Pasalnya, keduanya sama-sama jatuh terduduk mencium lantai.
"Ayolah! Lagi pula tadi hanya kejadian yang tidak disengaja. Benar tidak, Dre?" Arsen tertawa, mencoba mencairkan suasana ketika yang lainnya malah melirik sinis padanya.
"Baiklah. Aku harus ke ruangan Student Council sekarang," celetuk Louis.
Deyna yang mendengar penuturan Louis sontak mengingat sesuatu. "School anniversary! Pasti akan sangat seru."
"School anniversary?"
"Benar, Dre. Acara ulang tahun Snasa bulan September nanti," ucap Deyna begitu bersemangat. Sebab, tim cheerleader-nya akan ikut tampil nanti.
"Pantas saja akhir-akhir ini kau selalu sibuk, Lou. Katakan, apa tim teater juga mendapatkan bagian?" tanya Arsen pada Louis, seiring benaknya memohon agar ia terhindar dari peran apapun tahun ini.
Louis menepuk pundak Arsen lalu tersenyum. "Tentu saja akan ada penampilan teater, Sen. 'Raja Ratu Berlian', dan kau akan mendapatkan peran salah satu Raja."
Seketika, Arsen mendesah kecewa. Ia sebagai anggota ekstrakulikuler teater yang sering absen pasti akan kewalahan nantinya.
Ulang tahun Snasa School selalu menjadi acara penting di setiap tahunnya. Para anggota SC--Student Council akan menjadi penanggung jawab bagi acara yang akan diselenggarakan. Karena itu, Louis yang menjabat sebagai ketua SC sedang mengerahkan seluruh tenaganya untuk acara school anniversary. Berbagai penampilan akan ditampilkan, salah satunya pertunjukan teater legenda berjudul 'Raja Ratu Berlian' yang diwajibkan ada.
"Bel masuk. Ayo ke kelas Dre!" ajak Deyna menarik lengan Adrea.
Tadinya, Louis hendak menyusul Arsen yang telah berjalan lebih dulu. Namun, cekalan jemari lentik Adrea yang memegang pergelangan tangannya menahan langkahnya.
"Ada apa, Dre?" tanya Louis. Ekor matanya tidak melihat Deyna di samping gadis tersebut. Pasti ia menyuruhnya untuk memasuki kelas lebih dulu.
Adrea menatap Louis, serius. "Pulang sekolah nanti, aku butuh bantuanmu."
•••
Suasana kafe ala vintage terlihat ramai di Sabtu siang. Dinding yang didominasi warna-warna pastel begitu serasi dengan tanaman rambat yang menjulur di atas pintu masuk. Tulisan 'D' Caffe' yang merupakan nama kafe tersebut terlihat kelap-kelip karena cahaya lampu gantung di sekitarnya. Kinnas sendiri sempat bingung, sebab di siang hari yang otomatis terang benderang, pemilik kafe malah menghidupkan semua lampu. Apa tidak pemborosan listrik?
"Aku menyerah. Tidak ada satupun penjelasan wanita berambut semak tadi, yang masuk ke dalam otakku." Cahya menyeruput americano miliknya setelah selesai mengomel sejak tadi.
Kinnas yang hanya mengenakan kaos putih polos dan celana high waist menyandarkan tubuhnya pada bangku kafe. Cukup melelahkan mendengarkan Cahya yang terus mengoceh akibat datang ke salah satu bimbel pilihan orangtuanya. Bukan tanpa alasan, wanita pembimbing dengan rambut keriting plus mekar seperti semak belukar--kata Cahya, selalu menunjuknya untuk menjawab soal-soal di papan tulis. Tidak sampai di situ, Cahya semakin geram karena cara mengajar wanita tadi yang sangat membosankan.
"Aku rasa tadi itu bukanlah bimbel, tapi sama saja seperti sekolah biasa." Lagi, ternyata Cahya masih berlanjut.
"Mungkin kau saja yang tidak fokus, Ya." Kinnas akhirnya bersuara setelah puluhan menit lamanya.
Cahya mendelik. "No! Semua yang ada di sana juga berkata demikian. Wanita semak itu fokus mendongeng daripada menjelaskan soal."
"Sudah-sudah! Jangan lagi menghina orangtua, dosaku sudah terlalu banyak," tukas Kinnas, mengakhiri perbincangan tak berbobot keduanya.
"Karena itulah aku memanggilmu ke sini, Kin. Ajari aku soal Fisika yang kemarin." Cahya membentuk wajahnya semelas mungkin, berharap Kinnas akan luluh padanya.
Kinnas yang mendengar itupun mendesah lelah. "Kau tahu, Ya? Kau sudah mengganggu waktu tidur siangku." Sangat menyebalkan ketika mengingat tidur siangnya tadi harus terganggu karena dering panggilan dari Cahya--yang menyuruhnya untuk pergi ke kafe, dekat Allison Mall.
"Aku akan mentraktirmu chicken katsu, bagaimana?" tawar Cahya menyentil kelemahan Kinnas.
Menolak chicken katsu sama saja dengan menolak rejeki, sebab itu kini Kinnas menyetujuinya. Dengan segera, Cahya membuka tasnya untuk mengambil beberapa buku lalu meletakkannya di atas meja.
"Satu lagi, acara school anniversary nanti apa kau akan ikut tampil, Kin?" tanya Cahya kembali membuka pembicaraan.
Kening Kinnas berkerut. "Kalau aku, tentu tidak. Tapi kami memiliki satu perwakilan untuk membacakan puisi," jawabnya seadanya.
"Beruntung sekali. Coba saja dulu aku masuk ekstrakulikuler jurnalistik ... ataupun lukis."
"Memangnya kau memiliki passion di kedua klub tadi?"
Cahya lantas menggeleng. "Setidaknya aku akan terhindar dari peran Ratu Valerie. Ya ampun, kenapa aku tidak menjadi pohon saja."
Kinnas memandang sahabatnya seraya berdecih. "Jadi, Raja Ratu Berlian akan ditampilkan? Dan kau mendapatkan peran salah satu tokoh penting? Itu sebuah keberuntungan!"
"Beruntung apanya? Ratu Valerie itu terkenal lemah lembut, anggun, baik, sedangkan aku--"
"Ya, kau bahkan terlihat seperti musang di musim kawin."
"Sialan!"
Kinnas tertawa sampai terbahak-bahak. Perutnya bergetar karena tak henti-hentinya ia tergelak, membuat Cahya mengerucutkan bibirnya karena sebal. Memang, bahagia sesederhana itu. Namun, mengingat legenda Raja Ratu Berlian, tawa Kinnas mendadak terhenti.
Cerita itu merupakan legenda terkenal masyarakat Tora mengenai batu Berliana Biru. Konon katanya, sebelum negeri ini bersatu dan di sebut sebagai Tora, dulu merupakan daratan luas yang terbagi menjadi empat kerajaan berbeda, di wilayah yang berbeda. Raja Alejandro dari wilayah Utara, Raja Gustav dari wilayah timur, Ratu Valerie dari wilayah Barat, dan Raja Paolo dari wilayah Selatan. Berliana Biru sendiri adalah warisan turun temurun milik kerajaan bagian Utara, yang waktu itu diperebutkan oleh tiga kerajaan sekaligus.
"Terima saja peranmu sebagai Ratu Valerie, Ya. Aku ingin melihatmu berjuang bersama Raja Alejandro dalam mempertahankan Berliana Biru," ungkap Kinnas.
"Lalu mereka berdua jatuh cinta, dan terjadilah perang,” sahut Cahya.
Bisa kita bertemu hari ini?
Kinnas memandang layar ponselnya dengan kening berkerut. Sejak kejadian ia menabrak Adrea di lorong dekat kamar mandi, Kinnas tiba-tiba mendapatkan pesan dari gadis berambut ikal itu berupa, Tolong simpan, ini Adrea. Entah mengapa, Kinnas masih merasa bingung. Bingung mengapa Adrea tiba-tiba mengirimnya pesan, bingung mengapa kemarin mendengar suara Hirawan Bulao, dan bingung ketika Kinnas menyadari suara yang seolah memanggilnya berasal dari dalam saku outer milik Adrea.
"Aku pulang sekarang, Kin. Belajarnya dilanjut besok saja." Cahya beranjak dari duduknya, membereskan buku-buku tadi untuk dimasukkan ke dalam tas.
"Aku tidak tahu harus merespon seperti apa." Kinnas lelah, dia sangat lelah. Tadi Cahya menerornya untuk mengajarinya belajar, tetapi setengah jam kemudian gadis berponi itu malah pamit, hendak pulang.
Cahya menyengir, tidak merasa bersalah. "Semua makanan serta minumannya sudah ku bayar, Kin, tenang saja."
Masa bodoh, Kinnas tidak menjawab. Membiarkan Cahya melangkah ke luar kafe, kemudian memasuki salah satu bus yang kebetulan mengarah menuju rumahnya. Jika ada lomba 'orang paling sabar' sepertinya Kinnas akan menjadi juara satu.
Maaf, tapi aku sedang berada di D' Caffe.
Send. Setelah memencet tombol kirim, Kinnas berdiri dari duduknya. Tangannya lebih dulu mengambil ponsel di atas meja untuk memasukkannya ke dalam tas jinjing yang ia bawa. Berlanjut, Kinnas hampir saja memegang kenop pintu sebelum suara notifikasi pesan mengambil alih perhatiannya untuk mengambil ponselnya kembali.
Aku akan ke sana.
Kinnas mengembuskan napas pelan, tak ayal kembali melanjutkan langkah untuk duduk di kursi bagian luar, kemudian memesan dua gelas kopi pada seorang pelayan. Sesuai pesan masuk tadi, Kinnas memutuskan untuk menunggu. Tidak terlalu lama sebab mobil mewah sudah terparkir di depan kafe.
Diam. Keduanya sama-sama terdiam. Tidak ada yang mau membuka suara lebih dulu, membuat lagu Sugar by Maroon 5 menjadi satu-satunya atensi pendengaran. Sambil menggenggam cangkir capuccino di atas meja, Adrea membenarkan topi baret-nya yang sedikit miring. Penampilan gadis itu berupa kaos putih pendek yang dipadu padankan dengan bolero hitam, di tambah rok lipit dan celana legging sebagai bawahan. Jika dilihat lebih teliti, sepertinya Adrea sehabis bermain ice skating.
"Apa aku mengganggu waktumu?" tanya Adrea memecah keheningan.
Kinnas menggeleng. "Tidak."
Kinnas menggigit bibirnya dalam-dalam. Melihat penampilan dirinya dan Adrea yang sangat jauh berbeda. Jam tangan rolex milik Adrea terlihat begitu kontras dibandingkan gelang serut yang ia beli di salah satu toko pinggir jalan. Meneguk ludah kasar, Kinnas mengintip Adrea melalui ekor matanya.
"Apa kau merasa panas? Kita bisa pindah ke dalam." Lagi, Adrea mencoba membuka pembicaraan. Mengingat cuaca kota Melawa yang akhir-akhir ini sangat panas ketika siang hari.
"Di sini lebih baik, Adrea. Di dalam tidak ada alternating current, hanya ada kipas angin yang ukurannya bahkan ... tidak lebih besar dari tas jinjingku," ungkap Kinnas mencoba menjelaskan.
Adrea mengangguk paham. "Kau sering ke sini?"
"Y-ya ... bisa dibilang begitu."
Kinnas menoleh, melihat ke arah parkiran yang terdapat pria paruh baya berpakaian serba hitam, membelakangi mereka berdua. Orang itu adalah sopir sekaligus pengawal Adrea.
"Soal kejadian kemarin, aku minta maaf. Aku tidak sengaja menabrakmu." Akhirnya Kinnas mengungkapkan beberapa kata yang sejak tadi bercokol dalam kepalanya.
Adrea tersenyum. "Tidak apa-apa."
Tangan gadis berambut ikal tersebut mengambil sesuatu dari dalam tote bag yang ia bawa. Hendak mengeluarkan benda yang akhir-akhir ini selalu membingungkan isi kepalanya. Benda yang tidak lain dan tidak bukan ialah, kalung Berliana Biru.
"Kau tahu kalung ini?" Adrea meletakkan Berliana Biru di atas meja, membuat Kinnas membulatkan matanya.
"I-ini--"
"Kau pernah melihat kalung ini?"
Kinnas memandang Adrea bingung. "P-pernah, tapi hanya di sebuah gambar." Tidak henti-hentinya Kinnas menggaruk kepalanya, sudah teramat kaget ketika melihat kalung yang sama persis seperti dalam buku Hirawan Bulao.
"Dimana? Apa kau pernah mengunjungi pameran kerajaan?" tanya Adrea begitu penasaran.
Perlahan, tetapi pasti. Kinnas mengambil tas jinjingnya, lalu mengeluarkan buku Hirawan Bulao yang selalu ia bawa ke mana-mana. Menunjukkan buku usang itu kepada Adrea yang langsung menautkan kedua alisnya.
"Buku apa ini? Dari mana kau mendapatkannya?"
"Dari perpustakaan Snasa." Kinnas menarik napas dalam-dalam. "Tapi, buku ini bukanlah bagian dari perpustakaan Snasa, karena tidak ada cap Snasa School di dalamnya. Buku ini menjelaskan tentang Berliana Biru dan ... cara menggunakannya." Kinnas menjelaskan seraya menunjukkan sampul dalam beserta gambar kalung Berliana Biru kepada Adrea.
"Gambarnya sama persis." Adrea menggelengkan kepalanya, begitu terkejut atas apa yang baru saja ia lihat.
"Persoalan kemarin, jujur sebelum menabrakmu aku mendengar suara seorang wanita berbisik, Hirawan Bulao." Kinnas menatap Adrea serius. "Suara itu seolah menuntunku menuju ... dirimu. Menuju saku outer yang kemarin kau pakai," lanjutnya kembali membuat Adrea terperangah.
Adrea mengusap keningnya, tidak habis pikir. Jadi, Kinnas yang menabraknya kemarin ada kaitannya dengan kalung Berliana Biru. Namun, bagaimana bisa? Bagaimana bisa kalung itu memanggil Kinnas? Seolah-olah Kinnas adalah pemiliknya.
"Jadi, kalung ini merupakan Berliana Biru, dan buku Hirawan Bulao menjelaskan cara 'menggunakan Berliana Biru', keduanya berkaitan." Kinnas mengangguk mendengar penuturan Adrea.
Untuk kesekian kalinya, dua gadis itu memasang raut wajah bingung sekaligus takjub. Pasalnya, Berliana Biru yang banyak dibicarakan orang-orang--kini berada tepat di depan mata mereka. Entah apa rencana semesta selanjutnya, yang terpenting saat ini adalah Adrea dan Kinnas, dua gadis yang mulai tertarik pada benda keramat tersebut.
Adrea menghela napas panjang, dengan penuh keseriusan, ia kembali menatap Kinnas lekat-lekat. "Apa kau tidak mau mencoba kalung itu?"
Pertanyaan Adrea membuat kening Kinnas mengernyit, tak ayal bibirnya berucap, "Sedikit ... sebenarnya aku sedikit penasaran apa kalung itu bisa mengabulkan permohonan atau tidak."
Note :
*Student Council = SC kalau di Indonesia ibaratkan OSIS (sebenernya ini kayak bahasa Inggrisnya gitu gaess😂)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top