Bab 04 •The First Female Owner•
Gila. Anggap saja Adrea begitu. Pasalnya di hari yang sudah menjelang malam, Adrea belum juga pulang ke Houses Room. Tidak berniat pulang ke sana sebenernya, karena gadis itu berencana akan pergi ke rumah lama--rumah, sebelum ayahnya menjadi Perdana Menteri. Itupun jika Adrea menginginkan dirinya masuk ke kandang harimau, sebab Kelan akan sangat marah jika tahu Adrea tidak pulang ke Houses Room.
Terus mengadu pisau sepatu luncur di permukaan es buatan, Adrea menajamkan matanya. Setelah merentangkan kaki kiri ke belakang, Adrea menganyunkan kaki kanan ke atas, lalu melompat, melakukan gerakan waltz jump. Sudut bibirnya terangkat, teramat senang bisa kembali merasakan berseluncur di atas es. Sekitar dua bulan Adrea tidak mengunjungi skyrink yang berada di Allison Mall, tempat biasa dirinya bermain ice skating. Secara diam-diam.
"Bravo!"
Mia berteriak heboh dari balik railing. Adrea keheranan, padahal hanya gerakan waltz jump yang ia tunjukkan, tetap sepupunya sudah seheboh itu. Untung saja keadaan skyrink sedang sepi, hanya ada sekitar lima sampai enam orang di dalamnya. Tentu saja, karena ini bukan akhir pekan.
"Anda harus menjaga sikap, calon Ratu." Adrea membungkukkan badannya, sengaja menekan kata 'Ratu' untuk meledek Mia.
Gadis yang memakai topi kupluk berwarna merah maroon itu mendelik kesal. "Berhentilah, Dre. Kau tahu, perjodohan kami merupakan hal konyol."
Adrea melepas sepatu seluncurnya lalu meletakkannya di dalam rak--tempat biasa para pengunjung menyewa ice skate. Tampilan Adrea masih memakai seragam sekolah, lengkap. Di tambah topi baret plus celana legging hitam yang sengaja ia bawa dari rumah. Adrea memang sudah merencanakan kegiatan ini dari jauh-jauh hari, karena itu persiapannya sudah amat matang.
"Aku rasa, Kakak dan Pangeran Martin cocok. Yang satu cerewet ... dan yang satunya lagi pendiam." Adrea menatap Mia. "Perpaduan yang sangat cocok, Kak. Lagipula umurmu sudah sangat pas untuk menikah," lanjutnya.
Sebelum Adrea tiba di Allison Mall, Mia lebih dulu menelponnya. Hendak memberi tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh Martin--anak pertama Raja Andreas, yang berarti merupakan putera mahkota penerus tahta kerajaan Tora. Sempat grasak-grusuk karena Mia ingin menemui Adrea, jadilah gadis itu mengusulkan untuk menyuruh sepupunya pergi ke skyrink Allison Mall.
Mia lantas menghela napas lelah. "Menikah tidak semudah itu, Dre. Lagipula bagaimana bisa aku menikahi seseorang yang masih terjebak dengan masa lalunya."
"Aku tidak menyangka kalau Pangeran Martin pernah memiliki kekasih. Bahkan aku tahunya ketika kekasihnya sudah ... tiada," ungkap Adrea seraya melepas sarung tangan.
Ia sempat tercengang ketika Mia menceritakan tentang kekasih Pangeran Martin yang meninggal karena pandemi covid kemarin. Secara tidak langsung Adrea merasa bersalah mengingat kelalaian ayahnya tiga tahun lalu.
"Karena itulah, Dre. Aku juga masih merasa belum siap untuk menikah." Mia menengadah, memandang dua sopir mereka yang masih setia mengawasi dari lantai atas.
"Tapi, jika nanti, Kakak, benar akan menikah dengan Pangeran Martin. Kemungkinan besar, Kak Mia, bisa bertemu Pangeran Andrew."
"Benar. Anak terakhir Raja Andreas."
Lekas Adrea berpikir. "Kira-kira apa penyakit yang dideritanya, sampai disembunyikan pihak Istana."
"Tidak tahu," sahut Mia kemudian menghela napas.
Hening, keduanya tidak lagi berbicara. Adrea sendiri bingung harus memberi tanggapan seperti apa, dirinya masih sangat awam untuk membahas masalah pernikahan. Namun, setidaknya kehadirannya malam ini cukup untuk mengurangi kekalutan Mia persoalan perjodohan tadi. Adrea tahu, hidup sebagai orang dewasa tidak semudah yang dibayangkan.
Mia membuka ponselnya, ada banyak panggilan tak terjawab yang kebanyakan berasal dari ayahnya. Batinnya menebak, pasti tidak jauh-jauh dari kau ada di mana? ataupun pulang sekarang juga! Tidak menghiraukan, akhirnya Mia memilih untuk membuka aplikasi ber-logo kamera.
"Berliana Biru kembali diperbicarakan, sepertinya mereka benar-benar yakin kalau kalung milik Ratu merupakan Berliana Biru," celetuk Mia.
Berbicara tentang Berliana Biru, Adrea reflek mengingat tentang kalung perak berliontin belian putih--yang ia temukan dalam tote bag pemberian orang di sampingnya. Jujur saja, sekarang Adrea menyimpan kalung itu dalam saku almamaternya, dan belum memberi tahu Mia kalau dirinya menemukan benda indah tersebut.
"Kau percaya tentang Berliana Biru, Kak?" tanya Adrea spontan.
Mia tersenyum. "Perlu kau tahu, Dre..." tubuhnya membungkuk, menjajarkan wajahnya dengan Adrea yang terduduk, "Berliana Biru itu nyata ... dan batu berlian yang asli bukanlah berwarna biru, tetapi berwarna putih," kata Mia membuat Adrea terperangah.
"K-kak Mia, dari mana kau tahu semua itu?" Adrea memegang saku almamaternya, reflek.
"Nenek," jawab Mia. "Nenek yang memberi tahuku ketika ulang tahunku yang ke-20. Sebenernya, Nenek akan marah bila tahu kalau aku menceritakannya padamu, Adrea ... karena itu jangan bilang pada siapapun." Mia mengarahkan telunjuknya ke atas bibir.
Setelah mendengar penuturan Mia, hanya satu kesimpulan yang saat ini bersarang di kepalanya. Bahwa, kalung yang ia temukan kemarin malam merupakan batu Berliana Biru yang asli. Sedikit tidak memungkinkan, tetapi entah mengapa Adrea meyakininya.
"Adrea, sepertinya aku harus pulang sekarang." Mia beranjak, hendak melangkah pergi ke parkiran.
"Baiklah, Kak. Sampai jumpa." Adrea melambaikan tangannya.
"Kau juga harus pulang, Dre! Ayahmu akan semakin marah jika kau pulang terlalu larut!"
Adrea tertawa, kendati kepalanya mengangguk mendengar teriakan sepupunya.
Sebelum menghampiri area parkir, Adrea mengatakan kepada sopirnya kalau ia akan pergi ke kamar mandi--hendak melepas celana legging-nya agar tidak ketahuan sehabis bermain ice skating oleh Kelan.
Setelah pintu terkunci rapat, Adrea terduduk di atas kloset. Napasnya terdengar teratur, berbanding terbalik dengan kepalanya yang begitu ramai karena memikirkan banyak hal. Sebenarnya, gadis itu hanya memikirkan cara--bagaimana agar dirinya bisa kembali menjadi atlet ice skating. Apalagi ketika kemarin malam Adrea melihat--pendaftaran Tora Figure Skating Champion akan segera dibuka. Demi apapun Adrea ingin mengikutinya, ingin membuktikannya, kalau ia tidak selemah seperti apa yang ayahnya katakan.
Kalung itu, batinnya.
Sontak Adrea meraba saku almamaternya, lalu memasukkan tangannya untuk mengambil kalung perak yang di gadang-gadang sebagai Berliana Biru. Matanya mengerjap pelan, memandang berlian berwarna putih yang terlihat begitu indah.
Jika memang Berliana Biru benar-benar ada, dan jika memang kalung yang ia pegang saat ini merupakan Berliana Biru yang asli, bolehkah Adrea mencobanya--mencoba untuk membuat satu permohonan.
"Ya ampun!"
Adrea menjatuhkan kalung tersebut ke atas lantai ketika berlian yang mulanya berwarna putih, tiba-tiba berubah menjadi warna biru.
Adrea bingung, terkejut, atau apalah itu--semuanya menjadi satu. Berlian di bawah sana seketika mengeluarkan cahaya, yang semakin lama semakin berkilau terang. Bola matanya membulat sempurna, begitu terperangah akibat melihat kejadian di luar nalar. Sungguh, tidak ada yang bisa Adrea lakukan selain termangu layaknya orang bodoh.
Satu hal kembali meyakinkan Adrea bahwa, kalung yang saat ini tengah berkilau terang memang benar-benar Berliana Biru. Batu berlian ajaib milik kerajaan Tora.
•••
"Ku dengar, Liam juga akan mendaftar SYE." Cahya memecah konsentrasi Kinnas yang sedang mengerjakan soal Fisika.
"Benarkah?" tanya Kinnas, kedua alisnya bertaut.
Cahya mengangguk meyakinkan. "Tentu saja. Kau tidak percaya keahlian mengupingku, Kin." Gadis berponi itu menaik-turunkan alisnya, membuat Kinnas mendesis kesal.
Keduanya sedang berada di dugout, ruang santai untuk para murid Snasa. Di dalamnya terdapat perpustakaan mini--yang kebanyakan isinya merupakan buku cerita ataupun motivasi, bangku nyaman beserta meja yang jumlahnya lumayan banyak, dan beberapa snack yang dapat di beli tergantung uang yang kalian punya.
"Liam pintar, bahkan sangat pintar. Astaga, rasanya semakin sulit menjadi tiga besar di SYE." Kinnas menjatuhkan kepalanya ke atas buku latihan Fisika yang masih terbuka.
Cahya yang sedang memainkan ponselnya langsung menggeleng heran. "Jangan dulu pesimis, Kin. Kau harus percaya diri," sahutnya menasehati.
Melihat Cahya melalui ekor matanya, lantas Kinnas menegapkan tubuhnya. Sebenarnya, Kinnas belum menyerahkan formulir pendaftaran ke guru yang bersangkutan karena ia belum mengisinya. Sempat bimbang, mengingat peserta yang sudah mendaftar memiliki kecerdasan yang tidak main-main. Ibaratkan, Kinnas seperti kalah sebelum perang dimulai.
"Kenapa mereka suka sekali membicarakan Berliana Biru? Kau tahu, Kin, batu berlian itu kembali ramai di media sosial." Cahya memandang layar ponselnya tak minat.
Kinnas berhenti menulis. Sorot matanya memandang ke arah ransel yang di dalamnya terdapat buku Hirawan Bulao--ia sengaja membawanya ke mana-mana. Kinnas seperti takut berlebihan jika meninggalkan buku tersebut di rumahnya. Kinnas khawatir kalau nanti ibu, ayah, ataupun kakaknya secara tidak sengaja memasuki kamarnya lalu menemukan buku usang itu.
"Cahya ... sebenarnya aku ingin memberi tahumu sesuatu," bisik Kinnas serius.
"Memberi tahu apa? Kau terlihat seperti tahanan kabur jika begini." Cahya memandang gadis berkepang dengan tatapan ngeri.
Mendengar penuturan Cahya, Kinnas langsung mengusap keningnya. "Aku serius, astaga."
Menghadapi Cahya seperti sedang melatih kesabaran, sedangkan Kinnas bukanlah orang yang penyabar. Siapapun, tolong beri tahu di mana letak kameranya, Kinnas ingin melambaikan tangan.
"Memangnya apa yang akan kau katakan, Kin?" tanya Cahya seraya tersenyum.
Kinnas menarik napas dalam-dalam, tak ayal sedikit memiringkan tubuhnya untuk benar-benar menghadap Cahya. Dengan segera, tangannya mengambil ransel dari atas meja lalu membukanya, mengeluarkan buku usang--yang semalam membuatnya terperangah hebat.
"Buku apa ini, Kin? Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Cahya bingung. Kedua alisnya tampak bertaut melihat tampilan buku yang terlihat kuno.
Kinnas menyengir, menampilkan deretan giginya yang rapih. "Jangan bilang siapa-siapa, aku mengambilnya dari perpustakaan ... secara diam-diam."
Nekat. Ya, Kinnas memang senekat itu.
Setelah secara tidak sengaja mendapati buku Hirawan Bulao, jujur saja Kinnas merasa tertarik. Ia sangat menyukai sejarah, dan ketika melihat buku yang tampilannya sangat kuno membuat Kinnas ingin meminjamnya. Namun, di bagian sampul dalam--tidak terdapat cap Snasa School yang biasanya selalu terlihat jelas di buku-buku perpustakaan. Sempat terpikirkan kalau buku tersebut bukan milik perpustakaan Snasa, hingga secara nekat Kinnas memasukkan buku Hirawan Bulao ke dalam tasnya secara diam-diam. Untung saja, di sudut dekat alternating current tidak ada CCTV yang terpasang.
"Astaga, Kinnas! Kau gila atau--"
Kinnas membekap mulut Cahya, karena beberapa orang mulai melihat ke arah mereka dengan pandangan tidak bersahabat. "Suaramu, Cahya," desis Kinnas gemas.
Cahya yang sadar hanya menyengir. "Maaf ... kalau begitu lanjutkan," perintahnya pada Kinnas.
"Baiklah, dengar! Percaya atau tidak, buku ini membahas tentang batu Berliana Biru yang asli." Kinnas menjelaskan begitu serius. "Dan kau tahu? Semalam, di lembar ketiga yang mulanya kosong ... tiba-tiba muncul tulisan 'cara menggunakan Berliana Biru'," lanjut Kinnas.
Cahya menganga. "Tunggu ... jadi maksudmu, buku itu mengeluarkan tulisan secara tiba-tiba?" tanyanya tidak habis pikir.
Kinnas mengangguk, lalu menyerahkan buku Hirawan Bulao kepada Cahya--menyuruh gadis tersebut untuk membuka lembar ketiga.
"Kosong, kau bercanda, Kin?"
Kinnas tersentak melihat Cahya membolak-balikkan lembar ketiga yang hanya berisi lembaran kosong. "T-tapi, semalam tulisannya muncul sendiri ... kenapa--"
"Ayolah, Kin, kurasa kau hanya berkhayal karena terlalu banyak belajar." Cahya menggeleng heran.
"Tapi, serius! Semalam tulisannya--"
"Lebih baik kita ke kelas sekarang, ayo!" Cahya menarik paksa lengan Kinnas setelah membereskan buku-buku milik gadis itu ke dalam tas, termasuk buku Hirawan Bulao.
Kinnas sendiri masih merasa bingung. Semalam cahayanya muncul tiba-tiba di lembar ketiga, lalu sederet tulisan timbul begitu saja. Memang terdengar tidak masuk akal, tetapi demi apapun Kinnas tidak berbohong, ia benar-benar melihat kejadian tersebut tepat di depan matanya.
Melangkah teratur beriringan dengan Cahya, Kinnas mengembuskan napas lelah. Benaknya terus bertanya-tanya, kenapa buku Hirawan Bulao jadi sepertinya ini? Sungguh, ia sangat tidak mengerti. Semalam cahaya dan tulisannya muncul, tetapi sekarang hanya lembaran kosong. Apa benar ia hanya berkhayal karena terlalu banyak belajar?
Hirawan Bulao.
Kinnas menghentikan langkahnya, menoleh ke sana kemari ketika suara seorang wanita terdengar samar-samar. "Kau mendengarnya, Ya?" tanyanya pada Cahya.
Cahya terlihat heran. "Apa? Mendengar apa? Aku tidak mendengar apapun."
Hirawan Bulao.
Lagi. Kinnas mendengarnya. "Kau benar-benar tidak mendengarnya?!"
"Tidak, Kin. Astaga, ada apa denganmu?" tanya Cahya mulai frustasi.
Hirawan Bulao.
Kinnas benar-benar tidak tahan. Lantas kakinya berlari menyusuri koridor untuk mencari sumber suara yang terus mengucapkan Hirawan Bulao. Tanpa memperdulikan Cahya yang berteriak ke arahnya, Kinnas terus memacu langkah kakinya. Entah apa yang terjadi, Kinnas merasa suara itu memang ditujukan untuk dirinya.
Berulang kali bibirnya berkata maaf ketika tidak sengaja menabrak orang-orang yang sedang berlalu-lalang di sepanjang lorong. Terlihat seperti orang kesetanan sekalipun, Kinnas tidak memerdulikannya. Saat ini Kinnas hanya memikirkan satu hal, mencari sumber suara yang berhasil membuatnya tidak tenang.
Hingga, Kinnas terjatuh, memegang bokongnya yang mencium lantai tanpa aba-aba. Lantas kepalanya mendongak, menatap sosok yang tadi bertabrakan dengannya. Terkejut, kedua matanya membulat, memandang Adrea yang sama-sama terduduk seperti dirinya.
Hirawan Bulao.
Lagi, Kinnas kembali mendengar suara itu. Suara yang berasal dari dalam saku outer, milik seorang gadis bernama Adrea.
Note :
*Allison Mall = salah satu mall terbesar di Melawa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top