Bab 03 •Simple Girl•

Bagi Kinnas, berjalan sendirian di koridor yang sepi merupakan kenyamanan tersendiri. Irisnya memandang bebas ke seluruh sudut ruangan luas ini, seirama dengan suara langkah sepatu yang mengentak lantai seputih susu. Semua tentang Snasa nyaris sempurna, dan sebagai salah satu murid--Kinnas mengakui itu.

Tiga puluh menit lagi sekolah akan di tutup, tentu sekarang hanya menyisakan Kinnas dan beberapa anak lain yang kebanyakan menempatkan diri di ruang ekstrakulikuler ataupun taman belakang. Kebiasaan Kinnas, belajar di perpustakaan setelah bel pulang berbunyi, lalu tertidur dengan tumpukan buku sebagai bantalan.

Kinnas selalu melakukan hal itu, terkecuali kemarin--ketika Cahya menyuruhnya untuk membantu membereskan album foto berisi photocard artis KPop milik gadis berponi di dalam kelas. Hal yang sangat memakan waktu, dan hampir membuat Kinnas lupa untuk meminjam buku paket Sejarah di perpustakaan. Alhasil, dirinya harus berlari seperti orang kesetanan di sepanjang lorong.

“Snasa Yours Evaluasi.” Kinnas membaca brosur di papan mading.

Sunshine Hawkish School selalu menyelenggarakan kompetisi setiap akhir tahun--Snasa Yours Evaluasi (SYE). SYE adalah ajang tahunan yang melombakan para murid-murid Snasa kelas 3 untuk berkompetisi, di mana ada tiga juara yang nantinya akan mendapatkan beasiswa penuh untuk berkuliah di salah satu PERINGGI rekomendasi dalam negeri. SYE bisa diikuti semua siswa-siswi Snasa, jadi siapapun memiliki kesempatan untuk menang.

Meskipun begitu, ada beberapa yang tidak tertarik dengan konsep SYE, karena tempat kuliah yang di rekomendasikan hanya terdapat tiga pilihan PERINGGI--itupun dalam negeri. Namun, bagi Kinnas--SYE adalah kesempatan besar karena ia bisa berkuliah tanpa perlu memikirkan biaya.

“Oke, Kinnas. Mari berjuang!” Tangannya mengambil formulir pendaftaran yang terdapat di dalam kotak--di sebelah papan mading.

Mengingat kondisi keluarganya tiga bulan terakhir ini, membuat Kinnas semakin yakin untuk mengikuti kompetisi SYE. Kendati tidak akan berjalan mudah, setidaknya Kinnas akan mencobanya.

•••

“Ambilkan garam!”

Lagi, Kinnas berdecak kesal. Tak ayal kakinya melangkah untuk mengambil sekotak senyawa ionik dari dalam lemari kayu. Ukurannya tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil, karena yang terpenting bisa menampung bumbu-bumbu dapur seperti bawang bombay dan lain-lain.

“Tidak bisakah kau letakkan bukumu itu sebentar?” Juan melirik sang adik seraya mengaduk sup tomat di dalam panci.

“Aku sedang belajar, jangan mengganggu,” balas Kinnas.

Juan mematikan kompor, menandakan masakannya sudah matang. “Kau akan gila jika terlalu banyak belajar.”

“Teori dari mana itu?” Kinnas mendelik.

Juan tidak menanggapi, pemuda berusia 20 tahun itu memilih untuk mengambil beberapa mangkuk, lalu mengisinya dengan sup tomat buatannya tadi. “Bantu Kakakmu ini, Kin! Kau mau makan atau tidak?”

“Iya-iya.”

Kinnas beranjak dari bangku meja makan, mengambil alih Juan untuk menuang makan malam mereka di atas mangkuk. Buku-bukunya sudah lebih dulu ia letakkan di atas nakas, dekat pintu kamar.

Apartemen sederhana ini sudah Kinnas tinggali sejak usianya masih 10 tahun. Saat itu, ayahnya di terima bekerja sebagai guru Sejarah di salah satu SEDASA swasta. Namun, tiga bulan yang lalu--ayahnya mengalami kecelakaan tunggal ketika hendak berangkat bekerja. Mengakibatkan sang ayah mengalami kelumpuhan, karena cedera pada saraf tulang belakang--membuat ibu Kinnas harus menggantikan posisi ayahnya sebagai tulang punggung keluarga.

“Ayah, Ibu, makan malam sudah siap.” Kinnas menghampiri kedua orangtuanya yang sedang mencetak biskuit spekulatius di ruang keluarga. Letak dapur dan ruang keluarga tidak memiliki sekat, karena itu dari arah dapur bisa melihat saluran televisi yang sedang menyiarkan berita.

“Iya, sebentar lagi,” balas Hanna.

Tangan Kinnas mengambil mangkuk besar berisi adonan kue. “Selesaikan nanti saja, ayo makan!” ajaknya.

Daran terkekeh, lantas meletakkan spekulatius yang sudah tercetak ke atas loyang. “Baiklah, Kin.”

Setelah selesai mencampur adonan kue, Hanna selalu membawanya ke ruang keluarga--agar bisa menonton TV sembari mencetak adonan tersebut menjadi berbagai bentuk kue kering.

Dengan begitu leluasa Kinnas mendorong kursi roda Daran, sedangkan Hanna membawa tiga loyang biskuit spekulatius untuk memasukkannya ke dalam oven. Sejak Daran kecelakaan, Hanna memutuskan untuk berjualan kue kering di pasar tradisional setiap harinya.

Sebenarnya, pasangan suami-istri itu ada beberapa uang tabungan hasil dari sisihan gaji sang ayah bekerja sebagai guru. Namun, hampir seluruhnya terpakai untuk terapi pengobatan Daran. Hingga di satu titik, Daran memutuskan untuk menghentikan terapinya, dan sisa uang tabungan digunakan untuk menyewa kedai kecil--tempat Hanna berjualan kue kering.

“Putri Selena semakin terlihat cantik setelah memakai mahkota-nya,” puji Hanna ketika berita di TV menyiarkan acara ulang tahun Selena kemarin malam.

Mendengar perkataan sang ibu, membuat Kinnas berpusat pada gaun brokat berwarna ungu yang dipakai Selena, berbanding terbalik dengan Juan yang hanya meliriknya sekilas--lebih memilih untuk menyantap sup tomatnya, selagi masih hangat.

“Semua anggota kerajaan terlihat sangat menawan--Kinnas ... bukankah itu teman sekolahmu, Adrea?” Daran bertanya pada putrinya.

Di sana, Adrea dan keluarganya juga turut disiarkan sebagai salah satu tamu yang diundang oleh pihak kerajaan. “Iya, Ayah. Kami satu sekolah,” jawab Kinnas.

“Kalian saling mengenal?” tanya Juan tiba-tiba.

Kinnas tersenyum. “Tentu saja ... tidak.”

Semua yang ada di meja makan tertawa setelah mendengar perkataan Kinnas. Juan sampai tersedak potongan sosis sangking tergelaknya, membuat Hanna buru-buru menuang air minum ke dalam gelas untuk menyerahkannya kepada Juan.

Meskipun menu makan malam yang ala kadarnya, Kinnas selalu beruntung karena bisa merasakannya bersama keluarganya setiap hari. Terkadang rasa lelah selalu ada, apalagi Kinnas merupakan salah satu murid dari sekolah elite di Tora. Adakala benaknya merasa iri ketika melihat teman-temannya hidup dengan finansial jauh di atasnya. Namun, melihat senyum kerabat terdekatnya, Kinnas bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga. Rasa yang mungkin saja, tidak didapatkan oleh orang-orang di luar sana.

“Ku dengar Pemilu akan diadakan bulan Oktober nanti.” Juan mengambil serbet untuk membersihkan meja dari sisa-sisa makanan. “Aku harap Perdana Menteri yang baru nanti ... tidak lagi memberi kebijakan untuk melegalkan pernikahan selir untuk Raja,” lanjutnya seiring mendaratkan bokongnya ke atas sofa ruang keluarga.

Daran mengambil adonan kue yang baru, kembali mencetaknya untuk membentuk boneka gingerman. “Apalagi, sampai meniadakan upah lembur sebagai teguran jam kerja. Meskipun begitu, Ayah akui kalau jalan-jalan di pelosok desa menjadi membaik berkat dirinya.”

“Ayah benar, tetapi aku berharap kalau Kelan benar-benar turun jabatan. Kelalaiannya dalam menyikapi pandemi kemarin membuat banyak orang kehilangan nyawanya ... bahkan Pangeran Ma--” Juan mengatupkan mulutnya.

Kinnas yang baru selesai mencuci piring menimpali. “Apa? Pangeran apa?”

Juan tidak menjawab, tampangnya benar-benar datar seolah tak menyadari keberadaan Kinnas yang memandang tanya padanya. Kendati jantungnya berdegup kencang, karena dirinya hampir saja keceplosan.

Di lain posisi, Daran dan Hanna tidak begitu mengindahkan perkataan Juan--sudah lebih dulu fokus pada adonan kue jahe untuk mencetaknya menjadi bentuk boneka gingerman. Kue kering yang dijual Hanna ada beberapa jenis, mulai dari spekulatius, kue jahe, dan kue kacang amandel. Semuanya merupakan kue kering yang biasa menjadi suguhan ketika Natal, tetapi Daran memberi saran untuk menjualnya setiap hari--agar semua orang bisa memakan kue-kue tersebut tanpa perlu menunggu Natal tiba.

“Menyingkirlah, Kin! Aku ingin mengambil ponselku.” Juan mendorong pelan pundak Kinnas, mengambil langkah untuk mengambil ponselnya yang berdering di atas pantri.

Kinnas mendengkus kesal. “Dia sangat menyebalkan.”

Juan lantas menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan masuk, sedangkan Kinnas ikut membantu ayah dan ibunya--mencetak kue jahe.

“Aku harus pergi part time sekarang, yang menjaga malam sedang tidak masuk,” tutur Juan tiba-tiba.

Hanna mengernyit. Setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam, tubuhnya langsung beranjak dari atas sofa--menghampiri Juan yang sedang memakai jaket dari dalam kamarnya. “Tapi bukankah kau libur hari ini? Lagipula besok ada jadwal kuliah pagi.”

“Kuliah Juan jam 9 pagi, Bu.” Juan memakai sepatu kets-nya dengan terburu-buru. “Jika berjaga malam, bisa mendapatkan lebih banyak komisi,” ungkapnya begitu bersemangat.

“Kau akan kekurangan waktu tidurmu, Juan.” Daran menasihati, air mukanya tampak cemas.

Hanna mengangguk setuju. “Ayahmu benar, Juan.”

“Juan tidak apa-apa, Bu. Ayah juga tidak perlu khawatir,” ucap Juan meyakinkan kedua orangtuanya, lalu mengambil langkah ke arah pintu.

“Juan, jangan pergi.”

“Aku baik-baik saja, Bu.”

“Ibu mohon sekali ini saja, Juan. Dengarkan--”

“Jika aku tidak pergi, lalu siapa yang akan membayar uang SPP kuliah-ku?!”

Hanna bergeming, cekalan tangan yang menggenggam jaket putranya tampak merenggang. Dadanya terasa berdenyut ketika Juan mengatakan hal demikian. Daran sendiri menundukkan kepala, meratapi nasibnya yang begitu tidak berguna sebagai kepala keluarga.

Tangan Kinnas memegang pundak ayahnya, mencoba menguatkan. Tak ayal dirinya sedikit terkejut atas apa yang baru saja ia dengar. Juan kakaknya adalah seseorang yang jarang sekali marah, apalagi kepada ayah ataupun ibu. Namun, rasa lelahnya akhir-akhir ini sepertinya telah mengubah Juan menjadi sedikit emosian.

“Maaf. Aku mohon biarkan aku bekerja.” Juan membalikkan tubuhnya, meninggalkan hunian sederhana itu dengan bulir bening yang telah menumpuk di pelupuk mata.

Kinnas tahu, berada di posisi Juan akan serba salah. Antara menerima tawaran menjaga minimarket di malam hari agar mendapatkan uang lebih banyak, atau tetap tinggal di apartemen--meyakinkan ayah serta ibu yang khawatir akan kesehatan Juan karena terlalu sering tidur larut malam. Bagaimanapun juga, Kinnas tahu kalau para orangtua selalu mengkhawatirkan anak-anaknya. Begitupun orangtuanya.

Setelah mendorong kursi roda Daran masuk ke dalam kamar, dan menenangkan Hanna dengan memberi sedikit kata-kata penenang, Kinnas lantas kembali menjajaki dapur untuk membuat secangkir kopi. Tanpa perlu melanjutkan membuat kue kering, lagipula hasil yang didapat sudah cukup untuk berjualan besok pagi.

Kepulan asap keluar dari cangkir genggaman Kinnas, menemani gadis tersebut bersender pada jendela kamarnya--yang sengaja dibiarkan terbuka. Menikmati semilir angin malam seraya memandang langit penuh bintang yang begitu memanjakan mata. Selain tidur di perpustakaan, Kinnas juga suka meminum kopi sambil memandang langit malam dari kamarnya.

“Buku itu.” Kinnas meletakkan cangkir kopinya di atas meja untuk mengambil buku usang yang tergeletak di atas kasur.

Seingat Kinnnas, kemarin dirinya belum sempat membaca buku berjudul Hirawan Bulao karena ketiduran akibat kelelahan. Dirinya hampir lupa mengenai buku aneh yang sebelumnya tidak pernah ada di perpustakaan sekolahnya. Meskipun perpustakaan Snasa menyediakan berbagai macam jenis buku sampai buku cerita sekalipun, tetapi tidak ada yang tampilannya terlihat begitu kuno seperti buku yang Kinnas genggam saat ini.

“Buku ini menjelaskan tentang kalung berlian, bahkan ada gambarnya juga.” Tangan Kinnas meraba gambar kalung perak yang bagian tengahnya terdapat liontin berlian berwarna putih.

Di lembar pertama, Kinnas melihat ada berbagai gambar dan deretan huruf yang menjelaskan tentang kalung bernama Hirawan Bulao. Beberapa kata yang tertulis seperti ditulis menggunakan pena bulu, kertas yang dipakai juga terlihat sudah menguning, efek termakan waktu--semakin meyakinkan Kinnas kalau buku ini bukanlah berasal dari jamannya.

Hirawan Bulao adalah sebuah batu berlian ajaib milik kerajaan Tora. Warnanya akan berubah menjadi biru bila diletakkan di bawah sinar rembulan.

Kinnas menganga setelah membaca kalimat pertama dari lembar kedua. Tora? Kerajaan? Kinnas merasa bingung sekaligus terkejut tentang apa yang dibahas buku ini. Jadi, kerajaan Tora memiliki sebuah batu berlian ajaib--

“Berliana Biru!” Gadis berkucir kuda itu buru-buru mengambil ponselnya untuk mengetikkan beberapa huruf di pencarian internet. Ia tahu tentang Berliana Biru, terdengar bodoh bila Kinnas--yang notabenenya sebagai salah satu masyarakat Tora tidak mengetahui tentang benda keramat tersebut.

Berliana Biru, sebuah batu berlian ajaib milik kerajaan Tora.

Speechless. Itulah kata pertama yang menggambarkan raut wajah Kinnas saat ini. Dua kalimat dari sumber yang berbeda, tetapi memiliki makna yang sama.

Kinnas menutup buka usang itu, meraba tulisan timbul yang seperti dilapisi emas asli. Demi apapun, Kinnas amat penasaran--dari mana buku ini berasal, dan bagaimana bisa sampai berada di perpustakaan Snasa. Apa Raja Andreas yang sengaja menaruhnya di sana, atau juga Ratu Sybl. Sumpah! Kepala Kinnas seperti ingin meledak karena terlalu banyak memikirkan Hirawan Bulao dan Berliana Biru.

“Jika memang buku ini menjelaskan tentang Berliana Biru, tetapi mengapa mereka menulisnya menjadi Hirawan Bulao?” Kinnas bertanya-tanya seraya mengetuk-ngetuk buku tersebut menggunakan jari telunjuknya. “Sengaja! Pasti mereka sengaja agar tidak banyak yang tahu kalau Berliana Biru yang asli berwarna putih,” jawab Kinnas atas pertanyaannya sendiri.

Lagi, Kinnas membuka buku itu sampai lembar ketiga yang hanya berisi lembaran kosong. Tidak ada tulisan ataupun gambar-gambar, kembali membingungkan Kinnas sebab rasa penasaran telah memenuhi kepalanya. Gadis tersebut ingin tahu, buku ini menuliskan cara menggunakan Berliana Biru atau tidak.

“Astaga!”

Kinnas menutup mulutnya ketika setitik cahaya muncul dari lembar ketiga yang sebelumnya kosong. Perlahan, beberapa deret huruf keluar secara acak, lalu berlanjut berbaris--membentuk beberapa kata yang sukses membuat bola mata Kinnas membulat sempurna.

Cara menggunakan Hirawan Bulao.




Note :
*SEDASA = Sekolah Dasar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top