Bab 02 •Ice Princess•
Untuk kesekian kalinya, Adrea membenarkan tiara yang bertengger cantik di kepalanya. Rambut ikal yang biasanya tergerai kini di gelung rapih--dengan beberapa anak rambut yang menjuntai indah. Gaun biru muda berbahan satin terlihat begitu cocok di tubuhnya yang ramping, membuat penampilan Adrea menjadi cantik dan anggun dalam satu waktu. Gadis itu tersenyum, merasa siap untuk acara malam ini.
Adrea melangkah pelan, mengambil cone heels dari dalam rak sepatu miliknya. Berwarna putih dan memiliki pita kecil di sisi kanan akan menambah kesan feminin. Adrea menyukai itu.
Namun, sinar matanya kian meredup ketika tidak sengaja melihat foto berukuran 5r tergantung di atas rak sepatu. Di dalam foto tersebut terdapat Adrea dan mendiang ibunya. Keduanya tampak bahagia, tertawa lebar sambil menggenggam tangan satu sama lain. Seingatnya, foto itu di ambil ketika Adrea pertama kali mengikuti lomba ice skating delapan tahun lalu. Tidak menang, tetapi cukup memberi kesan yang tak akan pernah dirinya lupakan.
Adrea menengadah, menolak bulir bening yang sudah menumpuk di pelupuk mata. "Tidak. Jangan menangis, Adrea."
Adrea berpegang pada pinggiran sofa di sebelahnya. Tanpa bisa ditahan, satu tetes cairan bening jatuh--membasahi pipinya yang merona karena blush on. Adrea selalu selemah ini ketika mengingat mendiang ibu. Jika ada yang bilang bahwa, tidak ada rasa sakit yang lebih sakit daripada kehilangan seorang ibu--maka Adrea akan membenarkan hal itu.
Kembali mendongak, Adrea memandang figura di sana seraya tersenyum miris. Dua hal. Adrea telah kehilangan dua hal dalam hidupnya. Pertama ibunya, kedua karirnya sebagai atlet ice skating. Antara marah dan sedih, Adrea tak tahu mana yang lebih mendominasi ketika mengingat kejadian dua tahun yang lalu.
"Berhentilah bermain ice skating." Kelan melepas kacamatanya, meletakkan lensa tipis itu di atas nakas.
Adrea yang sedang bersender pada headboard kasur bergeming. Sambil memandang perban di pergelangan kaki kanan, Adrea mencoba menelaah maksud dari perkataan sang ayah. Ia tidak salah dengar, kan?
"M-maksud, Ayah?" tanya Adrea memastikan.
Kelan menatap putrinya. "Kondisimu menjadi memburuk sejak Ibumu meninggal, Dre. Kau menjadi tidak fokus."
"Tapi ini hanya cidera kecil, Ayah. Semuanya akan membaik, dan Adrea akan baik-baik saja."
"Kau tidak mengerti, Adrea--"
"Apa yang Adrea tidak mengerti, Ayah?!"
Jemarinya yang lentik meremas ujung selimut, melampiaskan kekalutannya. Kelan tidak boleh melarangnya bermain ice skating. Tidak, tidak boleh. Berselancar di atas es merupakan hidupnya, Adrea tidak mungkin meninggalkan hal yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sedari kecil.
"Kau tidak sadar, Adrea. Kau tidak pernah sadar kalau Ibumu sudah tia--"
"Ayah!"
"Adrea!"
Deru napas keduanya memburu, sama-sama dikuasi oleh emosi. Kelan mengusap keningnya sambil memandang keramik lantai yang dingin, begitu bertolak belakang dengan hawa panas yang menguar dari tubuh anak dan ayah itu.
Tidak ada yang mau mengalah, karena sifat keduanya sama-sama keras.
"Ayah mengingkari janji." Adrea membuka perban di kaki kanannya, lalu mengusap bercak keuangan yang masih terasa sakit.
Jauh-jauh hari sebelum Adrea mengikuti TFSC--Tora Figure Skating Champion, Adrea dan Kelan membuat sebuah kesepakatan. Kelan mengatakan, jika Adrea berhasil meraih juara di TFSC, maka ia akan memperbolehkan gadis itu untuk melanjutkan PERINGGI di Edinburgh. Kota kelahiran Adrea.
"Jika kondisimu seperti ini, Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu kuliah di Edinburgh!" tegas Kelan.
Adrea tersenyum miris. "Ayah bahkan menyuruhku untuk berhenti menjadi atlet ice skating,"--gadis itu menatap sang ayah--"memang pada dasarnya, Ayah tidak pernah mau mengizinkanku kuliah di Edinburgh," lanjutnya.
"Lihatlah kondisimu, Adrea. Kau tidak sadar kalau dirimu terlalu rapuh." Kelan menunjuk Adrea menggunakan telunjuknya.
"Adrea hanya terkilir, Ayah. Sebenarnya ada apa dengan, Ayah?!"
"Kau tidak pernah sadar kalau Ibumu telah tiada, Adrea," ungkap Kelan. "Hampir setiap malam ... kau selalu berselancar di atas es lalu tertawa sendiri seolah-olah..." Kelan tidak melanjutkan kata-katanya. Terlalu menyedihkan tatkala melihat Adrea hidup dengan bayang-bayang mendiang ibunya.
"Ayah menganggapku gila?" tanya Adrea tidak percaya. Dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang bersarang di kepalanya, Adrea tidak menyangka kalau Kelan menganggapnya tidak waras.
Kelan mengalihkan pandangan. "Fokuslah bersekolah, dan tetap tinggal Tora." Pria dewasa itu membalikkan tubuhnya, melangkah pergi meninggalkan Adrea yang mematung.
Ingin rasanya Adrea menangis sejadi-jadinya di dalam kamar mandi. Menghidupkan shower untuk membasahi tubuhnya sampai keriput. Namun, setelah kembali menatap tampilan dirinya lewat pantulan cermin, Adrea sadar acara penting telah menunggunya malam ini.
Seiring detik jam yang terus berjalan, Adrea melangkah keluar. Polesan make-up tipisnya tidak berantakan, lebih dulu ia benahi sebelum menjajaki tangga untuk sampai ke lantai satu. Di sana, dua sosok berbeda usia tengah berbincang. Dua sosok yang mau tak mau harus Adrea panggil dengan sebutan 'ibu' dan 'adik'.
Adrea berkedip setelah melihat Kelan datang menghampiri Belinda dan Sheren. Wajahnya begitu berseri-seri, tak ayal memuji penampilan Sheren yang langsung tersipu malu. Mereka, terlihat bahagia. Membuat Adrea terus menyadari bahwa keberadaannya di rumah ini hanyalah sebagai tokoh sampingan.
"Ayah telah melupakan Ibu."
•••
"Selamat ulang tahun, Putri Selena." Adrea menundukkan kepalanya, memberi salam.
Mahkota yang bertengger di kepala Selena berkilau indah. Menampilkan tiga berlian berwarna putih--yang saling bertautan dengan platinum. Semua orang telah menduganya, Selena pasti akan mendapatkan hadiah berupa mahkota, sesuai tradisi kerajaan Tora. Bahwa setiap anggota kerajaan boleh memakai mahkota-nya bila sudah memasuki usia 20 tahun. Yang menurut masyarakat Tora--peralihan usia remaja ke usia dewasa.
Selena ternyum hangat, lantas memeluk gadis cantik di depannya dengan begitu akrab. "Terima kasih, Adrea. Nikmatilah acara malam ini."
"Dengan senang hati, Tuan Putri."
Tadinya Adrea hendak melangkah pergi, sebelum cekalan tangan menahannya. "Makarun yang berada di ruang tamu utama sangat lezat," bisik Selena.
"Ini acara resmi, Kak," balas Adrea mewanti-wanti.
"Sebagai pencinta makarun, kau harus mencobanya, Adrea." Selena mengangguk meyakinkan.
Adrea meletakkan telapak tangan di depan dada. "Akan aku coba, Tuan Putri."
Dua gadis itu tertawa lembut, tanpa ada yang tahu apa yang baru saja mereka bicarakan. Adrea sendiri tidak habis pikir dengan tingkah laku sang Putri. Meskipun mereka berdua dekat, tetapi Selena sempat-sempatnya membicarakan makanan di acara formal seperti ini. Banyak pasang mata memandang--tentu tidak mengenyahkan sifat Selena yang jenaka.
Mundur beberapa langkah ke belakang, Adrea memberi kesempatan untuk Sheren memberi selamat kepada Selena. Saat itu juga, Sheren mendapatkan perhatian dari orang-orang. Gadis itu begitu cerewet dan suka berbaur, membuatnya mudah untuk mendapatkan teman. Ya, Adrea mengakui itu.
Setelahnya, acara kembali berlanjut. Kali ini seluruh tamu undangan diperintahkan untuk memasuki ruang tamu utama Istana Harlen.
Dinding berpoles cat putih di tambah beberapa furnitur berwarna emas menjulang megah, seolah menyambut kehadiran para tamu. Lampu-lampu kristal yang bergantung juga berkilau indah, menyinari ruangan luas ini. Ada beberapa lukisan yang di pajang, dan satu di antaranya mengambil alih pandangan Adrea.
Lukisan dengan aliran naturalisme itu buatan mendiang ibunya, Lusiana. Lusi, ibu kandung Adrea adalah seorang pelukis terkenal di jamannya. Beliau juga masih memiliki darah bangsawan karena merupakan anak dari adik Raja ke-VIII.
Semakin lama Adrea memandang lukisan di pojok kanan, semakin mendalam pula perasaannya rindunya pada sang ibu.
"Adrea."
Adrea menoleh ketika namanya di panggil seiring pundaknya di tepuk lembut. "Kak Mia."
Seketika keduanya berpelukan, membuat beberapa pasang mata memandang mereka, termasuk Kelan dan Belinda. Adrea yang seolah sadar langsung melepas pelukan Mia. Ya ampun, dirinya hampir lupa kalau sekarang berada di Istana. Mereka harus menjaga sikap.
"Aku sangat merindukanmu adik kecilku," ungkap Mia sambil mencubit gemas pipi Adrea.
"K-kak ... ini di Istana," bisik Adrea seraya melirik kanan dan kiri.
"Ya, ya, ya ... yang pasti sekarang aku membawakan oleh-oleh untukmu." Mia menggoyang tote bag biru di depan wajah Adrea yang mulai tertarik.
"Kali ini apa isinya?" tanya Adrea penasaran.
Mia menyerahkan tote bag tadi pada Adrea. "Bukalah."
Sekali lagi, Adrea lupa dengan keadaan sekitar--karena dirinya langsung mengambil tas jinjing itu lalu membukanya. Raut wajahnya begitu berseri-seri setelah melihat beberapa kotak makarun di dalam tote bag biru pemberian sepupunya. Mia yang melihat ekspresi Adrea hanya bisa terkekeh geli, sebegitu sukanya gadis itu terhadap biskuit berbentuk bulat kecil dengan krim lembut di dalamnya.
Merasa ada yang memperhatikan, Adrea segera menengok. Di sana ayahnya memberi kode, menyuruh Adrea untuk segera menduduki bangku karena acara penjamuan akan segera di mulai. Reflek, Adrea meletakkan tote bag biru tadi di atas meja dekat patung Dewi Kwan Im.
"Kenapa, Adrea?" tanya Mia.
Adrea menarik tangan Mia. "Kita harus bergegas ke meja panjang itu, Kak. Penjamuan akan segera di mulai."
Mia tidak memberontak, perempuan berambut pendek itu mengikuti Adrea untuk duduk menghadap meja sangat panjang--yang di atasnya terdapat beberapa sajian makanan ringan. Termasuk makarun. Sang Raja--Andreas, terlihat berdiri di depan sana, memberi salam pembuka dan terimakasih kepada para tamu yang telah hadir. Selena juga turut andil, mengucapkan beberapa kata untuk memperlengkap acara--sebelum semua orang dipersilahkan mencicipi hidangan yang telah sajikan.
Kening Adrea mengerut. "Apa makarun yang ada di sini ... sama seperti pemberian, Kakak, tadi?" tanya Adrea pada Mia.
"Tentu saja. Semua makarun yang ada di sini berasal dariku, Adrea. Dari Italia," jelas Mia.
Adrea mengangguk mengerti. "Kak Selena tadi menyuruhku untuk mencicipi makarun yang ada di ruang tamu utama," bisik Adrea sambil memasukkan sesuap pasta cannelloni ke dalam mulutnya.
Mia terperangah. "Anak itu tidak berubah. Pasti Selena akan sedih setelah ini, karena di usia dewasa pengawasannya akan semakin ketat."
Adrea tidak menjawab. Tabiat Selena sudah tak asing baginya, dia tahu betul bahwa tuan Putri mereka sering kabur dari pengawalan Kerajaan. Selena memang sebebas itu, hidup di Kerajaan pasti membuatnya tertekan.
"Kau tahu tentang Berliana Biru? Beritanya sedang naik daun ketika Ratu Sybl memakai kalung berlian berwarna biru di acara Peresmian MST." Mia memandang Sybl yang di bagian lehernya tidak memakai kalung yang dibicarakan.
Adrea mengernyit. "Berlian warisan kerajaan Tora? Tidak mungkin juga Ratu memakai benda keramat itu di luar kerajaan." Matanya tak sengaja melihat gadis berambut pirang duduk di samping Selena.
Mia menjentikan jarinya. "Tentu saja. Berlian itu berbahaya," bisiknya. "Jika si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya," jelas Mia membuat bulu kuduk Adrea meremang.
"Kau membuatku takut, Kak."
Mia tertawa pelan mendengar respon Adrea, seiring tangannya mengusap noda pasta di sudut bibir gadis tersebut.
•••
"Totalnya 36 utra." Dengan segera Adrea mengambil sejumlah uang untuk membayar minumannya.
Saat perjalanan pulang dari Istana Harlen, Adrea memerintahkan sopirnya untuk mampir ke salah satu minimarket. Letaknya dekat dengan PERINGGI Satu Tora--tempat Selena berkuliah. Gaun satin indahnya telah ditutupi oleh jaket denim hitam, tiara yang sempat terpasang di atas rambutnya juga telah dilepaskan--membuat tampilan Adrea terlihat lebih sederhana.
Adrea meletakkan tote bag-nya di atas meja kasir. "Letakkan di sini saja," perintahnya pada kasir.
"Baik, Kak." Pemuda itu segera meletakkan dua minuman dingin rasa Taro ke dalam tas jinjing Adrea, tak ayal matanya menatap gadis di depannya intens.
"Terimakasih." Tanpa menunggu balasan Adrea bergegas pergi, menghampiri mobilnya yang berada di parkiran.
Dengan satu perintah, pria paruh baya yang duduk di kursi kemudi langsung menjalankan mobil tersebut, membelah jalanan kota Melawa yang masih terlihat ramai. Merasa bosan, Adrea akhirnya mengambil ponsel dari dalam saku jaketnya.
Tora Open Figure Skater Champion 2023.
Dari sekian banyaknya akun yang Adrea ikuti, mengapa harus postingan dari akun ini yang muncul paling atas.
Menghela napas panjang, Adrea menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi--memikirkan masa depannya tanpa berseluncur di atas es ataupun melanjutkan PERINGGI di Edinburgh. Hilang, sepertinya Adrea telah kehilangan jati dirinya sejak dua yang tahun lalu.
"Kak Adrea membeli minuman dingin?" tanya Sheren memecah keheningan.
Adrea menoleh. "Ya, kau mau?" tawarnya basa-basi.
Sheren menggeleng. "Tidak, Kak. Ayah menyuruhku untuk mengurangi minum minuman dingin." Sadar akan raut wajah Adrea--Sheren segera melanjutkan, "A-ayah juga menitip pesan padaku ... untuk Kak Adrea mengurangi minum minuman dingin."
Adrea mendengkus. "Benarkah?"
Sheren mengangguk, sedangkan Adrea tidak lagi menanggapi. Mendengar penuturan gadis di sampingnya cukup membuktikan--kalau Kelan memang seperhatian itu terhadap Sheren. Bahkan, sampai harus menyuruh dirinya agar tinggal di Rumah Dinas untuk menemani Sheren. Tentu saja, seorang ayah memang seharusnya perhatian dengan anaknya, bukan?
Tidak mau memikirkannya sampai berlarut-larut, Adrea lantas mengambil tote bag pemberian Mia lalu membukanya.
"Kak Mia memberikanku kalung?" Alis Adrea bertaut, memandang kalung perak dengan liontin berlian berwarna putih. Bentuknya bulat, dan tampak mengilap bila digerakkan.
"Kalungnya bagus, apa pemberian Kak Mia?" tanya Sheren kagum.
Adrea tersentak, sontak memasukkan kalung tersebut ke dalam tas jinjing. "Y-ya. Ini pemberian Kak Mia," bohongnya meredam kebingungan.
Note :
*PERINGGI = Perguruan Tinggi
*Istana Harlen = Kediaman resmi Raja Tora
*MST = Museum Sejarah Tora
*Utra = mata uang Tora (1 utra = 1.000 rupiah)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top