Chapter 7 - Find The Answer

Aku duduk menjauh dari Sean dan Mr. Grecell.

Hari ini adalah hari terakhir perpustakaan akan buka, maka tidak banyak pengunjung sekarang. Bahkan, di jam sepagi ini bisa dikatakan pengunjung yang membaca di tempat hanya kami bertiga. Tidak terhitung para pustakawan. Pengunjung yang lain hanya mengembalikan buku pinjamannya dan langsung pulang karena tidak bisa meminjam buku lagi berhubung perpustakaan akan libur.

Kami bertiga bertahan mencari informasi dalam balutan baju berlapis-lapis, jaket tebal, syal dan sepatu bot. Salju yang mulai turun juga yang membuat perpustakaan menjadi minim manusia. Walau begitu ada untungnya juga bagiku karena bisa duduk sejauh mungkin dari dua orang yang seharusnya membantuku tetapi malah berfokus pada hal yang lain. Sean dengan lukisan Tatiana dan Mr. Grecell masih dengan kehidupan Norvogods zaman dahulu. Itu kulakukan karena kesal. Mereka seharusnya tetap fokus meneliti penglihatanku, tetapi ya sudahlah mungkin ada baiknya juga sedikit selingan.

Kuhela napas berat sambil bangkit berdiri untuk duduk bersama mereka lagi.

"Jadi...," Mr. Grecell memulai dengan canggung, akhirnya memecah keheningan ketika aku sudah duduk di seberangnya. "Sepertinya kita harus melihat ulang semua temuan kita sejak awal untuk mengembalikan kita ke jalur yang benar. Maaf, Ann, kuakui memang aku jadi tidak fokus akhir-akhir ini."

Aku tersenyum menenangkan lalu menepuk tanganku dua kali. "Baiklah, apa yang ditunggu? Mari mengingat lagi apa yang sudah kita dapatkan." Mr. Grecell segera mengeluarkan agendanya dan sebuah pena.

Aku menoleh pada Sean yang masih terdiam memandangi lukisan Tatiana.

"Sean!" panggilku. Ia mengangkat wajahnya, terkejut seakan baru menyadari bahwa ia sedang melamun sedari tadi karena ia memang sedang melamun, sambil menatap lukisan Tatiana jika perlu ditambahkan.

"Apa?"

"Fokus!" balasku. Sean menggeser kursinya mendekat pada Mr. Grecell dan aku. Setelah kami semua siap Mr. Grecell memulai.

"Baiklah." Ia berdeham. "Kita mulai dari penglihatan Ann yang pertama." Mr. Grecell menulis. "Waktu kejadian setahun yang lalu. Visi tentang seorang pemuda yang menariknya lari di dalam hutan kemudian membuka sesuatu yang meledakkan cahaya putih."

"Kedua." tulis pria itu lagi. "Waktu kejadian beberapa bulan yang lalu. Visi tentang Ann yang berlari di dalam hutan menjauhi pasukan berkuda, Ann merasakan bahaya. Koreksi aku jika salah."

"Belum ada, faktanya benar," sahutku.

Mr. Grecell mengangguk lalu kembali menulis. "Ketiga, mimpi tentang keluarga Nikholai. Keempat, déjà vu tentang seorang anak yang memanggilmu Ana. Kelima, mimpi pembunuhan keluarga Nikholai. Keenam, ada sebuah sosok hantu mirip Tatiana, putri tertua Nikholai, yang menunjukkan sebuah buku padamu."

"Tambahan," ujarku. "Tatiana kemarin menemuiku di kamar---"

Sean langsung menoleh mendengar nama Tatiana dan menyipitkan matanya dengan arti 'kenapa tidak memberitahuku?' yang tidak kuacuhkan.

"---ia mengatakan bahwa dirinya bukan hantu dan tidak bisa menjelaskan apa dia sebenarnya karena bisu."

Pena Mr. Grecell mencoret kata hantu di agendanya. "Baiklah, kita tulis saja sebuah sosok mirip Tatiana." Ia kembali menulis di bawah nomor enam. "Ketujuh, Sean dan Ann bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang selama ini merawat mereka. Kedelapan, Sean dan Ann pertama kali ditemukan di depan toko roti, tertabrak mobil ayah angkatnya."

Ia membalik halaman berisi fakta-fakta yang kami temukan kemudian mulai menulis teori yang sudah kami dapatkan. Tentang adik sahabat Sean yang harus dilindungiya dan teori reinkarnasi Anastasia.

"Baru ini saja. Kita perlu banyak fakta lain," kata Mr. Grecell. "Dan omong-omong, apa kalian baik-baik saja? Maksudku, kalian baru saja mengetahui bahwa selama ini yang merawat kalian bukanlah orang tua kandung."

Sean yang menjawab, "Tidak terlalu masalah bagiku. Sejak awal aku sudah merasakannya walau tidak yakin. Lagi pula kami baru setahun tinggal di sana, jadi hubungan kami belum terlalu dekat. Ann yang sedikit terguncang."

"Aku tidak terguncang," sangkalku. "Tapi, yah, aku cukup terkejut." Aku menoleh pada Sean. "Kita sudah begitu sering merepotkan mereka. Kau bahkan pernah membuat Papa---maksudku si suami---marah. Kita harus memohon maaf pada mereka malam nanti."

Aku hendak menambahkan beberapa hal lagi di agenda Mr. Grecell ketika mataku menangkap sosok Tatiana.

"Sebentar," pamitku pada Sean dan Mr. Grecell kemudian menghampiri Tatiana yang berdiri balik rak buku tak jauh dari meja kami.

"Hai," sapaku. Namun, bukan senyuman seperti biasa yang kudapat melainkan ekspresi tegang yang terukir di wajah cantik itu. Ia menunjukku berkali-kali lalu kebingungan sendiri. Mulutnya terbuka membentuk suatu kalimat, tetapi aku tidak bisa menafsirkannya. Sepertinya Tatiana ingin menyampaikan sesuatu.

"Aku dapat ide, ikut aku." Kutarik tangannya, tetapi tanganku hanya menggenggam udara jadi aku memberi kode padanya untuk mengikutiku.

Tatiana mengekor ragu-ragu. Beberapa kali ia melihat sekitar yang aku asumsikan mungkin ia ketakutan dengan sosok hantu yang lain yang juga berada di perpustakaan ini.

Ternyata bukan.

Ketika sampai di meja kami lagi, dengan Tatiana mengikuti, aku menangkap pandangan Mr. Grecell dan Sean. Campuran antara takut, tak percaya, dan takjub. Mulut mereka bahkan sampai terbuka dan Mr. Grecell sempat melepas kacamatanya untuk mengelap lensanya kemudian memakainya lagi.

"Astaga!" seru pria itu.

"Ada apa?" tanyaku. Kedua jari telunjuk mereka perlahan terangkat mengarah ke balik pundakku, tempat Tatiana berdiri. Mataku mengerjap bingung. "Kalian ... juga bisa melihatnya?" Mr. Grecell dan Sean mengangguk. Aneh sekali.

Sosok itu melambaikan tangan untuk menarik perhatianku lagi.

"Oh, benar." Aku tersadar. Tidak ada waktu untuk mencari penjelasan. Kuambil agenda dan pena Mr. Grecell dan menuliskan seluruh abjad di sana. "Tunjuklah huruf untuk menyampaikan pesan padaku."

Tatiana maju dan menunjuk huruf A-N-A. Mr. Grecell mencatat di tangannya. Kemudian ia menunjuk beberapa huruf lagi dengan cepat membentuk kata SEGERALAH dan KEMBALI.

"Ana, segeralah kembali?" ulang Mr. Grecell.

"Kembali ke mana?" tanyaku pada Tatiana. Sosok itu akan menunjuk huruf lagi, tetapi pandangannya menghadap lurus ke depan tiba-tiba dengan tatapan kosong lalu menghilang.

Mr. Grecell kebingungan seraya meraba udara kosong tempat Tatiana tadi berdiri. "Ke mana dia?" Aku hanya bisa menggeleng.

Suara helaan napas menyadarkanku bahwa Sean sedari tadi hanya memandang Tatiana seperti ia memandang lukisannya, tetapi lebih parah. Bahkan sekarang tidak hanya Mr. Grecell yang bisa mengartikan ekspresinya. Dapat kulihat penyesalan yang besar di wajah Sean.

"Kau tak apa?" Sean mengangkat bahu tanda tak yakin.

"Sebaiknya kita pulang saja," usul Mr. Grecell. "Sean tampak tidak baik."Aku mengangguk setuju lalu menuntun Sean pulang.

Sepanjang jalan ia hanya melamun dan hampir tersandung jika tidak kutahan. Kemunculan Tatiana memberikan dampak lebih besar pada Sean daripada diriku. Aku pernah mengatakan bahwa kasus visiku dan kasus pencarían Sean merupakan dua kasus yang berbeda. Namun, setelah Tatiana hadir semuanya menjadi jelas dan tampak menyambung satu sama lain. Aku adalah reinkarnasi Anastasia, putri Nikholai yang dikabarkan hilang, sedangkan Sean adalah sahabat Dimetric yang diminta menjaga Tatiana. Sean gagal karena Tatiana justru dieksekusi di depan rakyat banyak karena keluarganya---maksudku keluargaku, jika benar aku Anastasia---menjadi keluarga pengkhianat.

Tidurku tidak nyenyak. Untung saja tidak ada penglihatan lagi yang muncul tiba-tiba maupun di dalam mimpi yang akan membuatku bertambah bingung atau ketakutan. Walaupun sebenarnya ada sedikit bagian dalam diriku yang menginginkan datangnya visi lagi. Aku masih penasaran dengan Anastasia. Siapa dia dan siapa aku.

"Ana, segeralah kembali," Mr. Grecell membaca pesan Tatiana kemarin yang ia tulis di agendanya pagi ini.
Perpustakaan sudah tutup sehingga Mr. Grecell, Sean, dan aku memutuskan untuk melakukan diskusi kami di ruang kelas guru sejarah itu di sekolah, berhubung kami sudah mendapatkan cukup banyak petunjuk dari peristiwa yang terjadi beberapa bulan terakhir ini. Yang harus kami lakukan sekarang adalah menghubungan semua benang merahnya.

Topik bahasan hari ini, pesan Tatiana.

"Kembali ... ke mana?" tanyanya dengan pandangan menerawang ke luar jendela.

Aku menopang dagu dengan kedua tangan. "Itulah yang harus kita cari tahu. Rumah mereka? Istana Lev?"

"Rumah mereka, aku yakin sudah menjadi bangunan yang lain," timpal Sean. "Istana tsar? Menjadi rumah presiden jika kau lupa. Kita tidak bisa ke sana tanpa izin dan alasan yang jelas atau kita bisa dituduh yang tidak-tidak."

"Tatiana tidak tahu itu," aku menyangkal.

"Atau ... kembali ke Yovd?" Sean langsung memutar matanya ke arah Mr. Grecell.

"Sir, kami tidak pernah tinggal di Yovd. Ann dan aku ditemukan di sini, di Liev, tertabrak oleh orang tua yang telah mengasuh kami selama setahun belakangan ini. Merekalah yang tinggal di Yovd." Sean bersandar di kursinya dengan tangan terlipat di depan dada.

Mr. Grecell bertanya lagi, "Apa orang tua kalian tidak mengatakan bagaimana keadaan kalian waktu itu? Maksudku, mungkin kalian memiliki catatan harian atau apa."

Aku menggeleng. "Kami belum menanyakan hal-hal seperti itu lagi. Topik itu menjadi sedikit ... sensitif dan membuat canggung semua orang. Namun, jika perlu Anda bisa menanyakan pada Mama. Ia sedang ada di rumah sekarang."

"Mungkin lebih baik begitu untuk sekarang." Pria itu bangkit dari kursinya. Sean dan aku mengikuti, keluar area sekolah menuju rumah kami.

Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar karena Sean memaksa. Kami berdiri di pinggir jalan, di depan toko roti dan toko perhiasan yang biasa kami lewati. Jalanan lumayan padat hari ini. Semua orang ingin pergi berlibur.

"Di sini, Mr. Grecell." Sean menunjuk ke jalanan. "Orang tua kami mengatakan mereka melihat kami untuk pertama kali di sini. Apa ini berarti sesuatu? Apa ini juga sebuah petunjuk?"

"Aku tidak yakin. Mari kita coba pemilik toko di sekitar sini. Kita lihat seberapa banyak yang ingat kecelakaan kalian." Ia langsung masuk ke toko roti langganan keluarga kami.

Aroma roti yang sedang dipanggang menyerbu masuk ke indra penciumanku ketika Mr. Grecell membuka pintu.

"Selamat datang," sapa pelayan dari balik meja pajangan kue dengan ramah.

"Selamat siang," Mr. Grecell menyapa balik. Kemudian ia berbisik padaku, "Pilihlah roti sementara aku menanyai pelayan. Tak perlu terburu-buru"

Aku mengangguk lalu berjalan menyusuri meja pajangan tersebut dari ujung satu ke ujung lainnya. Memperhatikan setiap model roti yang berbeda isi, bentuk, dan tampilannya.

"Tidak, sir. Saya sudah bekerja di sini kurang lebih selama lima tahun, tetapi tidak pernah saya lihat kecelakaan mengerikan yang terjadi di daerah ini. Jalanan selalu aman." Terdengar suara pelayan itu menjawab. Mr. Grecell mengangguk seolah setuju.

Setelah beberapa menit, aku menunjuk sebuah roti berbentuk bundar dengan taburan gula halus di atasnya, roti yang selalu kupilih setiap kemari sebenarnya. "Aku mau yang ini," kataku sambil menunjuk roti itu. Mr. Grecell membeli tiga.

Kami keluar dari toko mendapati Sean masih memperhatikan jalanan dengan serius.

"Jadi?" tanyanya.

Mr. Grecell menggeleng. "Tidak ada yang ingat tentang kalian kecuali bahwa kalian sekeluarga sering membeli roti di sini. Tampaknya kecelakaan kalian tidaklah terlalu istimewa."

"Mari kita coba satu toko lagi lalu pulang menemui Mama," ajakku. Aku melihat sekitar untuk memilih sebuah toko lagi. "Nah, bagaimana toko perhiasan ini saja. Tampak sedang sepi. Semoga pemiliknya tidak keberatan diganggu sebentar."

Aku langsung saja masuk sebelum Mr. Grecell mengiakan, jadi pria itu mau tak mau mengikutiku masuk ke toko kecil ini. Setahuku pemiliknya jarang menerima karyawan baru berhubung toko ini bisa dibilang kuno dan hanya menjual perhiasan-perhiasan yang dibeli dari pengunjung. Semacam perhiasan bekas, seperti itulah. Pemiliknya sendiri adalah seorang pria bertubuh sedikit gempal yang bisa dibayangkan sebagai Santa Claus tanpa janggut dan rambut putihnya. Rambutnya selalu hitam dan wajahnya bebas dari kumis maupun janggut.

"Selamat siang, beli atau jual?" tanya pria itu.

"Errr, hanya melihat-lihat," sahutku sambil berkeliling. Mr. Grecell mengambil langkah yang berlawanan denganku. Hingga sampai di etalase aku melihat sebuah kalung yang selalu menarik perhatianku setiap melewati tempat ini.

"Tuan, bukankah kalung ini sudah beberapa kali terjual?"

"Ya, beberapa kali," pria itu menjawab enggan.

"Mengapa mereka mengembalikan lagi?" tanya Mr. Grecell, tetapi tidak mendapat balasan.

Aku mendekat ke etalase untuk memperhatikan benda itu. Sungguh cantik, dengan rantai emas dan bandul bundar yang dihiasi bermacam batu mulia aku menyayangkan keberadaannya di toko kecil ini. Kutaksir harganya bisa sampai jutaan. Namun, siapa yang rela melepaskan perhiasan seindah ini saat telah dimiliki?

"Berapa harganya?" Bukan berarti aku ingin membelinya sekarang. Aku akan menabung terlebih dahulu agar bisa memiliki kalung indah itu di ulang tahunku tahun depan. Pasti cocok jika kalung itu berada di kotak perhiasan yang Mama berikan.

Pria pemilik toko perhiasan ini menggeleng sedih. "Tidak bisa kujual padamu, Nak."

"Mengapa?" Aku menatap kalung itu lagi dengan perasaan kecewa.

Awalnya pria itu hanya terdiam, tetapi setelah beberapa kali didesak akhirnya ia menghela napas dan menjawab. "Tidak tahu mengapa itu terjadi, tetapi setiap orang yang membeli kalung itu terus dihantui oleh hal-hal yang mengerikan. Hantu dan semacamnya. Aku pribadi tidak pernah mengalaminya, untung saja, dan aku tidak ingin kau mengalaminya."

Aku tertawa kecil. "Percayalah, aku pernah melihat yang lebih mengerikan. Lagipula hantu itu tidak melakukan apa pun, bukan?" Otomatis aku mengingat hantu Tatiana.

"Tetap saja mereka mengerikan. Jika kau memaksa tetap ingin membelinya, apa boleh buat? Kalung itu terkutuk, selalu kembali kemari jika kubuang. Hanya bisa pergi jika ada pembeli, tetapi pembeli pun takut pada benda itu setelah membelinya. Kuberikan padamu dengan harga murah, nanti juga akan kau kembalikan lagi padaku. Ingat, aku sudah memperingatkan. Aku sejak awal tidak ingin memberikannya padamu karena kau masih kecil, hanya karena kau memaksa." Ia menyebut sebuah angka yang benar-benar sangat murah.

"Semurah itu?" Harganya bahkan tidak lebih dari dua persen harga taksiranku. Gila sekali.

"Percayalah, Nak. Walau tampak seperti ditaburi batu mulia, tetapi sebenarnya batu-batu itu tidak ada yang asli. Emas yang terkandung di loketnya pun hanya sedikit karatnya." Pria itu meletakkan leher palsu tempat kalung itu dipajang ke meja kasir.

"Aku yang akan membayar," sela Mr. Grecell ketika aku mengeluaran dompet. Aku hendak protes, tetapi ia menambahan, "Untukmu, sebagai hadiah Natal dan ucapan terima kasih karena sudah melibatkanku dalam kasus ini."

"Kasusnya bahkan belum selesai, Mr. Grecell, bahkan semakin rumit. Lagipula seharusnya Sean dan aku yang berterima kasih pada Anda karena membantu kami. Terima kasih," ucapku.

Mr. Grecell menyelesaian pembayaran dan pria di balik meja kasir itu akan memasukkan kalung yang dibeli ke kotak penyimpanan.
"Aku ingin langsung memakainya," pintaku.

Pria itu mengangat bahu. "Silakan saja." Ia mengangsurkan kalung itu padaku.

Awalnya aku agak terkejut dengan massa benda itu yang katanya palsu, tetapi ternyata cukup berat juga. Dan baru saja mulutku hendak terbuka untuk mengucapkan terima kasih, tanganku terasa sangat berat seakan ada bola besi yang tergenggam di tanganku. Bola itu semakin besar hingga ke lengan atasku, menghimpit dada, dan meledakkan cahaya putih membutakan. Mataku sudah tidak tahan dengan terangnya jadi kuputusan untuk memejam.

Salah satu kebiasaan burukku adalah bahwa aku terkadang lupa dengan kemampuan psikometri ini. Kemampuan itu muncul hanya jika aku berkonsentrasi merasakan energi yang dibawa sebuah objek. Sialnya, aku lupa jika ada beberapa objek yang memiliki energi yang cukup besar untuk membuatku melihat tanpa harus fokus terlebih dahulu. Seperti kalung ini misalnya.

Dapat kurasakan lembutnya kain yang saat ini membungkusku. Sudah dapat dipastikan bahwa sekarang aku sedang melihat masa lalu dari sudut pandang bandul loket yang kugenggam tadi. Setelah kurasa cahayanya hilang kubuka mataku kembali, berharap tidak ada visi aneh yang diberikan kalung itu padaku. Dan sepertinya harapanku tidak terkabul.

Aku melihat kegelapan. Atau awalnya begitu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top