Chapter 5 - A Girl Behind The Bookshelves

Tubuhku menegang.

"Ada apa?" Sean bertanya ketika merasakan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Ia otomatis melihat ke arah pandangan mataku, tetapi gadis itu sudah menghilang.

Aku menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Tadi itu cuma---ah, sudahlah!"

Mr. Grecell ikut penasaran dengan apa yang kami bahas. Namun, aku menolak menceritakan hal itu karena tidak mau terburu-buru mengambil kesimpulan. Mungkin saja pengihatanku yang salah. Mungkin juga aku berhalusinasi karena kelelahan. Atau ... apakah sekarang aku bisa melihat hantu?

Perlahan, aku bangkit dari duduk lalu melangkahkan kakiku mendekati rak buku di mana gadis itu terakhir terlihat, selangkah demi selangkah. Sean memperhatikan dari sudut mata ketika aku melewati belakang kursinya.

Ini konyol! Aku merasa menjadi seperti tokoh di film horor yang justru mendekati hantu atau pembunuh karena penasaran---atau terlalu bodoh---bukannya lari menyelamatkan nyawa.

"Ha!" Kepalaku terjulur ke arah lorong antara dua rak buku.

Tidak apa-apa.

"Ann, ada apa sebenarnya?" Sean kini mulai khawatir.

Kutampilkan senyum menenangkan dan menjawab, "Tidak ada apa-apa, sungguh. Hanya ... mengecek sesuatu." Sean tampak ingin mengutarakan apa yang mengganjal di pikiran, tetapi diurungkannya.

Dengan berat hati aku kembali ke meja baca kami agar Sean tidak bertanya macam-macam padahal aku masih penasaran. Namun, ya sudahlah. Mungkin mata dan otakku saja yang sedang lelah.

Aku menunggu kedatangannya setiap kali kemari, menjelajahi setiap lorong, tetapi gadis itu tidak muncul lagi bahkan hingga bulan-bulan setelahnya.

Kami pun tidak mendapatkan kemajuan berarti bahkan ketika hampir semua buku yang ada di perpustakaan ini telah habis kami baca. Makin lama teori yang diutarakan Mr. Grecell makin tidak masuk akal, Sean makin jengkel, dan aku .... Yah, aku ikut kesal. Kami menemui jalan buntu. Aku tidak ingin kembali dari awal, tetapi jalan di depan juga tidak bisa dilalui.

Sean kembali merecokiku tentang gadis misteriusnya.

"Jika kau punya waktu, tidak ada salahnya kau mencoba menerawang adik sahabatku itu, " pintanya.

"Aku tidak punya waktu. Lagipula kau sudah berjanji untuk menuntaskan masalahku dulu."

"Aku tahu, tapi penelitianmu belum ada perkembangan. Aku tidak bisa menunda terlalu lama." Sean memohon.

Jariku memijit pelipis. "Akan kupikirkan nanti".

"Tapi, Ann---"

"Sean!" seruku. "Tidak bisakah kau lihat aku sedang belajar. Aku tidak punya waktu untuk mencari gadis tidak jelas itu. Dan, aku juga tidak bisa menerawang. Harus ada benda yang kusentuh barulah aku bisa mencari jejak dari sana."

Sean menatap buku yang kuangkat ke hadapan wajahnya untuk menunjukkan bahwa aku sedang belajar. Ia mundur sedikit kemudian mengambil buku itu dan meletakkan kembali di depanku.

Dia seharusnya juga sedang belajar di kamarnya karena kami sedang melaksanakan ujian dan besok adalah hari terakhir. Apalagi tahun ini adalah tahun terakhir Sean di sekolah menengah atas. Namun, tahu-tahu aja ia sudah ada di sini, memohon agar aku kembali melakukan pencarían terhadap gadis misterius itu.

"Baiklah," katanya, "setelah ujian selesai besok Mr. Grecell akan menangani penelitian tentang visimu dan kau akan membantuku mencari gadis itu. Bagaimana?"

"Oke." Aku mengangguk. Sean, akhirnya, keluar dari kamarku.

Kujauhkan semua buku dan alat tulis. Terima kasih Sean, hilang sudah suasana hati yang bagus untuk belajar. Akhirnya aku menjatuhkan diri di tempat tidur, menatap nyalang hiasan bintang yang sudah mulai redup cahayanya.

Aku memikirkan berbagai cara untuk membantu Sean melacak keberadaan gadis itu jika ia memang ada di dunia ini. Apakah kami benar-benar harus pergi ke Yovd? Namun jika begitu, harus ke mana? Yovd sangat luas, lagi pula aku tidak tahu di mana kami dulu bersekolah apalagi tinggal.

Kemungkinan kedua, semua itu hanya delusi Sean saja. Gadis itu tidak nyata. Itu mungkin hanya pikiran Sean saat ia tidak sadarkan diri setelah kecelakaan itu di rumah sakit. Jika ini yang benar-benar terjadi, bagaimana aku harus menjelaskan pada Sean? Apa abangku akan langsung percaya?

"Arrrgh!" Aku berteriak dalam bekapan bantal.

Akan kupikirkan besok.

∆∆∆

Loker sudah kosong. Semua barang yang ada di sana sudah masuk ke dalam tas dan akan kembali semester depan. Biasanya aku menyimpan baju ganti, sepatu cadangan, alat tulis dan buku baru di sana untuk berjaga-jaga. Terkadang juga makanan kering.

Aku baru saja menutup loker ketika seseorang mendorongku. Membuat tubuhku menghantam pintu besinya.

"Ouch!"

Tiga orang gadis, mungkin seangkatan dengan Sean, berjalan menjauhiku setelah meninggalkan tatapan sinis.

"Anak aneh!" bisik seorang yang paling dekat denganku ketika lewat tadi.

Jariku menyentuh kening. Tidak berdarah, tetapi sakit sudah jelas.

Sejak penglihatan keduaku muncul saat pelajaran olahraga hari itu memang banyak yang mengataiku aneh. Mereka mengira aku kerasukan.

"Maaf, Ann. Padahal sudah kuperingatkan mereka," kata Sean yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.

"Sudahlah, tak apa. Sebaiknya kita pergi sekarang. Mr. Grecell pasti sudah menunggu.

Dan benar saja, Mr. Grecell sudah ada di sudut ruangan membaca salah satu buku yang ia ambil dari tumpukan di dekatnya. Begitu serius hingga aku harus berdeham beberapa kali baru kepala pria itu terangkat.

"Oh, hai Ann, Sean," sapanya seraya mempersilakan kami duduk.

"Ada teori baru?" tanyaku penuh harap. Selama kami ujian, Mr. Grecell sendiri yang pergi ke sini. Sean memaksaku meliburkan diri dulu dari penelitian ini agar fokus pada ujian, Mr. Grecell mendukungnya.

Pria di seberangku menggeleng lesu. Ia melepas kacamata lalu memijit tulang hidung di antara dua matanya yang terpejam. "Maafkan aku, Ann. Belum ada."

"Tak apa," kubuat suaraku seceria mungkin, "Kita bisa beruntung hari ini. Nah, mari kita mulai lagi." Aku mengambil dua buku dari tumpukan, satu untuk Sean dan satu untukku. Sean hendak protes, tetapi aku mengancamnya dengan tatapan.

Kami bertiga membaca, seperti biasa. Buku pertama kulahap habis huruf demi huruf, buku kedua kubaca sekilas, sampai buku ketiga aku membalik halaman dengan malas dan membaca beberapa bagian yang kuanggap penting. Tapi tidak ada yang penting sama sekali.

Aku menyandar ke punggung kursi. "Aku lapar," keluhku.

"Kau mau makan di rumah makan cepat saji di ujung jalan itu?" Aku mengangguk bersemangat menerima ajakan Sean. "Mr. Grecell, Anda ingin ikut dengan kami?"

"Tidak, aku tidak lapar. Kalian makanlah tanpa aku," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku.

Maka kami pergi. Berjalan sedikit hingga ujung jalan dan memesan dua porsi nasi ayam dan dua cangkir kopi panas. Salju memang belum turun, tetapi angin yang berembus membuatku mengeratkan syal di leher.

"Jadi," Sean berucap setelah menyesap sedikit kopinya, "mulai kapan kau akan membantuku?"

Aku hanya bisa menghela napas kesal. "Bisakah kau menunggu untuk yang satu itu? Masalah harus diselesaikan satu per satu."

"Bisa saja. Tapi usahakan cepat. Walau jika melihat bagaimana perkembangan penelitianmu dengan Mr. Grecell saat ini membuatku ragu dengan definisi cepat menurut kalian," balas pemuda itu. Menyebalkan sekali.

Kudiamkan Sean hingga kami kembali lagi ke perpustakaan. Mr. Grecell masih tetap di sana, hanya berganti buku. Sean sudah terlebih dulu duduk di seberang pria itu. Aku menarik kursi di sebelahnya, hendak duduk ketika mataku menangkap sesuatu yang ganjil. Kepalaku mendongak dan langsung bersitatap dengannya.

Gadis itu lagi.

Ia masih sama. Gadis hantu itu memakai baju putih berbahan linen berlengan panjang. Cahaya lampu juga masih menembus tubuh, membuatnya nyaris transparan. Ia kembali tersenyum padaku seraya memberi kode dengan tangannya agar aku mengikuti. Bagai tersihir, aku berjalan ke arah rak buku di mana ia tadi pergi.

Aku sudah curiga kalau ia akan menghilang lagi, ternyata tidak. Gadis hantu itu berdiri di ujung rak seksi sejarah. Kuperhatikan kedua kakinya yang menyentuh lantai. Apa ada hantu yang kakinya tidak melayang?

"Kau muncul lagi," ucapku berbisik agar Sean dan Mr. Grecell atau siapa pun tidak mendengar. "Siapa kau?"

Gadis itu tidak menjawab. Bibirnya tetap membentuk sebuah senyuman seolah sudah terukir permanen seperti itu. Wajahnya bisa dikatakan cantik menurut standarku, tetapi tetap saja membuatku takut. Bagaimana pun, yang ada di hadapanku sekarang merupakan roh orang yang sudah mati.

Jarinya perlahan terangkat menunjuk sebuah buku. Aku mengambilnya dan seketika itu ia menghilang. Buku itu cukup tebal dan berat, sudah agak berdebu dan halamannya tampak rapuh dan kuning saking tuanya walau sampulnya masih kokoh. Kubawa buku itu kepada Mr. Grecell.

"Buku tentang abad-abad pertama wilayah Norvogods bersatu menjadi sebuah kekaisaran di bawah wangsa Volkov," Mr. Grecell menyimpulkan. Ia membuka halaman demi halaman dengan lembut dan kehati-hatian tinggi. "Bagaimana kau bisa menemukan buku ini?"

"Errr, yah, ketemu saja ketika aku sedang melihat-lihat. Firasatku mengatakan kalau ada sesuatu di buku ini, jadi kuambil saja." Pria itu tak akan percaya jika aku bilang sesosok hantu yang menunjukannya. Aku sendiri pun tidak mengerti mengapa aku bisa-bisanya menuruti hantu itu.

Mr. Grecell langsung sibuk membaca, mengabaikan aku dan Sean seperti biasa jika sudah ada buku di genggamannya. Sesekali ia berseru kagum tetapi kebanyakan diam. Aku sendiri memilih menyembunyikan wajahku di dalam lipatan tangan di meja lalu tidur. Dapat kulihat Sean juga melakukan hal yang sama lebih dulu.

Belum sempat aku bermimpi, tubuhku terasa digoncangkan oleh seseorang. "Ann, bangun! Aku menemukan sesuatu," bisik orang itu di telingaku. Ia juga melakukan hal yang sama terhadap Sean.

Aku duduk tegak lagi sambil mengumpulkan kesadaran seutuhnya. "Ada apa, Mr. Grecell? Hoaaam .... Apa, apa yang Anda temukan?"

"Ini!" Ia membalik buku itu agar menghadap Sean dan aku. Mr. Grecell menunjuk suatu bagian. Ada beberapa kata yang dapat kutangkap, tetapi tidak bisa tersambung secara masuk akal karena kesadaranku yang belum benar-benar pulih. Pria itu berucap lagi dengan semangat, "Kisah ini mirip dengan penglihatan-penglihatanmu, terutama yang kaudapat dalam mimpi."

Kudorong buku itu ke arah Mr. Grecell lagi dengan malas. "Anda saja yang menceritakan."

"Baiklah." Ia menarik lagi buku itu ke arahnya. "Bab ini menceritakan generasi ketiga wangsa Volkov, zaman ketika mereka masih percaya adanya sihir dan menakuti penyihir karena dianggap membawa sial serta hidup para penyihir yang terbilang barbar karena sering menculik bayi atau memakan daging manusia untuk upacara ritual, semacam itu."

"Terlebih lagi ketika ada serangan di suatu desa yang menewaskan tsarina dan sepupunya yang juga merupakan istri tangan kanan tsar. Dituliskan bahwa serangan itu disebabkan oleh para penyihir yang sedang keluar dari hutan, area tempat tinggal mereka, kemudian merusuh di perkampungan warga. Maka dari itu penyihir diburu dan dibinasakan oleh tsar."

Pria itu berdeham sebentar lalu kembali melanjutkan, "Waktu itu ada salah satu orang kepercayaan tsar yang bernama Nikholai Tolstoia. Memang peristiwa ini tidak terlalu terkenal serta terlalu jauh waktunya sehingga jarang diajarkan karena tidak terlalu berpengaruh. Pantas kau asing mendengar namanya, sangat sedikit juga sumber yang menceritakan peristiwa ini. Bahkan nyaris tidak ada." Mr. Grecell menjelaskan ketika kerutan kecil timbul di keningku. "Buku ini pasti menulis sejarah Norvogods secara lengkap dari abad 10 hingga 19. Lebih baik mendalami Revolusi Norvogods tahun 1992 jika kau tanya aku."

"Tidak masalah. Lanjutkan, Mr. Grecell," pintaku.

"Nikholai kedapatan berencana untuk menggulingkan tsar dari takhta. Ditambah lagi fakta bahwa istri dan keempat putrinya ternyata penyihir. Kemudian ia juga telah mengirim putri tertuanya untuk menjadi istri Lev Knyaz Yang Kejam---pangeran Norvogods, putra tunggal tsar---menjadi calon tsarina yang baru jika Lev naik takhta. Akhirnya tsar memerintahkan seluruh keluarganya dibunuh. Istri, dua putri bungsu, dan putra pertamanya dibantai di rumah mereka sementara ia dan putri tertuanya digantung di alun-alun di hadapan rakyat banyak."

"Itu seperti mimpiku,"

"Ya!" Mr. Grecell berseru riang. "Kau pernah bermimpi melihat seorang ibu dengan dua putri dan seorang putra yang dibunuh oleh tentara serta seorang pria dan seorang gadis digantung di tiang gantungan. Semuanya persis. Kau bermimpi tentang keluarga Nikholai."

Sean bertanya, "Tetapi bagaimana bisa? Mengapa harus Ann yang mendapat penglihatan itu?"

"Itu yang akan aku cari tahu." Mr. Grecell membalik halaman lagi.

"Mengapa Lev bisa dikatakan pangeran yang kejam? Di mimpiku, Tatiana tampak seperti gadis yang baik. Sepertinya. Sebab aku tidak bisa melihat wajah semua orang dengan jelas. Apakah karena Lev kejam, maka Nikholai ingin mengadakan kudeta?" Aku mulai tertarik.

Mr. Grecell mengusap dagu, pandangannya menerawang. "Mungkin karena ia mengadakan pembantaian dan perburuan besar-besaran bagi para penyihir saat ia menjadi tsar? Entahlah, bukunya tidak menceritakan tentang itu."

Aku menyadari sesuatu. "Mr. Grecell, apakah disebutkan juga siapa saja putri Nikholai? Kau bilang tadi Nikholai memiliki empat putri. Dalam mimpiku hanya ada tiga. Si gadis tertua---istri Lev, kakak si bungsu, dan si bungsu. Siapa yang terakhir?"

"Menurut sumber yang pernah kubaca, putri kedua Nikholai dinyatakan hilang karena tidak pernah ditemukan bahkan hingga bertahun-tahun setelah kejadian itu. Tidak ada juga tulang belulang yang dapat diklaim para ahli sebagai tulang gadis itu. Kupikir ia bersembunyi dan mati dalam damai sebagai orang asing." Ia membalik lagi selembar halaman. "Ah, ini ada lukisan keluarga Nikholai. Baru kali ini aku melihat buku yang memuat lukisan keluarga Nikholai. Dilukis oleh Pyotr Filopov, pelukis kenamaan zaman itu, setahun sebelum tragedi terjadi."

Sean dan aku berlari ke samping Mr. Grecell untuk melihat. Keterangan di bawah lukisan itu berbunyi "dari kiri ke kanan: Olga (6 tahun), Eugenia (4 tahun), Sveta (38 tahun), Dimetric (18 tahun), Nikholai (47 tahun), Tatiana (16 tahun), Anastasia (15 tahun)."

Jariku menyusuri wajah dalam lukisan itu satu per satu. Olga yang paling kiri, kusatukan wajahnya dengan ingatan akan mimpiku ketika tubuhnya terjatuh tertikam pedang seorang tentara. Kemudian Eugenia, si bungsu, yang mengajakku mampir ke rumahnya, yang jantungnya .... Aku tidak sanggup meneruskan ingatan itu. Ada Sveta, ibu mereka, yang sudah berusaha keras melindungi anak-anaknya dilukis dengan posisi duduk di depan Nikholai sambil memangku Eugenia. Lalu ada Dimetric, si putra tertua, yang mati pertama pula. Kemudian Tatiana.

"Mustahil!"

Dia adalah gadis hantu yang sudah dua kali kulihat itu. Ia yang menunjukkan buku ini. Tatiana. Apa sebenarnya Tatiana ingin meminta tolong padaku? Namun apa yang bisa kulakukan? Apa yang kumiliki selain kemampuan psikometri?

"Ann---" Sean memanggil, suaranya tenang. Atau berusaha tenang. "---kau harus melihat ini."

Jarinya menunjuk satu wajah yang belum kulihat, wajah yang terlewat karena pikiranku terpotong oleh Tatiana yang merupakan si gadis hantu. Wajah itu biasa saja, sedikit mirip dengan Dimetric. Mungkin bisa dibilang Dimetric versi perempuan. Namun bukan itu yang Sean maksud.

"Ini---"

Perkataan Sean terpotong oleh ucapanku, "---wajahku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top