Chapter 3 - New Theory

"Memori?" tanya Mr. Grecell.

Aku mengangguk mantap. "Semua bukti mengarah ke sana. Semalam aku memimpikan sebuah keluarga dan aku yakin itu merupakan penglihatan yang lain, bukan merupakan mimpi biasa." Kujelaskan secara singkat mengenai mimpi tadi malam serta déjà vu yang baru saja kualami di cafeteria.

Mr. Grecell memegang dagunya sambil mengangguk beberapa kali. "Kita harus mencari informasi tambahan. Setahuku, déjà vu merupakan ingatan tidak sadar kita. Namun, dalam kasusmu, tentu saja kau tidak pernah mengalami kejadian itu. Namun, bila dipikir di luar akal manusia, memang bisa terjadi ada ingatan orang lain yang masuk dalam ingatanmu."

"Apakah ada penjelasan ilmiah tentang ini?"

"Aku belum menemukannya." Pria itu menggeleng pelan. "Tapi kita bisa melakukan penelitian bila kau tidak keberatan. Jujur saja, aku tertarik dengan kemampuanmu. Akan ada banyak pengetahuan baru apabila kau dapat mengorek informasi dari peninggalan sejarah. Bayangkan saja misteri yang akan terungkap! Kematian John F. Kennedy, Princess Diana, Adolf Hitler. Apa kau bisa melihat masa lalu sebuah objek yang sangat besar seperti rumah?"

Mata Mr. Grecell berbinar membayangkan tambahan ilmu sejarah yang mungkin ia dapat dari kemampuanku. "Belum pernah kucoba."

"Kau bisa menjadi penulis buku sejarah yang terkenal," ucap pria di hadapanku ini sambil menerawang.

"Errr." Aku meringis, bingung harus merespon bagaimana, "belum pernah terpikirkan."

Aku sedang menengok ke arah jam di atas pintu untuk melihat apakah waktu istirahat sudah selesai ketika mengetahui Sean ada di sana. Berdiri di luar kelas, bersedekap dengan matanya menatapku tajam.

Ugh, sial. Aku lupa menutup pintu tadi.

Ia kini berdiri di ambang pintu. Wajahnya kelam. Kupijit pelan keningku tanpa memedulikan Sean walau aku tahu pemuda itu sedang marah. Mr. Grecell tampak berganti-ganti memandang Sean dan aku, salah tingkah.

"Keluar," kata Sean pelan.

Aku tidak mengacuhkannya. Tanganku malah sibuk mengetuk-ngetuk pulpen Mr. Grecell ke meja kerjanya. Sean menggeram.

"Keluar," desisnya. Apa dia pura-pura tidak tahu kalau ada guru di sini? Tidak sopan sekali.

"Annette! Keluar sekarang juga atau---"

"Atau apa?" ucapku menantang.

Sean tidak menjawab walau mata dan wajahnya sudah dapat memberikan keterangan yang jelas. Kedua tangannya terkepal di samping tubuh, berusaha meredam amarah yang nyaris keluar. Ia memejamkan matanya sebentar, menarik napas, kemudian mengeluarkannya perlahan.

Sean berucap dengan lebih pelan, "Ann keluarlah sekarang. Mari kita membahas masalah ini di luar."

"Kenapa tidak kaubahas saja di sini, sekarang?"

"Baiklah jika itu maumu." Sean maju selangkah lagi. "Sudah kukatakan, jangan membawa orang lain ikut campur dalam masalah kita. Kenapa kau masih saja melakukannya?"

Kujawab cepat, "Karena kita butuh bantuan. Akuilah itu, Sean. Kita berdua menemui jalan buntu. Apa salahnya menambah kepala ketiga yang netral?"

"Aku juga sudah mengatakan kalau tindakanmu bisa membawa masalah lain bagi kita," ujar pemuda itu lagi.

"Hah!" seruku sinis. "Dari kemarin kau mengatakan kalau akan ada masalah jika kita meminta bantuan, tetapi kau sendiri tidak menerangkan lebih jelas masalah apa yang mungkin timbul. Memangnya dari mana kau tahu kalau ada masalah lain bahkan sebelum mencoba? Firasat?"

Diamnya Sean kuanggap sebagai jawaban ya.

"Sebentar," Mr. Grecell menyela, "bukan maksudku untuk ikut campur dalam urusan pribadi kalian. Aku hanya ingin membantu Ann. Apabila kalian merasa masalah ini terlalu pribadi---"

"Ya," balas Sean.

"Tidak!" seruku bersamaan dengannya.

Pria itu terdiam. Sean dan aku ikut mengatupkan mulut kami masing-masing. Terengah karena emosi yang kami luapkan.

"Kalau kau tak mengizinkan Mr. Grecell membantuku, biarkan Papa dan Mama ikut campur," aku menyarankan. "Aku merasa bersalah karena menutupi kemampuanku."

Mama dan Papa tidak pernah mengetahui kemampuanku ini. Atau setidaknya itu yang aku tahu. Sepertinya kemampuan ini muncul setelah kecelakaan itu. Mr. Grecell mengemukakan teori bahwa kemampuan ini kemungkinan diturunkan oleh orang tua yang, dalam kasusku, aktif secara tiba-tiba karena otakku terkejut atau apalah itu. Aku tidak begitu paham.

"Sebaiknya aku keluar saja," ucap Mr. Grecell yang merasa serba salah karena berdiri di antara Sean dan aku. Tanpa menunggu balasan kami, ia keluar dan menutup pintu agar tak ada yang melihat.

Aku merengut. "Aku tidak suka penasaran, Sean," ujarku padanya. "Kau seolah menutupi sesuatu. Kau pasti menyimpan sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku."

Sean menyangkal, "Tidak. Semuanya sudah kuberitahu padamu tadi malam. Selebihnya hanya firasat tak berdasar, hipotesis yang aku buat sendiri."

Aku mendudukkan diri di kursi Mr. Grecell. Kakiku lelah, tubuhku lelah, otakku lelah. Semua ini menguras tenagaku baik fisik maupun emosional.

Sudah kucoba untuk melupakan semua hal yang menyangkut kemampuan atau penglihatanku serta gadis misterius Sean, tetapi gagal. Selalu. Setiap usahaku untuk mengalihkan pikiran dari mereka dengan menyibukkan diri tidak pernah berhasil. Pasti ada saja satu atau dua hal yang menyangkut di pikiran.

Tahun lalu tidak terlalu buruk walau aku sempat penasaran selama sebulan mengenai visi tentang pemuda itu. Kepalaku masih bisa dikendalikan sampai saat penglihatan kedua muncul kemarin. Aku juga menyadari bahwa penglihatan itu semakin lama semakin sering. Mulai dari visi di hutan, mimpiku tentang sebuah keluarga semalam, serta perasaan déjà vu siang ini. Penglihatan apa lagi yang akan datang selanjutnya? Perasaanku mengatakan hari ini bukanlah yang terakhir.

"Aku juga punya sebuah firasat," kataku akhirnya, memecah keheningan, membuyarkan lamunan Sean.

"Tentang?"

"Penglihatan-penglihatan ini." Jariku menunjuk mata. "Aku merasa gelisah, takut, dan ... entahlah, perasaanku tidak enak. Selama ini aku tidak mempedulikan perasaan itu karena sudah terbiasa dengan efek psikometri ketika aku menyentuh benda yang memiliki masa lalu kelam. Tapi ini ..."

Bel tanda istirahat berakhir berbunyi di antara jeda perkataanku.

"Ini ... sulit. Kesedihan yang kurasa semakin lama semakin intens ketika memikirkan penglihatan-penglihatan itu. Aku tidak mengerti. Aku hanya ingin semua ini berhenti, maka aku meminta bantuan Mr. Grecell agar tahu dari mana sumbernya. Apa yang membuatku bisa mendapat visi itu. Mengapa harus aku?" Kepalaku menggeleng pelan. Kemudian aku meninggalkan ruangan untuk mengikuti ujian kalkulus.

Sisa hari itu kuhabiskan dengan melamun. Pikiranku kosong sampai-sampai kesulitan fokus pada kertas ujian di meja. Sebagian kecil dari diriku membangun pertahanan pikiran apabila datang visi lainnya tanpa diduga. Bagaimanapun juga, aku harus belajar mengontrol reaksi apabila mendapat visi di tengah orang banyak.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengunci diri di kamar sampai malam. Tubuh lelahku terbaring di kasur tanpa sempat berganti baju atau mandi.

"Ann," panggil Mama seraya mengetuk pintu kamarku, "mari makan malam bersama kami."

"Aku tidak lapar. Makanlah tanpa aku." Entah apa Mama mendengarnya atau tidak karena bisa kurasakan suaraku tertahan di tenggorokan walau aku sudah berusaha untuk berteriak.

Sepertinya Papa ikut berdiri di depan pintu kamar untuk membujukku makan, tetapi hanya samar-samar telingaku mendengar suaranya. Aku sudah berada di ambang batas kesadaran. Mataku perlahan terpejam lalu aku tidak mengingat apa pun lagi karena terlelap.

∆∆∆

Visi itu datang lagi.

Aku berdiri di depan rumah yang kulihat kemarin malam. Hanya ada satu perbedaan besar. Sebelumnya, rumah ini tampak begitu damai, tenang, dan hening. Sementara saat ini begitu ramai. Dapat kurasakan aura ketegangan yang terpancar dari orang-orang yang berdiri di sini. Pendengaranku, untung saja, berfungsi normal.

Ada banyak orang yang berkumpul. Tidak hanya warga desa yang penasaran, tetapi juga segerombolan besar orang yang berseru marah seraya mengacungkan obor, garu, dan pedang ke arah rumah. Aku juga melihat banyak pria berseragam tentara kerajaan yang masuk secara paksa.

Bendera lambang kerajaan berkibar. Aku mengenali lambang itu di kelas sejarah Mr. Gracell, lambang negaraku era kekaisaran. Kami tidak memakai lambang itu lagi sekarang karena kepala pemerintah kami bukan lagi tsar, melainkan presiden. Wangsa tsar terakhir pun dipandang sebelah mata karena kinerja nenek moyangnya yang tidak memuaskan, terutama seorang tsarina dari wangsa Volkov. Era kekaisaran berakhir setelah revolusi tahun 1990-an.

Para tentara keluar lagi sambil menyeret Ibu dan dua anak bungsu yang kulihat malam kemarin. Keluarga itu.

Ada tubuh seseorang diseret oleh tentara yang lain keluar dari rumah itu juga. Tubuh yang penuh darah, terutama di bagian perut. Kepalanya terkulai, bergesekan dengan pasir dan kerikil. Sepertinya ia sudah mati. Aku merangsek masuk di antara para warga agar dapat melihat lebih jelas.

Dia pemuda itu, si putra sulung.

Kututup mulutku cepat-cepat sebelum ada sedikit pun teriakan yang keluar. Penglihatanku mengabur oleh air mata, kesedihan dan keterkejutan bercampur jadi satu. Sang ibu sudah pasrah sementara dua anaknya melepaskan diri dari genggaman tentara dan berlari memeluk tubuh kakaknya.

Pemuda itu sudah mati.

Pemuda itu sudah mati.

Pemuda itu sudah mati.

Mataku terpejam. Pedih melihat pemandangan yang tersuguh di hadapanku. Aku membayangkan apabila Sean yang ada di sana, apabila Mama yang jatuh berlutut di depan eksekutor dengan aku memeluk tubuh tak bernyawa Sean.

Ada tentara lainnya mengacungkan pedang di balik punggung si anak bungsu. Teriakan ngeriku bercampur dengan raungan sang ibu.

"Jangan sentuh anakku lagi!" Dan pedang itu sukses menyabet punggungnya. Anak itu selamat, paling tidak untuk sementara, karena ibunya memeluk dia lebih cepat daripada gerakan senjata tajam itu.

Ajaibnya, sang ibu masih hidup walau merintih kesakitan. Kedua anaknya menangis histeris melihat kondisi ibunya.

"Jangan pernah---" ucap wanita itu sambil mengarahkan telunjuknya ke arah tentara terdekat, "---sentuh anakku lagi. Kalian manusia kejam! Dimetric, putraku ... teganya kalian." Ia memeluk kedua putri bungsunya erat, menangisi pemuda bernama Dimetric itu.

Orang-orang itu tidak peduli. Mereka menarik si bungsu dan menusuknya tepat di jantung. Sang ibu meraung lagi, membawa tangan gemetarnya menutupi jantung sang anak, berusaha menyelamatkannya. Namun, tentu saja, si anak bungsu---anak yang kulihat malam kemarin, anak yang mengundangku makan---jatuh tak bernyawa seketika.

Tentara yang lain menyeret kakak si bungsu. Anak itu meronta, berusaha meraih tangan ibunya yang menggapai-gapai tetapi tak sampai.

Ibunya berlari secepat mungkin tanpa memedulikan luka di punggungnya. Ia meraih putrinya, tetapi tentara itu mendorong tubuhnya ke samping. Kepalanya terbentur batu. Tengkoraknya pecah sebab kudengar bunyi yang membuatku ngilu.

Kupejamkan mata ketika kematian menjemput kakak si bungsu. Mayatnya dilempar kasar, seolah bangkai binatang.

Rombongan bergerak. Kali ini para tentara dan pendemo menggiring kami menuju alun-alun. Kakiku berjalan sendiri mengikuti arus. Kepalaku memutar ulang pembantaian tadi, tak dapat dihentikan.

Aku menjadi mayat hidup di mimpiku sendiri.

Ada tiang gantungan untuk dua orang. Seorang pria dan seorang gadis dengan pakaian bangsawan khas keluarga kerajaan. Lagi-lagi aku mengenali mereka berdua. Sang tuan rumah dan putri tertua.

Telingaku tuli kembali. Tak dapat mendengar alasan mengapa keluarga mereka harus mati mengenaskan seperti ini. Aku tidak tahu masalahnya, tetapi aku tahu ini hukuman yang tidak adil bagi seorang kriminal sekali pun. Mereka juga memperlihatkan secarik kertas, lukisan wajah seseorang yang aku duga buronan.

Kedua orang itu memasang wajah tegar sampai akhir hayatnya walau sumpah serapah pastilah memenuhi tempat ini. Ada sesuatu di wajah gadis itu yang kuartikan sebagai raut kemenangan. Seolah dia memiliki rencana lain.

Namun ia baru saja mati! pikirku.

Aku terhimpit. Didesak dari segala arah oleh lautan manusia. Hatiku kebas, ototku kaku, pikiranku kosong.

Kegelapan kamar tidur menyambut ketika mataku terbuka. Sean berdiri di ambang pintu dengan wajah khawatir.

"Kau berteriak," ucapnya.

Aku terisak alih-alih menjawab. Ia langsung mendekat, memeluk, dan mengusap lembut puncak kepalaku.

"Keluarga itu mati," kataku melawan sengguk, "Keluarga dalam mimpiku malam kemarin ... mereka semua mati."

Sean tak mengucapkan satu kata pun. Ia mendekapku di dada hingga tangisanku mereda. Setelah itu ia merebahkan kembali tubuhku perlahan serta menarik selimutku hingga sebatas dagu.

"Tidurlah lagi. Semua akan baik-baik saja." Ia mengeringkan pipiku yang basah dengan jarinya.

Sean bangkit menuju pintu. Namun sebelum pintu tertutup sempurna, aku memanggilnya.

"Ya?"

"Tolong izinkan Mr. Grecell membantu. Aku tidak ingin melihat visi itu lagi," pintaku pelan. Sean mengangguk. "Terima kasih."

Aku kembali terlelap malam itu. Tanpa mimpi walau gelisah dan keringat membanjiri tubuh. Semoga misteri ini cepat terpecahkan.

Aku harap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top