Chapter 11 - Evil Plan
Tatiana mengirim kami ke penginapan terdekat dari istana untuk menunggu dua atau tiga hari sementara ia mengatur semuanya. Aku hanya bisa percaya padanya karena ia yang lebih banyak tahu.
Penginapan itu tidak terlalu besar, hanya terdiri dari beberapa kamar dengan dua lantai. Pemiliknya adalah seorang janda yang memiliki seorang anak laki-laki kecil seumur Eugenia. Rumah ini terbuat dari kayu serta, seperti sebagaimana seharusnya rumah tradisional Norvogods, memiliki atap dari jerami dan tungku yang dibangun di fondasi untuk membuat penghuninya selalu hangat bila dinyalakan.
Mr. Grecell melewatkan waktu dengan menulis segala yang dilihatnya di sini sedetail mungkin. Ia berencana meninggalkan catatan-catatan untuk orang-orang di masa mendatang mengenai Norvogods. Pria itu tahu bahwa tidak banyak sumber tertulis yang memuat sejarah negeri ini di era-era awal. Entah bagaimana caranya nanti Mr. Grecell melakukan itu.
Sean dan aku sebaliknya, menunggu datangnya instruksi Tatiana dengan kebosanan luar biasa. Gadis itu sudah mewanti-wanti kami agar tidak keluar penginapan terlalu sering dan melakukan penyamaran bila melakukan hal itu. Hanya saja sekarang sedang ada perayaan lokal di alun-alun yang membuat kami bersemangat hingga keluar dari penginapan lebih dari jumlah yang diizinkan.
“Menurutmu apa yang sedang direncanakan Tatiana?” Mr. Grecell bertanya malam ini saat kami duduk di depan api unggun festival di tengah alun-alun. Dengan bantuan cahaya dari api, pria itu menulis jurnalnya.
Kepalaku bergerak membentuk gelengan kecil. “Aku tidak tahu. Ia mengaturnya sendiri di dalam pikiran sehingga aku tidak bisa melihat walau lewat loket ini.”
Aku beralih pada Sean yang duduk di kiriku sambil memperhatikan kayu yang terbakar. “Kau tak apa? Maksudku, setelah bertemu Tatiana.”
“Memangnya aku kenapa?” tanyanya balik.
“Yah, aku melihat bahwa kau memiliki perasaan pada Tatiana jauh sebelum ia menikahi Lev.”
“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Sean. “Memang rasanya jantungku berdegup lebih cepat tiap kali memandangnya, tetapi aku sama sekali tidak ingat pernah memiliki perasaan pada Tatiana. Yang aku sadari hanyalah bahwa gadis yang selama ini kucari, adik sahabatku itu, adalah dirimu. Kau yang menuturkan sendiri bahwa Tatiana pernah bilang bahwa Sean Ivanovich, yaitu aku, adalah sahabatnya.”
Kami kembali terdiam, mendengarkan nyanyian rakyat yang dilantunkan dalam keadaan mabuk. Beberapa orang menari-nari, sebagian berdua dan yang lainnya dalam satu kelompok besar, sambil mengacungkan gelas mereka yang berisi bir untuk menghangatkan badan. Hari mungkin sudah menjelang tengah malam, tetapi belum ada tanda-tanda acara ini akan berakhir. Semua orang tampaknya bahagia. Tua atau muda, besar atau kecil, kaya atau miskin. Semua orang bersukacita dengan membawa harapan untuk esok hari yang lebih cerah.
Kueratkan mantel bulu pemberian Tatiana yang sekarang kukenakan seraya berdiri. “Aku ingin jalan-jalan dulu,” pamitku pada Sean dan Mr. Grecell.
Aku berjalan melewati orang-orang yang tidak berhenti menawarkan minuman atau makanan padaku sepanjang jalan sambil tertawa. Akhirnya aku terpaksa mengambil sebuah roti kering rasa jahe berbentuk bundar, bukannya berbentuk orang seperti yang selama ini aku kenal. Rasanya cukup bisa ditoleransi. Ada rasa kayu manis juga di lidah.
Kakiku berhenti di sebuah lingkaran manusia yang mengerubungi sesuatu. Terdengar musik dari dalam lingkaran dan aku tahu bahwa mereka sedang menonton sekumpulan pemusik amatir yang berusaha menghibur.
“Tenang saja, semuanya terkendali.” Telingaku menangkap suara seorang pria yang terdengar teler. “Dia bakal mampus, lengkap dengan seluruh keluarganya termasuk anak gadisnya yang merebut menantuku.”
Ternyata ada lima orang pria berdiri tak jauh dariku. Empat dari mereka sudah berumur sementara seorang masih muda. Ada seorang pria duduk di bangku kayu di tengah kelompok kecil itu yang suaranya kudengar tadi. Ia benar-benar mabuk, terlihat dari tempayan-tempayan kosong yang tergeletak di sekelilingnya. Walau rekannya mabuk, lima pria yang berdiri mengelilingi tetap memasang wajah serius.
Salah seorang dari mereka bertanya sunggu-sungguh, “Kau yakin? Kalau begitu jangan lupakan perjanjian kita jika rencanamu berhasil.” Dari suaranya jelas sekali ia sedang menahan kesal karena orang yang diajak bicara meladeni main-main.
Pria yang duduk di bangku kursi berdiri. ”Santai sedikit Vorobyev, temanku yang baik. Bersenang-senanglah, nikmati acaranya! Kasihan anakmu ini jika dibiarkan melewati masa muda tanpa hiburan. Aku mau ambil minum lagi.”
Teman-temannya bergeming sementara ia berjalan sempoyongan menuju seorang wanita yang membawa bejana di sisi lain alun-alun. Ada orang yang sama mabuknya bersenggolan dengan pria itu hingga barang-barangnya jatuh semua. Yang menabrak hanya menggumamkan maaf dan pergi begitu saja.
“Hei, hati-hati! Kalau tidak mayatmu akan jadi santapan burung gagak.” Ia berseru begitu lalu menertawai perkataannya sendiri yang diakhiri oleh sendawa keras dan kembali berjalan setelah mengambil gelasnya yang jatuh.
“Tuan, tunggu!” teriakku. Ia berhenti untuk melihat siapa yang memanggilnya.
Aku berlari kecil menuju tempat ia menjatuhkan gelasnya tadi untuk memungut sesuatu. Ada sebuah tongkat miliknya yang ikut terjatuh, tetapi tidak dilihatnya. Aku berseru lagi, “Tuan, tongkat Anda jatuh!”
“Ah, ya!” Ia berbalik ke arahku. “Terima kasih.”
Tubuhku membungkuk untuk mengambilnya. Ternyata benda itu adalah tongkat komando. Bentuknya mirip dengan tongkat komando yang pernah kulihat di museum. Dengan panjang yang kira-kira sama, berwarna kuning mengilat karena disalut emas murni, dengan ukiran menyerupai kepala serigala dan kepala kambing di bawahnya.
Tanganku terjulur, bersiap menggenggam. Dan cahaya api yang terang dan hangat seketika berganti kegelapan saat jariku menyentuh tongkat komando itu.
∆∆∆
Wajah pria tadi yang pertama kali kulihat. Ia tampak memperhatikanku secara cermat. Kedua matanya menyipit seraya memutar-mutar tubuhku dengan serius. Ia mengingatkanku pada sebuah adegan dalam novel detektif yang pernah kubaca di mana ada seorang penjahat berwajah tampan merangkap kolektor dan ahli keramik yang tengah meneliti sebuah cangkir untuk melihat keasliannya.
“Bagus,” katanya puas. Pria tua beruban yang berdiri cemas di hadapannya mengembuskan napas lega. Ia menyerahkan sekantong penuh koin emas pada pria tua itu dan keluar, naik ke kereta kuda lalu pulang ke rumahnya.
Kelihatannya pria itu sangat bangga akan hasil kerja pria tua ubanan itu hingga setiap melewati cermin di rumahnya, ia selalu berpose gagah bersamaku yang hadir dalam bentuk tongkat komando.
“Tongkatnya cantik, Ayah.” Terdengar suara seorang gadis dari belakang pria itu. Bayangannya kulihat di cermin. Seorang gadis sepantaran Tatiana berkulit pucat dengan semburat merah muda di pipinya. Jelas ia adalah gadis yang terawat baik dan hidup di keluarga kaya. Ayahnya berbalik lalu berjalan mendekat untuk mencium puncak kepala putrinya serta memeluknya.
“Tidak secantik putriku ini. Lidya Sergeyevna Koslova, calon tsarina Norvogods”
Lidya terkikik pelan menerima perlakuan sayang ayahnya. “Mengapa Ayah berkata begitu?”
“Karena,” jawab Ayahnya, “sebentar lagi kau akan menikahi Lev, Pangeran Norvogods. Pernah sekali seorang pria mengacaukan jalan menuju hidup yang seharusnya jadi milik kita hingga merenggut hidup ibumu. Tapi tak apa. Ayah akan memperbaikinya. Dan kau, putriku, akan hidup bahagia selama-lamanya.”
“Janji?” tanya Lidya.
Sebagai balasan Koslov menunjukkan ukiran di kepala tongkat komandonya, menunjuk padaku. “Ini janjiku,” katanya. “Kepala kambing ini melambangkan keluarga kita dan kepala serigala melambangkan keluarga tsar. Mereka bersatu karena kau akan menjadi istri Lev. Keluarga Koslov dan Volkov.”
“Tapi tanduk kambing itu terlihat menusuk leher serigala. Apakah ... Ayah berencana membunuh tsar?”
Koslov tertawa. “Ah, matamu jeli juga. Kau memang benar-benar putriku. Oh, Lidya. Seharusnya Norvogods bangga bisa memilikimu sebagai tsarina mereka.”
Adegan berganti dengan cepat. Kini aku berada di ruang kerja tsar karena aku hanya melihat sebuah meja besar dengan seorang pria bermahkota duduk di kepala meja. Koslov sendiri berdiri gelisah hinga tangan yang menggenggamku licin karena keringat.
“Yang Mulia,” ucapnya. “Pertimbangkanlah hal ini. Knyaz sudah cukup umur untuk menikah dan Norvogods memerlukan kepastian akan keberlangsungan wangsa Volkov memimpin Norvogods.”
Tsar menimbang. Dagunya bertumpu pada tangan yang disandarkannya pada lengan kursi. Ia menatap pria lain yang sedari tadi duduk tenang di sebelah kanannya. “Nikholai, bagaimana menurutmu?”
“Hamba setuju dengan pendapat Sergey Koslov, Yang Mulia. Knyaz sudah cukup umur untuk memiliki pendamping dan keturunan,” sahut ayahku. Wajah Koslov berubah cerah mendengar itu.
“Baiklah kalau begitu.” Tsar bersandar lalu menautkan jari-jari tangannya di depan dada. “Kriteria yang bagaimana yang kau pandang baik untuk dimiliki oleh istri Lev?”
Koslov berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kebahagiaanya. “Tentu saja gadis cantik asli Norvogods dengan usia pantas---tidak terlalu jauh selisihnya dari knyaz, berpendidikan baik, berperangai halus dan anggun, serta berasal dari keluarga baik, terpandang, terhormat, dan terpercaya.” Tidak lebih dan tidak kurang pria itu sedang mendeskripsikan putrinya sendiri walau kata-katanya dibuat begitu rupa hingga terlihat sebagai deskripsi umum bagi tsarina ideal.
“Ah, ya. Aku tahu seorang gadis yang memiliki kriteria seperti itu.”
“Benarkah?” tanya Koslov tak percaya.
“Tentu saja.” Tsar tertawa. “Tatiana, siapa lagi?”
Kepala Ayah berpaling cepat menatap tsar. “Maaf, Yang Mulia?”
Tsar tidak memerhatikan tatapan bingung kedua pria lain yang ada di ruangan itu. Justru ia menerawang.
“Mendiang istriku jatuh cinta dengan putrimu bahkan sejak ia baru lahir. Gadis yang luar biasa dia itu.”
“Tatiana, Yang Mulia?” Koslov bertanya karena terkejut. “Maafkan saya, tetapi apakah saya tidak salah dengar? Nama putri saya Lidya, bukan Tatiana.”
“Ya, benar. Telingamu tidak bermasalah, Sergey.” Sekali lagi tsar tertawa. “Tatiana putri Nikholai. Tatiana Nikholaevna Tolstaya. Kau sendiri yang mengatakan kriteria calon istri Lev tadi. Apa yang kurang dari gadis itu? Berparas cantik keturunan asli Norvogods dari keluarga yang kupercaya, berpendidikan baik, dan berperangai sempurna. Cocok sekali sebagai calon tsarina."
Genggaman Koslov padaku menguat. Rahangnya mengeras.
Itulah yang terakhir kulihat sebelum ruang kerja tsar berganti menjadi sebuah rumah kayu mirip penginapan tempat aku tinggal. Lima orang yang ditemuinya di alun-alun ada di sana bersama orang-orang lain yang tidak kukenal. Koslov sepertinya punya dukungan yang cukup banyak. Mereka berkasak-kusuk ribut sementara Koslov duduk diam dengan wajah marah.
“Bagaimana ini?” tanya Vorobyev senior. “Tsar menolak Lidya, malah memilih salah satu putri Tolstaya sebagi pendamping knyaz. Sekali lagi kita dikalahkan oleh pria itu.”
Seseorang yang duduk di belakang Vorobyev berseru membenarkan. “Ya. Sekali lagi Nikholai Tolstoy menghancurkan rencana kita. Pertama saat kita mencoba menggalang kekuatan penyihir di hutan untuk menyerang istana dan sekarang saat kita berusaha kembali mendapatkan kuasa tsar lewat Lidya. Yang pertama memakan korban, tsarina dan istrimu. Apakah kau mau memberikan hidup putrimu kali ini?”
Koslov menghentakkanku ke meja dan seketika itu juga ruangan berubah hening.
“Semua masih bisa dihentikan sebelum gadis itu mengandung putra Lev. Bahkan saat ia melahirkan seorang anak bagi Lev pun kita masih bisa menghabisinya beserta putranya sekalian.” Matanya menatap lurus penuh dendam, kebencian, dan amarah. “Bagaimanapun caranya Lidya harus menjadi tsarina.”
“Tapi bagaimana?” Vorobyev bertanya.
“Dengan rencana pertama kita. Hanya saja kali ini keluarga Tolstoy yang bermain.” Pengikut-pengikutnya saling berpandangan bingung, belum mengerti apa yang dimaksud Koslov.
"Aku akan menghancurkan dua sekaligus. Pria yang melawan kita dan penyihir-penyihir bodoh yang menolak menjadi sekutu kita." Sudut bibir kanan Koslov tertarik ke samping membentuk seringai jahat. "Rencana ini pasti berhasil, harus berhasil."
∆∆∆
Mataku mengerjap cepat menghapus penglihatan yang kuterima. Aku berusaha bersikap biasa saja ketika mengambil tongkat itu dan mengembalikannya pada Koslov. Segera kutarik tanganku yang gemetaran dan menyilangkannya di depan dada.
“Tidak ada ukiran singa di mulut kambing?” Tanpa sadar aku bertanya.
“Oh.” Koslov terkekeh. “Aku berencana menambahkannya setelah rencanaku berhasil.” Kemudian matanya memicing. “Bagaimana kau tahu?”
“Hah? Tahu apa, Tuan?” Aku gelagapan. Berbohong adalah satu-satunya jalan keluar. “Saya tidak mengatakan apa pun.”
Koslov menggaruk kepalanya. “Tadi kau mengatakan---ah, sudahlah.”
Pria itu berjalan pergi meninggalkanku. Sesekali ia menengok ke belakang dengan curiga. Saat pria itu sedang meminta bir lagi, kugunakan kesempatan itu untuk kembali pada Sean dan Mr. Grecell.
“Ada apa, Ann? Mengapa kau kehabisan napas seperti habis dikejar setan?” tanya Sean keheranan.
Aku membalas, “Memang benar aku habis bertemu setan karena salah satunya di sini dan aku baru saja menyentuh tongkat komandonya yang sempat jatuh hingga mengetahui rencana jahatnya.”
Mereka berdua tampak kebingungan dan belum mengerti apa atau siapa yang kumaksud. Segera saja kutarik tangan mereka, memaksa kembali ke penginapan. Aku meminta mereka mengapitku agar sebisa mungkin diriku tertutup di jalan pulang. Koslov tampak mencariku di tengah kerumunan diikuti kelima pengikut setianya.
“Ayo!” Kutarik lagi tangan Mr. Grecell dan Sean, mengajaknya berlari sepanjang sisa perjalanan.
“Ada apa? Apa yang terjadi? Siapa yang kau maksud? Tongkat komando apa? Dan terlebih lagi, rencana jahat apa?” Sean memberondongku dengan pertanyaan ketika kami sudah aman kembali ke kamar sewa kami di penginapan.
Kuceritakan secara ringkas penglihatan yang kudapat dari tongkat komando Koslov. Kedua mata mereka berdua terbelalak tak percaya.
“Tenangkan dirimu dulu. Kau tampak sangat pucat.” Kuminum sekirbat air yang ditawarkan Mr. Grecell.
“Bagaimana aku bisa tenang ketika mengetahui rencana pembunuhan keluargaku sendiri?” semburku kesal. “Dia yang menyebabkan Sean dan aku ada di sini sekarang. Dan setelah kupikir-pikir Anda ada di sini juga karenanya.”
Sean menatap mataku serius. “Kapan tepatnya itu terjadi?”
Aku menggeleng keras-keras. Gigiku aktif menggigit kuku jari karena panik dan gelisah. “Tapi aku yakin Koslov akan melaksanakannya sebentar lagi.”
“Sebaiknya kita melaporkan ini pada Tatiana.” Usul Mr. Grecell diterima olehku dan Sean.
Maka dari itu pagi-pagi sekali saat langit malam mulai berubah menjadi biru yang lebih muda kami berjalan menuju istana untuk menemui Tatiana. Ada dua penjaga di gerbang. Kami mendekati mereka untuk meminta izin masuk.
“Tolonglah tuan-tuan yang baik. Izinkan saya menemui Tatiana. Sebentar saja.” Aku memohon.
Kedua penjaga gerbang menolak.
“Beliau mungkin memang kakakmu, tetapi bila di dalam istana ia adalah istri knyaz.”
Aku hampir putus asa dan hampir juga meminta Sean menyerang mereka berdua apabila gerbang kayu itu tidak terbuka dan mengeluarkan Lev dari dalam sehingga pikiran itu urung dilakukan.
“Ada apa ini?” tanyanya.
Kedua penjaga memberi hormat lalu melapor. “Ketiga orang ini ingin menemui Yang Mulia Tatiana.”
Lev mengangguk. “Suruh mereka masuk. Tatiana sudah bangun sejak tadi. Ia sedang menemui adiknya yang lain juga.”
Mr. Grecell, Sean, dan aku langsung mengekor Lev masuk ke gedung istana. Pemuda itu berdecak sebal.
“Mengapa kau selalu menemui hambatan ketika akan bertemu kakakmu sendiri? Haruskah aku selalu menolongmu melakukannya?” Kunaikkan bahu tanda tak tahu walau Lev tak bisa melihatnya.
“Maafkan kami,” hanya itu balasanku.
Lev berhenti tiba-tiba dan berbalik. Ia menatap kami bertiga, terutama aku. “Kalian beruntung aku memiliki kebiasaan berjalan mengelilingi istana di pagi hari.” Aku hanya tersenyum penuh terima kasih, lalu Lev kembali berbalik dan mengantarkan kami menuju drawing room Tatiana.
Suami kakakku mengetuk pelan lalu membuka pintu setelah Tatiana mempersilakan masuk. Pintu terbuka dan aku melihat ruangan yang sama yang kutinggalkan beberapa hari yang lalu. Gadis itu, Tatiana, duduk di tempat yang sama seperti kemarin dan di sebelahnya ada seorang gadis lagi yang dikatakan Lev sebagai adik Tatiana yang lain.
Awalnya aku mengira akan bertemu Olga atau Eugenia. Namun, setelah kupikir rasanya mustahil juga anak sekecil mereka pergi sendirian ke istana tanpa dampingan orang tua.
Yang duduk di sebelah Tatiana bukanlah Olga maupun Eugenia. Ia adalah aku. Agak membingungkan memang karena wajah kami berdua juga menunjukkan keterkejutan yang sama.
Anastasia membelalakan matanya lebar. Tatiana menampilkan wajah cemas saat melihat Lev ikut hadir di situ. Mr. Grecell dan Sean tidak kuperhatikan lagi karena pemuda di sebelahku yang sepertinya tampak paling syok.
Lev menatap Anastasia dan aku bergantian dengan horor.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top