Chapter 1 - The Vision
Hijau.
Itulah hal pertama yang tertangkap oleh mataku. Hijau daun di pepohonan, lumut pada permukaan batu, bahkan rumput yang ada pada lintasanku. Semua perpaduan warna hijau berkelebat kabur bagai film yang dipercepat.
Kemudian aku mulai menyadari bahwa aku sedang berlari menuju---setelah dapat memfokuskan pandanganku dan menatap sekeliling---bagian hutan yang lebih gelap. Menjauh dari cahaya dan ... bahaya.
Sepertinya indra-indraku membutuhkan waktu lama untuk pulih satu per satu.
Ketegangan dan rasa takut muncul kemudian. Aku sama sekali tidak tahu apa yang kutakutkan saat ini, tetapi insting berkata ada yang mengejarku di belakang. Mungkin memang perasaanku saja. Atau mungkin memang ada yang mengejar?
Sekarang telingaku mulai menangkap suara-suara kecil. Aku memfokuskan diri pada indra pendengaran yang mulai kembali berfungsi. Ada segerombolan besar pasukan berkuda yang menuju ke arahku. Semakin lama suara derap kaki kuda dan seruan kemarahan semakin jelas.
Kucoba memelankan gerakan kaki agar berhenti dan dapat beristirahat di bawah salah satu pohon willow atau berbalik menuju pasukan berkuda itu, bertanya apa yang sedang terjadi di sini. Akan tetapi, sekuat apa pun aku mencoba, aku tak pernah bisa mengendalikan kakiku. Selain itu, suara kecil dalam kepalaku berkata bahwa aku pasti akan mati jika melakukannya.
Ini sangat ... membingungkan. Aku tidak bisa menemukan kata yang lebih tepat daripada itu.
Aku mencoba menguraikan peristiwa aneh ini di dalam pikiranku perlahan-lahan. Mencari alasan logis sampai yang paling tidak logis atas peristiwa aneh yang kualami sekarang ini. Tidak ada penjelasan, bahkan secuil pun imajinasi. Pikiranku buntu.
Ketakutan baru muncul. Bukan jenis ketakutan yang pertama kali---dan sampai saat ini masih kurasakan---melainkan ketakutan karena sepertinya aku benar-benar akan mati di sini, sendirian, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Jantungku berdegup kencang. Ini pastilah akhir hidupku.
"Ann? Ann!"
Aku melihat ke sekeliling dengan linglung. Hutan hijau itu telah lenyap tergantikan oleh lintasan lari SMA Faraddeve. Beberapa gerombolan anak perempuan kelasku berkumpul di pinggir lapangan, saling berbisik satu sama lain.
"Ya, Pelatih Trace?" balasku cepat pada wanita yang sepertinya menepuk bahuku sedari tadi. Aku bahkan tidak menyadari apa yang ia lakukan hingga ia mulai meneriaki namaku di telinga.
Pelatih Trace mendesah. "Ann, jika kau melamun di tengah lintasan seperti itu kau bisa mengganggu pelari yang lain."
Kulihat lingkungan di sekitarku untuk yang kedua kali dengan lebih saksama. Berharap bahwa lapangan yang ada di hadapanku berubah kembali menjadi hutan hijau dalam visi tadi. Tidak ada. Mataku malah menangkap Sean, saudaraku, yang tengah menatap ke arahku dari sisi lain lapangan, tempat kelasnya juga berolahraga, seolah tahu apa yang baru saja kualami.
Pelatih Trace bersedekap menungguku mengatakan sesuatu. Diam-diam aku melirik Sean lagi. Ia sudah mulai berlari kemari. Aku tak ingin Sean tahu aku telah mengalami hal itu. Ia pasti memaksaku untuk 'melihat' lebih jauh, padahal penglihatan yang ini sama sekali di luar kemampuanku.
"Pelatih Trace," panggilku buru-buru, "sebenarnya saya sedang tidak enak badan. Bolehkah saya izin beristirahat di Ruang Kesehatan saja hari ini?" Wanita itu memerhatikan wajahku dengan tatapan tajam dan kening berkerut. Cepat-cepat kupasang wajah lesu terbaikku seraya berdoa semoga ia tidak menyadarinya.
Pelatih Trace akhirnya mengangguk. "Baiklah, sepertinya memang benar begitu. Wajahmu sedikit pucat. Istirahatlah, oke? Aku akan membuat izin untukmu."
"Terima kasih," gumamku lalu segera berjalan cepat menuju gedung sekolah.
Aku sempat melirik ke belakang sebelum masuk. Sean sedang membujuk Pelatih Trace untuk mengantar adiknya ini ke Ruang Kesehatan, jika tidak salah menduga. Tentu saja ia tidak diperbolehkan. Bisa terlihat kepala wanita itu yang menggeleng tegas, tak dapat dibantah. Pundak Sean langsung terkulai. Ia menatap dari balik bahu Pelatih Trace seolah mengatakan dia akan menyusul. Aku tidak ingin Sean datang. Buru-buru aku berbalik dan berlari kecil menuju Ruang Kesehatan tanpa menoleh lagi.
Namun, bukannya menuju Ruang Kesehatan di lantai dua, kakiku malah terus berderap naik menuju lantai empat. Dengan was-was aku melirik kedua ujung koridor, barangkali ada guru yang memergokiku di sini dan aku harus memberi alasan yang bagus untuk Pelatih Trace.
Di belokan pertama aku menuju ke kanan dan lurus terus hingga ujung koridor. Aku menyempatkan diri lagi menengok ke stadion lewat jendela yang ada di ujung koridor itu. Pelatih Trace sudah hendak membubarkan kelas.
Aku langsung masuk ke ruang kelas Mr. Grecell di ujung koridor dan membanting serta mengunci pintunya. Ruangan di sekitar kelas Mr. Grecell tidak berpenghuni jadi aman bagiku bersembunyi di sini. Pria pemilik kelas hanya menatapku dari balik kacamatanya. Ia adalah guru sejarahku tahun lalu.
Aku menarik salah satu kursi dan duduk di seberang mejanya dengan badan menghadap sandaran kursi.
"Terjadi lagi," ucapku tak jelas karena bibirku yang gemetaran.
Mr. Grecell menutup buku sejarahnya yang tebal, suaranya terdengar prihatin. "Apa yang kau lihat kali ini?"
"Hutan yang hijau, lumut, pohon, semuanya. Aku hanya berlari dalam rasa takut masuk jauh ke dalam hutan. Oh, dan sepertinya ada pasukan berkuda mengejar di belakangku," semburku.
Ia mengambil sesuatu di dasar lacinya. Mr. Grecell meletakkan benda yang diambilnya tadi dari laci ke atas meja kerja. Sebuah agenda sederhana bersampul kulit, tahun yang tercetak di sana tahun lalu. Mr. Grecell membuka buku itu di bagian tengah, membacanya sebentar, dan tiba-tiba berhenti. Matanya terpaku pada tulisan di buku itu. Kemudian ia menerawang ke arah jendela sambil mengangguk kecil beberapa kali. Kerutan kecil tampak di keningnya.
Setelah beberapa menit diam, Mr. Grecell bertanya, "Ann, apa kau ingat penglihatanmu tahun lalu? Penglihatanmu yang pertama?"
Aku otomatis mengangguk. "Tentu saja. Aku melihat seorang laki-laki yang menarikku berlari di hutan, mirip hutan seperti yang kulihat tadi, dan setelah beberapa lama ia membuka sesuatu yang langsung meledakkan cahaya putih."
Penglihatan pertamaku terjadi tahun lalu, awal tahun ajaran. Saat itu aku mengambil kelas sejarah Mr. Grecell karena kelas ini satu-satunya yang masih kosong. Sean tidak bisa mengambil kelas yang sama karena ia terdaftar sebagai murid setingkat di atasku.
Aku sedang membereskan barang-barang perlahan sembari menunggu kelas kosong karena tidak ingin terburu-buru keluar. Kemudian tanpa diduga tubuhku berubah kaku dan pandangan ruang kelas yang kosong tergantikan dengan wajah kabur seorang laki-laki yang membuka sesuatu, entah apa itu, dan kemudian meledak menjadi cahaya putih yang membungkus kami berdua.
Mr. Grecell sudah hendak menggotongku ke Ruang Kesehatan ketika Sean masuk. Begitu mendengar suaranya, aku seketika tersadar dan dengan gemetaran menceritakan semua yang kulihat. Setelah kejadian itu, Sean memaksa Mr. Grecell bersumpah untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang aku. Sean begitu bersungguh-sungguh seakan nyawa yang menjadi taruhannya.
Kini aku duduk di hadapan Mr. Grecell, bergerak tidak jelas di kursi sambil meremas tanganku sendiri. Pria di hadapanku tampak memikirkan sesuatu jadi aku memilih diam saja hingga ia siap memberitahukan teorinya. Aku tidak tahu mengapa aku begitu percaya pada Mr. Grecell, mungkin karena Mr. Grecell adalah satu-satunya orang yang tahu tentang hal ini selain Sean. Abangku melarang untuk bercerita pada orang lain termasuk orang tua kami.
Mr. Grecell tiba-tiba berdiri dan berjalan mondar-mandir di sisi meja. Mataku hanya mengikuti pergerakannya tanpa ingin menyela. Di putaran ke dua puluh pria itu membaca ulang catatannya kemudian menatapku. Matanya bersinar penuh antusiasme. Aku menyadari bahwa ia memiliki sebuah teori.
"Ini tentang kemampuanmu, aku ingin menegaskan. Jadi, kau bisa melihat masa lalu hanya dengan menyentuh sebuah objek. Benar begitu?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Sepanjang yang kutahu, ya. Aku bisa melihat sejarah dan peristiwa di sekitar objek tersebut."
"Namun," lanjutku, "aku belum pernah menguji seberapa jauh masa lalu itu dapat terbaca, mungkin tidak lebih dari dua abad. Atau juga tergantung ... energi? Ada beberapa benda tua yang terlihat jelas masa lalunya, tapi juga ada benda-benda baru yang samar. Entahlah. Itu, kan, teori Anda, Mr. Grecell."
Mr. Grecell mengangguk-angguk. "Hmmm, ya, ya. Tergantung energi yang diserap oleh objek tersebut." Matanya masih terpaku pada buku agenda, dahi berkerut dalam. Sepertinya ia mencari sesuatu untuk mencocokannya pada teori baru.
Bel tanda pelajaran berakhir disusul oleh gedoran di pintu. Sial, waktuku habis.
"Ann! Ann! Buka pintunya! Aku tahu kau ada di dalam."
Mr. Grecell menunjuk pintu dengan dagunya. "Bukalah."
"Sean hanya akan mengganggu Anda," tolakku.
Gedoran di pintu semakin keras. Aku yakin kali ini dia menabrakkan diri ke pintu. Usaha yang bagus Sean!
"Bukalah, atau abangmu akan menghancurkan properti sekolah." Mr. Grecell kembali menyuruhku untuk membuka pintu. Aku bangkit sambil mendesah kesal kemudian berjalan malas membuka kunci pintu.
Sean langsung saja menerobos masuk. Ia mencengkeram kedua bahuku, menancapkan kuku di sana. Netranya mengunci tatapanku. "Hei! Sakit tahu, lepaskan," aku mengeluh. Sean hanya melonggarkan sedikit cengkeramannya tetapi masih tetap membuatku tak bisa melarikan diri.
"Apa yang kau lihat?" tanyanya.
"Aku tidak melihat apa-apa."
"Bohong," desis Sean. Cengkeramannya kembali menguat. "Ann, katakan yang sejujurnya. Apa saja yang kau lihat? Apa kau melihat gadis itu?"
"Gadis siapa? Kau selalu memaksaku untuk mencari gadis itu tapi kau tidak memberitahuku siapa dia."
"Ann! Apa yang kau lihat?!" Sean sedikit berteriak karena aku menolak menceritakan penglihatan tadi. Ia kemudian meminta maaf ketika melihat mataku membesar karena terkejut.
Sean beralih pada Mr. Grecell. "Apa yang Ann lihat tadi?"
"Hanya hutan. Ann berlari di hutan dan ada pasukan yang mengejar di belakang. Tapi aku yakin Ann hanya melihat masa lalu stadion sebelum menjadi Faraddeve. Ann mungkin tidak sengaja menyentuh objek kuno yang ada di sana. Atau mungkin tangan Ann tidak sengaja menyentuh tanah?" Mr. Grecell sedikit tidak yakin.
"Kita keluar." Sean menyeretku.
Tanganku berontak mencoba melepaskan genggaman Sean tapi gagal. Ia terus saja berjalan tanpa memedulikan anak-anak lain yang mulai menatap kami penasaran di sepanjang koridor. Jam pulang sekolah membuat tempat ini penuh. Namun sepertinya itu tidak menghentikan Sean mencapai pintu utama gedung sekolah dengan cepat. Orang-orang yang berada dalam lintasan kami otomatis menyingkir seakan Sean mengeluarkan aura berbahaya hingga perlu dihindari.
"Kita akan pulang?" tanyaku. Sean tidak menjawab. "Aku belum ganti baju, tasku juga masih ada di loker."
"Akan kuurus nanti," balasnya singkat. Aku juga malas bertanya lagi jadi aku fokus untuk berlari kecil mengimbangi langkah Sean yang lebar dan cepat.
Rumah kami memang tidak jauh dari sekolah. Aku dan Sean biasa berjalan kaki pulang dan pergi tanpa perlu ikut bis sekolah seperti anak lainnya. Terkadang orang tua kami mengantar dengan mobil mereka tapi kami lebih suka berjalan kaki. Menumpang kendaraan seperti itu membuat kepalaku pusing, menurutku itu karena trauma dari kecelakaan mobil tahun lalu.
Lagipula dengan berjalan kaki aku bisa melihat lebih banyak. Seperti orang-orang yang berjalan cepat melewati kami, toko roti langganan keluarga kami yang selalu menguarkan aroma khas roti yang sedang dipanggang, dan toko perhiasan yang memajang sebuah kalung kuno bermodel loket yang minggu lalu sudah terjual namun dipajang lagi hari ini. Mungkin batal dibeli.
"Kau tahu seharusnya masalah ini tidak perlu ada ikut campur orang lain selain kita berdua, bukan?" Akhirnya Sean angkat suara.
Aku mengangkat kedua bahu tak acuh. "Aku tidak melihat bahwa masalah ini begitu serius hingga perlu dirahasiakan. Seharusnya kau yang tidak perlu ikut campur. Ini penglihatanku, aku yang dapat melihat masa lalu dengan tanganku, seharusnya aku yang 'berhak' memutuskan siapa orang yang dapat kupercaya dan yang tidak kupercaya. Aku percaya Mr. Grecell."
"Kau mudah sekali percaya dengan orang asing."
"Orang tua kita bukan orang asing, tetapi kau juga melarangku bercerita pada mereka," sangkalku. "Kenapa?"
Sean berhenti berjalan tiba-tiba dan berbalik, membuatku menabrak dadanya. Aku mendongak melihat pandangan matanya yang kelam. Sebelah tangannya mengusap wajah dengan kasar. Kalau tidak mengenal Sean, mungkin aku akan berpikiran bahwa orang ini pasti memiliki masalah yang sangat besar. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa Sean meributkan masalah sepele seperti ini. Mengapa ia menganggap penglihatan-penglihatanku penting?
"Ann," panggil Sean, suaranya lelah. "Aku tahu ini terdengar gila. Ingatan kita berdua hilang saat kecelakaan itu. Benar, 'kan?"
Kecelakaan mobil tahun lalu yang dialami Sean dan aku membuat kami kehilangan ingatan seluruhnya. Masa lalu, keluarga, identitas, semuanya. Kecuali nama panggilan kami, Ann dan Sean. Memang terdengar seperti drama murahan yang biasa disiarkan di stasiun televisi, tapi itulah yang sesungguhnya terjadi. Aku terbangun di rumah sakit dengan ranjang Sean persis berada di samping ranjangku. Pasangan suami-istri yang mengaku menjadi orang tua kami menceritakan kronologis kecelakaan yang tidak bisa kami ingat.
Aku mengangguk, memberinya kode untuk melanjutkan. "Ya, memang."
Suara Sean begitu pelan hingga nyaris berupa bisikan. "Aku ingat sesuatu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top