Ramai

Ramai tak pernah baik hati. Karena tiap aku menghampiri, ia selalu melemparku kembali dalam sepi.

Giftan

@@@

Gerbang hitam di depan rumah besar dengan halaman luas itu terbuka lebar. Tidak ada motor terparkir di sana. Dan itu membuat Abas menelan ludah. Melihat lalu lalang mobil yang keluar-masuk, dapat dipastikan para tamu adalah orang kaya atau teman sebaya Giftan yang pesan taxi online. Sementara Giftan seperti orang dungu yang senyum-senyum di balik masker, membonceng cowok hippie dengan motor matic yang stiker apinya menempel di mana-mana.

"Tan, lo enggak kepikiran buat bonceng sampai dalam, kan?" Abas bergidik ngeri.

Giftan melongo sebentar. "Oke, sampai sini aja, Bang."

"Gue jemput jam berapa?"

"Enggak usah. Kayaknya gue pulangnya terbang, deh." Mata Giftan yang jelalatan, berkilat-kilat kesenangan.

"Dasar bucin tolol! Jam 9 gue jemput!"

Giftan terkekeh sendiri seperginya Abas dari hadapan. Dia menarik napas mengumpulkan keberanian dan mulai melangkah memasuki gerbang.

Ini adalah keputusan paling berani yang Giftan ambil setelah takdir memenjarakannya dalam kesepian. Giftan tak pernah dapat undangan—bahkan ajakan langsung dari Ruby, akan tetapi Giftan nekat datang ke acara ulang tahun gadis itu. Dia sebenarnya hanya ingin melihat seperti apa Ruby di pesta ulang tahunnya sendiri. Pasti cewek itu akan terlihat sangat cantik, dan Giftan tak boleh melewatkannya, terlebih karena permintaannya untuk berteman di media sosial tak pernah diterima. Memang benar apa kata Abas, Giftan terbudaki oleh perasaannya sendiri terhadap Ruby.

Beberapa orang mulai menyadari kedatangannya. Berbisik-bisik pada teman yang mereka bawa. Giftan yang merasa dirinya mulai menyedot atensi langsung berjalan lebih cepat dan memasuki ruang pesta. Ruang pesta yang kini disesaki pengunjung membuat Giftan kesulitan untuk lewat.

Beberapa orang tertabrak, mereka mengaduh, dan kontan menoleh ke arah Giftan. Melihat siapa yang menabrak, secara refleks mereka menjauh, lalu menyolek orang lain untuk melihat ke arah sama. Serta merta mereka menyingkir menjauhi Giftan. Membentuk sebuah jalan untuk pemuda bermasker double tersebut. Jalan yang ternyata di ujungnya berdiri seorang perempuan bergaun biru laut dengan pernak-pernik mengilau diterpa lampu pesta.

Gadis itu Ruby. Tadi wajahnya hanya kelihatan rambutnya yang dikeriting, tengah bercengkraman dengan ketiga temannya; Audrey, Salisa, dan Tisha. Kini dia melihat dengan pandangan terkejut ke arah Giftan, yang saat ini juga sedang membelalakkan mata. Antara terpesona dengan Ruby yang wajahnya pasti didandani hingga sedemikian cantiknya, dan kaget Ruby telah melihatnya di acara yang di katalog pengunjungnya pun tidak tertulis namanya sama sekali.

"Lhoh, si Tebe diundang?" tanya Tisha.

Ruby tiba-tiba merengut. Akan tetapi, bukan dirinya yang selanjutnya beraksi, melainkan Audrey. Gadis yang rambutnya dimodel double bun itu mendekat ke arah Giftan, berdiri beberapa langkah darinya.

"Duh, ini udah ada lima meter belum, ya."

Orang-orang yang berdiri di sekitarnya tertawa sinis. Sementara Giftan mulai gemetar. Dipeluknya kado yang hendak dia berikan pada Ruby erat-erat. Tenggorokannya kering seketika, panas bahkan, hingga dia merasa ingin batuk-batuk.

"Emang dia diundang, By?" tanya Salisa dengan wajah yang mulai dibalut emosi, mengulang Tisha yang belum diberi jawaban.

"Enggak mungkin Ruby ngundang cowok virusan yang bisa nyebarin wabah kayak dia ini!" tunjuk Audrey.

"Gue enggak ngundang lo. Lo ngapain ke sini?" Ruby menunjukkan wajah heran yang agak lain.

Giftan tidak tahu mau menjawab apa. Dia memperhatikan ke arah sekitar beberapa detik. Wajah-wajah itu tampak bengis seperti hendak mengulitinya. Atau lebih tepat lagi menelanjanginya. Giftan merasa dipermalukan, padahal tadinya dia tidak ingin ada yang menyadari kedatangannya. Dia pikir paling-paling hanya ada satu atau dua orang, dan tak akan ada yang peduli. Ternyata, kini, hampir seluruh perhatian tersita untuknya. Membuat dirinya cemas seketika.

Giftan mulai terbatuk. Dia mencoba membungkam mulutnya yang bahkan sudah ditutupinya dengan dua masker. Tapi tidak bisa. Dada Giftan semakin sesak dan panas.

Audrey langsung mundur, begitu juga beberapa anak di sekitarnya yang bahkan sudah berdiri cukup jauh. "By, gimana ini, By? Usir aja sih! Gue takut banyak yang ketular!"

Ruby menatapi Giftan sejenak. Cowok itu membawa sebuah hadiah untuknya. Untuk ukuran orang yang tidak diundang, datang ke pesta ulang tahun seseorang membawakan kado adalah sebuah ketulusan. Akan tetapi Ruby menyangkalnya mentah-mentah. Dia menggeleng. "Mending lo pergi, Tan! Gue nggak mau lihat lo ada di pesta gue!"

Giftan mengulurkan satu tangan di sela-sela batuknya. Hendak mengucapkan sesuatu tapi tak juga kuasa menahan rasa tercekik di tenggorokannya. Bahkan Salisa sudah memotong terlebih dulu. "Udah sih, sana pergi! Lo mau bahayain Ruby dan kita semua di sini? Pergi sekarang!"

Cowok itu mundur perlahan. Dia tertatih, lalu tersandung kakinya sendiri ketika hendak berbalik. Kadonya terjatuh. Kemudian dengan sengaja seorang cowok menendang bingkisan itu. Giftan cepat-cepat berdiri dan berlari hendak menggayuh kadonya. Tetapi urung begitu kotak kadonya malah dijadikan bahan sepakbola oleh anak laki-laki di sekitarnya. Giftan mengejar ke mana pun kadonya teroper.

Semua orang tertawa-tawa melihat kesengsaraannya. Giftan hampir menyerah, dia ingin pulang saja meninggalkan hadiah yang seharusnya dia berikan kepada Ruby. Namun, perkataan penjaga toko antik itu kembali terngiang dalam benaknya. Jadi mau tidak mau Giftan terus berlarian. Kado itu akhirnya mendarat di samping Giftan, jadi dengan cepat cowok itu mengambilnya sebelum akhirnya berlari ke arah gerbang, pergi dari pesta Ruby.

***

Abas sedang berdecak-decak pusing akan tugas kuliah, saat bunyi pintu menjeblak terdengar, diikuti suara orang batuk-batuk. Pasti Giftan, pikirnya. Seketika dirinya terheran. Dilihatnya jam digital di atas meja tulisnya yang menunjukkan angka tujuh titik dua lima. Baru beberapa menit lalu Abas sampai rumah dan membuka bukunya, tapi orang yang dia antar pergi sudah pulang kembali.

Dia pun berdiri dan mengambil sebilah rotan dari bawah kasur. Jendela kamar miliknya berdekatan dengan kamar Giftan. Sejak Giftan punya penyakit paru-paru, jendela itulah satu-satunya tempat mereka mengobrol tanpa Giftan harus mengenakan masker, dan tanpa diketahui orangtuanya. Suara Giftan kalau pakai masker mirip orang kumur-kumur, kata Abas suatu hari. Dia terkekeh kecil mengingatnya. Karena kalau sampai orangtuanya tahu Abas dan Giftan bicara berdekatan, pasti yang akan jadi korban adalah adik sepupunya itu.

Sebenarnya, kebencian kedua orangtuanya kepada Giftan sudah berlangsung begitu lama, bahkan sejak kedatangan Giftan di rumahnya. Akan tetapi setelah Giftan divonis mengidap tuberkulosis, kebencian itu semakin berkobar. Bahkan anak itu pernah diamuk ayah Abas gara-gara tidak sengaja memergoki anaknya sedang bicara dengan Giftan.

Giftan benar-benar seperti kucing kampung tak terawat yang terus mengais sisa makan keluarganya. Segala hal dibatasi. Makanan, uang saku, ruang bergerak, dan bahkan perhatian. Ibu ayah Abas seperti buta oleh kemarahan terpendam yang tak bisa Abas baca alasannya. Mereka hanya memberi Abas afeksi sebagai anak semata wayang, tanpa pernah memberitahu hal yang sebenarnya terjadi antara mereka dengan keluarga Giftan. Abas sering melawan demi membela Giftan tatkala sepupunya sedang dimarahi. Nantinya ibu ayahnya akan diam saja seolah yang terjadi sudah usai, tapi jauh lebih lanjut dia sebenarnya tahu ada sesuatu yang Giftan sembunyikan—seperti lebam di beberapa area tubuhnya, jejak penyiksaan kedua orangtuanya ketika Abas tidak di rumah.

Abas mengetuk kaca jendela kamar Giftan dengan rotan. "Tan?"

Giftan tak menjawab. Batuknya malah kedengaran lebih parah. Abas mengesah. Sebagai pasien rawat jalan bulan ketiga dari masa pengobatannya, Giftan seperti tidak menunjukkan pemulihan. Lagi pula Abas tidak pernah punya waktu yang pas sehingga dia bisa mengantar Giftan check up ke rumah sakit dan mengetahui perkembangan kondisinya. Abas jadi takut Giftan selama ini berbohong kalau dia rajin menemui dokter.

Bunyi spray biasanya adalah tanda Giftan sudah berhenti batuk. Benar saja, dia membuka jendela setelah menyemprotkan antiseptik ke seluruh ruangan. Wajahnya kusut sengkarut, dengan noda kemerahan di bibirnya.

"Tan, bibir lo ...."

Giftan meraba bibir dan mendapati ujung jarinya berdarah. Dia mengambil tisu yang ada di dekatnya dan meraup mulut yang terbaluri darah sampai bersih.

Abas merasa sedih. Dia pikir, tidak seharusnya anak sebaik Giftan mendapat segala hal menyedihkan itu. Sepupunya sudah melalui begitu banyak kehilangan, tetapi Tuhan masih saja menjatuhkan cobaan berupa penyakit dan pengucilan. Sementara Abas hanya bisa menghibur tanpa bisa menjauhkan Giftan dari itu semua.

"Lo bilang Gerald nggak bakal datang?"

"Emang enggak."

"Terus siapa yang ngusik lo sampai jam segini udah pulang?"

Giftan terenyak. Padahal Abas itu cuma kakak sepupunya, tapi cowok itu sangat sensitif untuk mencium masalah yang tengah Giftan hadapi. Karena itulah, Giftan menyukai Abas. "'Kan, gue udah bilang pulangnya terbang, Bang, makanya cepat," dalihnya.

"Selalu aja ngeles. Jadi, kenapa lo pulangnya cepet?"

Kalau Abas sudah serius begitu, Giftan tidak bisa mempermainkannya lagi. Keseriusan Abas adalah bentuk kepedulian yang tak akan Gifta dapat dari orang lain. Dia tidak ingin menyia-nyiakannya. "Gue batuk aja waktu sampai sana. Gue malu. Gue takut nularin orang lain."

"Tan, lo udah pakai masker. Lo udah nahan pengap pakai masker yang bahkan lo pakai dua sekaligus tiap hari. Lagian orang dengan penyakit kayak lo dibilang bisa nularin kalau dekat-dekat sama orang lain itu cuma mitos! Kenapa orang sekarang masih kolot aja sih, enggak baca artikel?!" cerocos Abas secara berapi-api.

"Jadi, lo ngatain gue kolot karena gue percaya gue bisa nularin mereka kalau deket-deketan?" tanya Giftan di balik rasa ingin terkekeh atas kecerewetan Abas.

Abas terdiam. "Ih, ya—bukan gitu, Tan. Gue cuma pengen lo enggak insecure lagi."

Giftan terpingkal. Lalu teringat satu hari di mana dia habis diantar Abas ke puskesmas untuk memeriksakan diri setelah batuknya tak kunjung sembuh selama hampir satu bulan lamanya dibarengi demam yang timbul tenggelam. Mengetahui bahwa dia positif Tbc, Giftan menangis. Abas pun tadinya tidak tahu mau bagaimana menghibur Giftan, bahkan ragu untuk memeluknya, tapi dia tetap melakukannya. Setelah dirinya tahu tesnya negatif, Abas bersikeras mencari tahu segala hal tentang penyakit Giftan. Dialah yang selalu mengingatkan Giftan untuk rutin minum obat dan check-up ke dokter. Abas adalah satu-satunya orang yang selalu berada di sisi Giftan, walau nantinya juga akan dijauhkan oleh jarak.

"Makasih atas kepedulian lo. Walau pun emang begitu faktanya, tapi tes terakhir gue masih dinyatain aktif buat nularin, Bang. Gue cuma pengen jaga-jaga."

"Bas, mama bawain martabak nih, buat kamu!" Seorang wanita berteriak di balik pintu kamar Abas sambil mengetuknya.

"Wih, mantap nih. Entar gue ambil dulu ya. Jangan lupa minum obat!"

Giftan tersenyum seraya mengangguk melihat Abas cengar-cengir dan menghilang dari kusen jendela.

Kalau memikirkan perkataan Abas tadi, dia jadi teringat Ruby. Mungkin cewek itu adalah salah satu orang yang tidak menyukai keberadaannya. Akan tetapi, ada hal berbeda yang membuat Giftan termenung. Ketika anak lain yang membencinya memanggil namanya sebagai Tebe, Ruby masih memanggilnya Giftan. Ketika Audrey dan yang lain bilang harus menjauhi Giftan karena takut tertular, Ruby hanya bilang dia tidak ingin melihatnya. Entah kenapa hati Giftan merasa hangat memikirkannya.

Mungkin dia akan benar-benar terbang sebentar lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top