Lemah

Katanya, orang yang mereka rundung itu lemah. Tapi kenapa mereka merundung secara beramai-ramai, bukannya maju seorang diri seperti orang yang gemar mereka kerjai?

Giftan

@@@

Sudah dikuceknya kedua mata itu berkali-kali, tapi perempuan bergaun balet dengan lapisan beludru hitam di atas pengembang gaun selututnya itu masih tetap berdiri di depannya. Rambut coklat keemasan gadis itu digelung dengan pita dan mahkota kecil menaungi ubun-ubunnya. Wajahnya kelihatan alami, tanpa polesan bedak dan lipstik. Alis kecoklatannya menukik, tampak heran menatap Giftan yang masih juga diam hingga sekarang.

"Apa saya ini nyata?" Pertanyaan retoris si gadis balet mewakili ekspresi Giftan saat ini. Diapun mengulurkan tangan dan menampar lembut pipi Giftan, tapi cowok itu masih saja tetap diam.

"Apa harus sampai biru biar kamu lebih percaya?"

Sontak Giftan menggeleng keras. Dirinya hanya masih tidak percaya. Apakah gadis itu peri dari dunia dongeng yang hanya muncul di malam hari? Atau setan kesasar yang merubah wujud menjadi gadis secantik itu supaya Giftan terbuai godaannya?

"Kamu muncul dari mana?" Giftan langsung tersadar sendiri dari pertanyaannya. Beberapa menit lalu sebelum kejadian ajaib ini, dia hendak mencari patung balet kotak musik yang terjatuh entah kemana. Giftan mendadak celingukan. Sementara itu, si gadis balet yang sudah mau membuka mulut turut dibuat bingung oleh Giftan yang mulai bergerak kesana-kemari.

"Saya akan menjelaskan-"

"Jangan bilang," kata Giftan, "patung balet itu kamu!"

Gadis itu menerbitkan ekspresi terkejut yang seperti dibuat-buat. Dia bertepuk tangan kecil. "Penangkapan yang bagus," pujinya.

Giftan melotot. "Gimana bisa?"

"Saya juga tidak mengerti. Tiba-tiba kotak itu terasa mengecil dan ... boom! Saya di depan kamu."

Jangan sampai patung baletnya patah.

Perkataan penjaga toko itu kembali terngiang. Jangan-jangan ini yang dimaksudkan dari kalimat itu. Jangan-jangan patung baletnya rusak saat dijadikan ajang main bola di pesta Rubby tadi. Jangan-jangan karena insiden tersebut mahkluk halus yang selama ini tersegel di dalamnya akhirnya bebas. Syukur-syukur kalau yang keluar adalah jin baik pemberi tiga keinginan yang akan mengabulkan permintaan Giftan selama ini. Bagaimana kalau justru energi jahat yang hendak melakukan balas dendam dan menghancurkan dunia, lalu menjadikan Giftan budaknya, seperti yang ada di film-film? Demi apapun, Giftan mulai pusing memikirkannya.

"Kamu bisa jadi patung lagi enggak?" tanya Giftan putus asa.

Gadis itu tampak merengut tidak suka. "Saya baru ingin meregangkan otot, tapi kamu ingin saya kembali. Ya sudah." Gadis itu berbalik.

"Tapi saya mohon kamu akan menaruh saya di tempat terbuka. Seperti tidak ada udara kalau disimpan di ruang tertutup dan gelap seperti tadi," tambahnya, sebelum dia berpose tengah menari dan seketika berubah mengecil seukuran patung balet dari kotak musik.

Lagi-lagi Giftan terkejut. Digapainya patung balet itu perlahan, takut akan berubah wujud lagi. Patung itu masih utuh. Magnet penghubungnya dengan kotak musik juga masih ada. Sangat mengherankan. Kalau bukan karena rusak, bagaimana caranya patung itu berubah menjadi manusia?

"Ayo berubah lagi jadi manusia!" Giftan berbisik ke arah patung tersebut. Tapi tidak ada apapun yang terjadi. Giftan terkekeh. Dia jadi merasa bodoh. Mungkin ini hanya efek mengantuk. Dia pasti bicara sendiri seolah-olah ada orang supaya tidak begitu kesepian.

Iya, pasti begitu.

***

Wajah dan dada Giftan menghantam meja kerjanya di kelas. Pelaku yang menyebabkan hal tersebut terjadi tidak lain adalah Gerald. Cowok bengal itu menjambak dan menekan kepala Giftan pada permukaan kayu yang keras. Sementara dua temannya, Andre dan Bayu, memegangi masing-masing tangan Giftan supaya berhenti memberontak.

"Bangsat! Udah gue bilangin kasih kunci yang bener, lu malah bikin gue disuruh nambah soal!" gertak Gerald dengan darah mendidih.

"Enggak usah dimaafin, Ger!" Andre semakin mengompori.

"Goblok banget sih, dikasih gampang malah pengen dipersulit mulu hidup lu!" ejek Bayu.

"Jarum, Ndre. Kita punya klien tato!"

"Ja-jangan! Tolong! Lain kali gue bakal lebih hati-hati baca soalnya."

"Enggak ada lain kali! Lu udah ngerjain gue dua kali, Monyet!"

"Soal ulangan yang tadi dibolak-balik, Ger. Makanya keliatan sama tapi sebenernya beda, gue belum sadar tadi."

"Terus ini bisa bikin lo sadar, enggak?!"

Gerald menarik rambutnya dengan kasar untuk kemudian membenturkan kepalanya ke meja secara berturut-turut. Sampai tulang pipi dan rahang kanan terasa nyeri. Sampai kepalanya pedas dan rambutnya rontok beberapa helai. Sampai mata Giftan panas menahan air mata yang ingin keluar. Giftan bisa menerima harga dirinya diinjak-injak. Akan tetapi, kali ini Gerald keterlaluan. Padahal setahu Giftan cowok brengsek itu akan menghindari kontak fisik terhadap dirinya, mengetahui Giftan punya sesuatu yang dapat turut membahayakan dirinya. Kalau fisik Giftan sudah disertakan seperti ini berarti kemarahan Gerald benar-benar hampir di ambang batas. Sayangnya Giftan tak bisa apa-apa selain memohon ampun.

"Atau malah tambah amnesia?"

"Ger, gue janji enggak bakal ceroboh lagi," rengek Giftan dengan sangat lemah. Tulang wajahnya seperti remuk redam.

"Sampai lo bohongin gue lagi, lo bakal dapet bekas luka seumur hidup!" seru Gerald mengakhiri penyiksaannya terhadap Giftan. Cowok itu akhirnya berhenti dan mengajak kedua temannya pergi. Sebelum seseorang mengetahuinya dan mengadukannya pada guru mereka.

Giftan menegakkan tubuh. Disekanya air mata yang hendak mengalir ketika tiba-tiba saja suara langkah kaki kian mendekat. Dia segera menoleh ke belakang. Di antara barisan bangku kosong yang sudah ditinggalkan masing-masing empunya pada jam pulang ini, cewek berambut sebahu yang sangat Giftan kenali tengah melangkah. Rasa sakit yang timbul tenggelam di wajah kirinya terasa mendadak lenyap. Giftan terus mengekori sosok tersebut dengan mata sembapnya.

Seperti merasa ditatapi, cewek itu menoleh. Wajah kiri yang biasanya terselimuti helai tipis poninya tersingkap. Memperlihatkan bercak merah muda di pelipis yang menjorok ke sebagian besar kelopak mata kirinya. Ruby pernah memberitahu Giftan saat mereka masih duduk berdampingan, itu adalah port wine stain, tanda lahirnya. Sesuatu yang masih Ruby sembunyikan walau pun hampir semua orang sudah tahu dan tidak pernah mengejeknya.

Ditatap dengan wajah tak mengenakkan seperti itu membuat Giftan gugup.

"Belum pulang, By?" tanya Giftan basa-basi.

"Ada yang ketinggalan," jawab Ruby dingin.

"Oh, gue pulang dulu, ya?"

Ruby tak menjawabnya. Cewek itu sibuk sendiri mengaduk-aduk tas dan laci mejanya. Namun, sebelum Giftan lenyap dari penglihatannya, Ruby menyampaikan sesuatu. Hal yang akan membuat Giftan semakin berkecil hati.

"Lo kenapa nekat datang ke acara gue kemarin?"

Giftan terpaku sejenak sebelum menimpali Ruby. Rasanya dia ingin jujur saja atas perasaannya. Tapi Giftan tidak mau menjadi bodoh lagi. Jadi yang dia keluarkan adalah kalimat lain. "Dulu lo enggak bikin acara ulang tahun. Karena waktu itu pas kita olimpiade. Padahal gue udah bikin rencana buat kasih kejutan dan kado. Tapi kejutan dari gue justru adalah kejutan buruk yang bikin lo benci gue kayak gini." Giftan mengedikkan bahunya.

"Kalau udah tahu gue benci lo kenapa masih datang?"

"Gue mau nepatin janji gue--"

"Dengan bikin kejutan buruk dua kali? Lo tahu enggak, habis lo datang, anak-anak pada pulang satu per satu. Enggak ada yang full sampai akhir acara, Tan. Mereka kira gue ngundang lo. Mereka kira gue masih dekat sama lo dan gue hampir kayak mau dijauhin di acara pesta gue sendiri! Lo bikin gue benci hari ulang tahun gue sendiri!"

Meski sedang merutuki diri sendiri, Giftan masih bisa mengembangkan senyum. Senyum getir yang tidak akan Ruby lihat karena tertutupi masker. Giftan tidak akan membalas kebencian Ruby sama sekali. Ruby bukan salah satu dari anak-anak di kelas yang menjauhi Giftan karena penyakitnya. Ruby tidak sedangkal mereka dan Giftan menghormati itu. Meski Giftan merasa pernah membantu Ruby dan harusnya cewek itu menggantinya dengan hal baik, tapi Giftan sadar kesalahannya bahkan tidak termaafkan sama sekali. Jadi dia hanya berkata, "Sori, By."

Ruby tidak menyahut lagi. Cewek itu kembali sibuk sendiri dengan lacinya sementara Giftan melanjutkan langkahnya meninggalkan kelas. Tanpa sepengetahuan Giftan, Ruby sedang memperhatikan dirinya. Diri Giftan di bawah perundungan Gerald dan temannya dalam rekaman video yang Ruby ambil sebelum masuk ke kelas tadi. Diam-diam Ruby menahan napas yang ketika dihelanya seperti menusuk-nusuk karena rasa pedih hati yang tertahan.

***

A/N :

Sebelumnya maaf kalo ada banyak plothole ya? Mungkin kalian bisa komen kalo ada kejanggalan. Thx!

Viavidi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top